25. Gadis Beruntung

387 67 12
                                    

WELCOME BACK TO KLANDESTIN!
Udah siap spam komentar????
Okeeey langsung ajaaa.
Happy reading!!!
Warning! Typo betebaran!
•••

"ADA yang pengen aku omongin ke kalian." Noureen menghela napas. Ia menatap para tentara PETA di hadapannya satu per satu.

"Sebenarnya aku bukan dari zaman ini. Aku datang dari masa depan, tahun 2023. Aku nggak tau gimana caranya aku bisa sampai di sini."

Muradi dan lima rekannya tampak terkejut. "Nona, kau bergurau bukan? 2023? Itu jauh sekali. Sekarang bahkan masih di bulan-bulan awal tahun 1945," ujar Suparyono tidak percaya.

"Tapi emang gitu kenyataannya. Kalian pasti tau kalau bahasa yang aku pakai agak beda sama bahasa Indonesia di tahun ini. Itu karena di masa depan banyak hal yang berkembang, termasuk bahasa Indonesia sendiri."

"Nona sungguh, ini sulit dipercaya. Aku tidak mengerti bagaimana bisa hal seperti ini terjadi dan ... mengapa?" Halir menyahuti.

Noureen menghela napas. "Sebenarnya sebelum ini aku lagi di perpustakaan dan baca buku tentang Shodancho Supriyadi dan rencana ini, tapi pas aku selesai baca, perpustakaan udah kekunci. Aku sempat lihat buku yang aku baca tadi jatuh dan kebuka di halaman tiga belas dan empat belas, sebelum akhirnya aku sampai di sini."

"Tunggu, berarti di masa depan negara kita sudah aman? Kita sudah merdeka?" tanya Ismail.

Noureen yang sempat terdiam pun mengangguk, menerbitkan senyum lega di wajah tentara PETA itu.

"Kau sungguh-sungguh Nona?"

Noureen mengangguk lagi. "Iya, Mas Halir. Indonesia merdeka, itu pasti," ujarnya dengan nada bicara yang melirih.

"Tapi .... "

Kamar Supriyadi menjadi hening. Noureen menatap rekan-rekan Supriyadi satu per satu. Ia menghela napas.

"Aku mau tanya, kalau seandainya ini nggak berhasil dan Jepang kasih hukuman ke kalian, apa Mas Murad sama lainnya bakal mundur?" tanya Noureen hati-hati.

Muradi sempat terdiam. Ia menatap lima rekannya. Kelima tentara PETA itu lantas mengangguk.

"Aku tau apa yang ingin kau katakan, Nona." Muradi bersuara. Ia menatap Supriyadi. "Bung, aku tahu, kau ingin mengatakan banyak hal kepada kami. Mengenai akhir dari semua ini, tapi kemarin saat kembali ke asrama, Guru menemui kami. Guru sudah menjelaskan segalanya kepada kami. Hanya saja aku tidak tahu jika gadis beruntung yang dikatakan Guru adalah kau, Nona," jelasnya.

"Gadis beruntung?" tanya Supriyadi. Muradi mengangguk.

"Sebenarnya Bung, setelah kami mengurus Taisa semalam. Aku bertemu dengan Guru di depan salah satu rumah warga. Sepertinya Guru menggunakan ajiannya untuk datang kemari. Guru menjelaskan banyak hal, termasuk mengenai akhir dari rencana kita nantinya. Guru juga mengatakan kalau ada seorang gadis beruntung dan terpilih yang datang dari masa depan untuk mendampingimu. Dan gadis itu adalah kau, Nona Nour."

Supriyadi dan Noureen terdiam. Keduanya sempat beradu pandang.

"Kami sudah mengetahui akibat dari keputusan kami sejak awal, Bung. Kami akan tetap melangkah dan melanjutkan rencana ini bersamaku walaupun jika kita akan mengalami kegagalan nantinya," imbuh Suparyono tegas.

"Bung Muradi dan Bung Suparyono benar, Bung. Ini sudah terlalu jauh, kita tidak boleh mundur lagi," kata Sunanto.

"Lagi pula, kita tidak bisa mengubah sejarah 'kan, Nona?"

Noureen tertegun mendengar pertanyaan Ismail. Gadis itu tidak bisa menahan air matanya lebih lama. Tangannya buru-buru menghapus butiran air yang mengalir dari pelupuk matanya. Tidak ingin Supriyadi dan tentara PETA lainnya mengetahui jika ia sedang bersedih.

"Kau tidak perlu takut, Nona. Kami akan tetap melakukan yang seharusnya dilakukan, tanpa mengubah sejarah sedikit pun," ujar Sudarmo.

Kamar Supriyadi kembali hening sebelum Supriyadi membuka suara. "Baiklah, aku rasa kita harus bergegas sebelum terlambat. Ada banyak hal yang harus dilakukan hari ini, terlepas dari tugas yang kita kerjakan."

Muradi dan lima tentara PETA lainnya mengangguk. Menyetujui perkataan pemimpin mereka. Tujuh tentara PETA itu lantas bangkit dari posisinya. Begitupun Noureen.

"Tunggu." Noureen menginterupsi. Tujuh tentara PETA sekaligus pahlawan idolanya itu menatapnya. Tanpa diduga Noureen menempelkan lima jemari tangan kanan yang rapat ke pelipis. Memberi hormat.

Tujuh tentara PETA itu tersenyum. Membalas hormat Noureen bersamaan.

"Kau jagalah dirimu, Nona. Jangan keluar sebelum Bung Supriyadi kembali," ujar Muradi.

"Siap, Shodancho Muradi!" tutur Noureen. Muradi terkekeh.

"Kalau seperti itu aku berangkat, Nona. Kau ingat pesan-pesanku tadi. Kalau lapar kau bisa memakan makanan yang sudah aku bawakan. Kalau haus kau juga bisa minum air yang aku sediakan. Jangan ke mana-mana sampai aku kembali. Mengerti?" Supriyadi kembali memberi penegasan. Noureen tersenyum lantas mengangguk.

"Iya-iya, aku ngerti kok. Janji nggak bakal ngelanggar lagi," ujar Noureen sembari mengacungkan tanda peace. Ekspresinya yang polos membuat Supriyadi terulur mengacak rambut Noureen. Pemuda itu membelalakkan matanya begitu menyadari ulahnya barusan.

"Mengapa berhenti, Bung? Lanjutkan saja bertingkah mesranya. Kami bisa keluar jika kau terganggu," ujar Halir jahil. Enam rekan Supriyadi itu terkekeh.

"Bung Supriyadi benar-benar berubah. Sepertinya kami harus berterimakasih kepadamu, Nona," timpal Suparyono.

"Sudah-sudah, kita berangkat sekarang." Supriyadi berucap dengan menstabilkan degup jantungnya. Ia berdehem kecil sebelum menatap Noureen. "Kau kunci pintunya. Aku akan kembali petang nanti. Jaga dirimu," ujar Supriyadi.

Noureen mengangguk. Selepas tujuh tentara PETA itu meninggalkan kamar, ia mengunci pintu dari dalam. Gadis itu memilih duduk di ranjang. Melihat pantulan dirinya yang masih menggunakan seragam PETA di cermin.

"Aku nggak bisa bayangin gimana kalau jadi Mas Murad sama lainnya. Walau udah tau gimana akhir dari semua ini, mereka masih bisa senyum. Bahkan ... mereka malah ngehibur aku di sini." Dada Noureen tiba-tiba sesak. Sakit rasanya membayangkan enam pria yang sudah ia anggap sebagai kakak dihukum oleh Jepang. "Sampai kapan pun aku nggak bakal ngelupain semua kejadian di sini. Mereka benar-benar pahlawan sejati. Hanya sedikit orang seperti mereka di masa depan. Bahkan mungkin, aku nggak bakalan bisa ketemu orang-orang baik seperti Priyambodo, Mas Murad, sama lainnya. Aku ngerasa beruntung bisa ketemu mereka."

Noureen menjeda perkataannya. Ia menatap layar gawai yang menyala, menampakkan fotonya dengan Supriyadi beberapa hari lalu. "Aku beruntung bisa lebih dekat sama Shodancho Supriyadi dan diberi kesempatan buat jatuh cinta sama dia."

Noureen menyimpan kembali gawainya. Pandangan gadis itu tertuju pada langit-langit kamar. Dengan susah payah ia mengambil napas dalam-dalam lantas mengembuskannya. "Aku tau kisahku sama Priyambodo nggak bakal bisa sesempurna kisah cinta Pak Habibie dan Bu Ainun, apalagi Bung Hatta sama Bu Rachmi, tapi aku nggak bakal nyia-nyiakan setiap saat yang aku jalani sama Priyambodo."

"Aku sama Priyambodo emang berbeda zaman. Nggak ada sejarah yang mengisahkan kalau Shodancho Supriyadi jatuh cinta sama seseorang dari masa depan. Dan itu nggak bakalan ada." Noureen menjeda perkataannya. Ia menghapus air mata yang entah sejak kapan sudah mengalir di pipinya.

"Dua insan yang diciptakan pada zaman berbeda ... "

" ... emang nggak seharusnya hidup bersama."

.
.
.
.
.
Bersambung...

Haiiii akuuu balikkkk
Maaf banget baru update, baru dapat ide heheheh
Btw kemarin aku ultah lhoo, nggak mau ngucapin? Wkwkwk bcandaa.
Oke deh berhubung nggak ada fakta sejarah di sini, jadiiii jangan lupa tinggalkan jejakkkk
Okeey see youuuuu 🥰🥰😍✨

Mojokerto, 14 Mei 2023

Dek Uti.

KLANDESTIN ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang