chapter 18

20K 740 0
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
.
.
.
.
.

Disebuah ruangan yang minim pencahayaan terdapat sosok pria bertubuh kekar dengan obsidian miliknya yang terus saja menatap ke arah bingkai foto berukuran besar didepannya.

" Putri kita sudah besar sayang. dia sangat cantik persis seperti apa yang kamu katakan dulu, " lirihnya.

" Walaupun kamu tidak disini, kamu pasti tahu tentang kebenaran putri kita bukan? aku telah bertemu dengan kakakku tapi sayangnya dia tidak mengenali suamimu ini, " pilu pria itu.

" Dan kebenaran nya adalah putri kita ternyata anak kakakku yang telah menghilang puluhan tahun yang lalu. artinya dia juga keponakanku. lucu sekali, ternyata selama ini aku merawat dan membesarkan anak yang pada kenyataannya adalah keponakanku sendiri "

Pria itu menghela nafas sebentar sebelum akhirnya melanjutkan ucapannya.

" Tidak ada yang bisa menebak takdir. aku tidak menyesal sayang. aku begitu bahagia merawat putri kita. dia adalah satu-satunya alasanku untuk bahagia saat ini, " gumam pria itu dengan sorot mata yang penuh luka didalamnya.

" Bagaimana menurutmu jika putri kita mengetahui hal ini? apa dia akan membenciku? apa dia akan meninggalkan ku dan kembali ke orang tua kandungnya? " lanjutnya bermonolog.

Mata pria itu bertambah sendu dan tak terasa buliran bening merembes melewati wajah dengan rahang tegasnya.

" Aku tidak sanggup sayang, aku tidak bisa jika harus kehilangan gadis kesayangan ku. apa yang harus aku lakukan? "

" Aku sedang menyelidiki sesuatu. setelah itu aku berjanji akan menemui putri kita nanti "

Pria itu beralih mengambil bingkai foto yang terdapat dua manusia dewasa yang berbeda gender dan anak kecil didalamnya.

" Ana uhibbuki fillah zaujati, and i love you more baby girl "

•••

Semilir angin begitu menenangkan hati pada pagi hari ini. daun-daun yang berguguran mulai banyak yang terbang bagaikan kapas terbawa angin. di pohon kokoh berdaun hijau segar itu, terdapat seorang gadis cantik yang begitu manis.

" Assalamualaikum mbak, " sapa seorang yang bersuara laki-laki.

" Waalaikumussalam "

" Saya diminta tolong sama ummah untuk mencari kamu, " ujar Gus Arsha.

" Terus kenapa? " tanya Xavia sedikit menaikkan salah satu alisnya.

" Mbak dipanggil ummah ke ndalem. ada yang ingin dibicarakan, " tutur Gus Arsha.

" Berbicara mengenai apa? " tanya gadis itu lagi.

" Tidak tahu mbak. mungkin bisa segera menemui ummah secara langsung, " jawab Gus Arsha.

" Ya sudah sana pergi, " ucap Xavia dengan nada ketus.

" Astagfirullah, jangan judes mbak! nanti tidak ada yang ingin menikah dengan kamu, " cetus Gus Arsha spontan.

" Dengarkan! aku calon makmumnya Gus Varo kalau lupa, " sinis Xavia melirik tajam lelaki itu.

" Iya kalau jadi, " cicit Gus Arsha pelan takut terdengar oleh Xavia.

" Kamu bilang apa tadi? " tanya Xavia begitu garang.

" Tidak ada mbak, afwan "

" Lagipula kita berdua bukan mahram, jadi buat apa aku bicara lemah lembut sama kamu. aku bukan perempuan centil asal kamu tahu. perlakuan lemah lembut aku hanya untuk keluarga dan imam aku kelak, " jelas Xavia kepada Gus Arsha yang sedari tadi hanya menunduk mendengarkan apa yang Xavia ucapkan.

Guliran Tasbih Aldevaro [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang