Setelah mengantar Nesa pulang, kini mobil milik Agil berhenti didepan rumah Ayra.
Sedari tadi, gadis itu terus melamun sembari menatap kearah luar jendela. Bahkan saat sampai pun, ia masih berada diposisi yang sama.
Melihat Ayra yang tak seperti biasa, Agil memanggil Ayra pelan.
"Yaya?" panggilnya mengusap rambut Ayra.
Gadis itu tak merespon. Panggilan kedua, Agil memanggil sembari menggoyangkan bahu Ayra pelan. "Ayra Seana?"
Ayra tersentak. Melihat kearah sekeliling. "Udah sampai ya?"
Gadis itu mengambil sling-bag nya untuk bersiap turun. Sebelum Ayra benar-benar turun, Agil mencekal tangan Ayra cepat.
"Kenapa?" tanyanya mengurungkan niat untuk membuka pintu mobil.
"Feeling so bad, right?"
Ayra diam tak menjawab. Agil sangat peka dengan dirinya. Agil benar-benar menjadi sosok abang yang selalu siap siaga untuknya.
"Jangan bohong. Gue tau lo lagi ga baik-baik aja. Isn't it?"
Ayra menyadarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Memejamkan mata sejenak guna menghembuskan napas pelan.
"Salah ya, Gil kalau gue suka dia?"
Hening beberapa saat.
"Gue sadar bukan siapa-siapa. Tapi gatau kenapa, rasanya nyesek banget. Kalau tau gini, lebih baik gue ga kenal dia dari awal."
Agil diam memperhatikan Ayra yang kini menatap ke langit-langit mobil. "Kayanya, gue udah ga lagi di fase suka. Tapi sayang. Paham ga sih? Gue sayang dia. Gue ga pengen dia kenapa-napa. Gue pengen ngasih yang terbaik buat dia."
Ayra mengacak rambutnya kasar. "Di satu sisi, gue ga pengen jadi orang jahat karna ngerebut dia dari ceweknya. Tapi, di sisi lain gue sayang dia. Sayang banget."
Ayra menatap Agil dengan tatapan lelah. "Jadi gue harus gimana?"
"Bantu gue," lirihnya menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
Agil mengambil kedua pergelangan tangan Ayra. Mengelusnya lembut. "Hey, liat gue."
Ayra menatap Agil. Menunggu sepupunya itu melanjutkan kata-kata.
"Yaya, lo harus ingat kata-kata gue. Kalau lo melibatkan Tuhan disetiap urusan lo, insyaallah semuanya bakal baik-baik aja. Lo bisa ngadu apapun. Bisa curhat apapun. Minta petunjuk-Nya."
Darahnya berdesir. Ucapan Agil benar-benar menampar dirinya.
Agil tersenyum hangat menatap Ayra. Adik kecil yang dulu selalu ia bela dan jaga, kini sudah beranjak dewasa. Sama seperti dirinya.
Tangan kekarnya mengusap rambut ikal itu. "Sekarang bukan masalah dia bisa suka balik ke lo atau engga. Suka itu wajar. Dan Tuhan menciptakan kita berpasang-pasangan."
"Tapi, lo perlu ingat satu hal. Jodoh, rezeki, dan maut, itu ditangan Tuhan. Jadi, ga perlu pusing lagi mikirinnya oke? Nanti malem, kalo kebangun coba shalat tahajud deh. Doanya gini,"
"Ya Allah, hamba menyukai salah satu makhluk ciptaanmu. Apakah rasa ini salah, Ya Allah? Sakit rasanya ketika melihat dia dengan yang lain. Hamba mohon, jika dia jodoh hamba, tolong dekatkan lah di waktu yang tepat. Tapi jika bukan jodoh, tolong hilangkan perasaan ini perlahan. Berikanlah yang terbaik, Ya Allah. Sungguh engkau Maha Mengetahui dari segala sesuatu."
Ayra mendengarkan ucapan Agil serius. Ucapan yang membuat hatinya menjadi hangat.
"Ingat kata Afgan. Jodoh pasti?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ayra: Cerita Cinta SMA
Ficção AdolescenteMemang benar, masa SMA itu masa yang paling indah. Masa dimana kita mulai mengenal apa arti cinta sesungguhnya. Ayra selalu menanamkan pada pikirannya, bahwa ia tidak boleh terlalu berharap bahwa percintaannya di masa SMA akan sangat bahagia. Layak...