Halow ... Halow ....
بسم الله الرحمن الرحيم
●
●
●Selepas ziarah Fizo langsung menuju rumah lamanya. Saat turun dari mobil, mata Fira menyusuri sekitar, ternyata tidak buruk juga. Rumah banyak terbuat dari bata, bahkan tidak sedikit dari mereka sudah mempunyai kendaraan roda empat. Rumah juga berpagar, sungguh ini semua di luar ekspektasi Fira.
"Fira kira, desa rumahnya gubuk-gubuk, " ujarnya seraya mengikuti langkah Fizo memasuki rumah.
"Aku kadang bingung kenapa isi otak kamu hanya negatif semua."
Fira berdecak kesal mendengarnya. "Aish! Fira ingin melihat sawah. Jalan-jalan di sana pasti seru, kan?"
"Lebih baik kamu mandi dulu, setelah itu salat zuhur. Baru kita jalan-jalan."
"Asik!" Fira berseru senang, ia segera meletakkan bonekanya di kursi lalu mengambil baju ganti dan peralatan mandinya. Segera ia berlari secepat mungkin menuju belakang, karena setau Fira, yang sudah ia kutip dari berbagai film, bahwa biasanya kamar mandi selalu berada di belakang rumah. Dan yah, Fira menemukan sebuah sumur di sana. Matanya berbinar, baru kali ini ia bisa melihat langsung sebuah sumur yang biasanya berada di film.
Baru saja Fira meletakkan peralatannya di bawah, tangannya bergerak mencoba mengambil air dari sumur, tetapi Fizo langsung menarik tubuhnya agar menjauh dari sumur indah itu. "Aku suruh kamu mandi."
"Ih! Ini Fira akan mandi!"
"Tuh!" Fizo menuding sebuah ruangan yang berada di dalam rumah, tepatnya di samping dapur rumah Fizo. Kening Fira mengerut heran. "Biasanya kamar mandi desa itu di sumur, jadi Fira ke sini."
"Alasan. Cepat mandi." Fira berdehem seraya memutar bola matanya malas. Ia segera beranjak dari sumur dan memasuki kamar mandi. Sedangkan di luar, Fizo menatap lekat sumur yang berada di depannya itu. "Umma ...."
●●●●
Selesai dengan ritual mandinya, seperti janji Fizo tadi, setelah salat zuhur akan mengajak Fira jalan-jalan mengelilingi sawah. Kali ini Fizo mengeluarkan sebuah sepeda lalu matanya memberi isyarat pada Fira agar segera naik.
Fira menggeleng. "Tidak, Fira takut naik sepeda."
"Bersamaku, kamu aman. Ayo," ajaknya.
Akhirnya Fira hanya bisa menurut, karena jika tidak, pasti Fizo tidak akan menuruti permintaan jalan-jalannya. Perlahan tapi pasti, Fizo mulai mengayuh sepedanya melewati rumah-rumah. 'Tak jarang Fizo juga diberi sapaan ramah dari warga sana, bahkan beberapa pangling dengan Fizo karena sudah lama tidak kembali.
Hingga sampai pada banyaknya sawah, dengan pemandangan hijau segar dan semilir angin sore menerpa wajah mereka. Jilbab Fira dibuat beterbangan olehnya, tidak hanya satu foto yang Fira ambil dari kamera ponselnya, hingga foto orang-orang sawah juga ia ambil.
"Om-"
"Kau bisa jangan panggil aku, Om?" sela Fizo.
"Ya maaf, habisnya Fira tidak tau ingin panggil apa. Panggilan Om lebih cocok."
"Aku suamimu," ujarnya, "lalu?"
"Panggil aku Habibi." Kening Fira mengerut saat mendengar ucapan Fizo.
Ia memiringkan kepalanya agar bisa menatap wajah Fizo yang fokus pada jalan di depan. "Habibi? Apa itu maksudnya babi?" Ekspresi Fizo seketika berubah menjadi malas. Gadis ini! Selalu merusak momen mereka berdua.
"Sudah, panggil saja Habibi."
"Siap!" Fizo berusaha memalingkan wajahnya dari Fira. Kedutan di ujung bibirnya susah untuk ditahan. Ia mengusap wajahnya gusar, berusaha menetralkan kembali mimik wajahnya yang sudah memerah itu.
"Babi, Fira ingin berhenti di sungai itu!"
Duar. Kening Fizo mengerut, namun detik kemudian ia memejamkan kedua matanya seraya menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Tangannya bergerak mengusap dadanya. "Sabar ...."
"Habibi, Fira."
"Memang apa bedanya? Sama saja diplesetin bisa menjadi Babi."
Fizo memutar bola matanya malas. "Jangan diplesetin." Akhirnya Fizo menghentikan sepedanya di tepi sungai. Dengan mata penuh binarnya Fira menatap air jernih yang mengalir dari sungai kecil itu.
"Wah! Kepitingnya banyak sekali!" soraknya penuh kesenangan. "Babi, ambilkan kepiting itu, Fira mau."
"Kamu kira aku babu? Jangan kepiting, dia bisa nyapit. Kalau kau dicapit bagaimana? Mau hm?"
"Tidak! Maka dari itu Fira ingin Babi yang mengambilnya. Agar Fira tidak dicapit."
Lagi dan lagi Fizo hanya bisa memutar bola matanya malas seraya menghela napas pasrah. Ia melipat sedikit celananya ke atas lalu bergerak menuruni sungai, dengan sekali serok, tangannya mendapat tiga kepiting.
Tiga kepiting kecil.
Lalu ia kembali naik ke atas. Menyodorkan tiga ekor kepiting kecil itu pada Fira. Gadis itu mengerutkan keningnya saat menerima pemberian Fizo. "Kecil sekali, buruk rupa juga dia."
Karena terlanjur kesal dengan segala komentar Fira, Fizo meninju pelan kening gadis itu. "Jangan samakan dengan kepiting laut! Kepiting laut itu bule, kepiting di sini lokal."
Fira menatap lekat tiga kepiting kecil yang berada di telapak tangannya. "Apa bisa dimakan?"
"Aku tidak pernah mencobanya, tapi jika kamu penasaran, cobalah."
Namun detik kemudian Fira berteriak seraya mengibaskan tangannya. "Aaa ... kepitingnya nakal!" Diakhirinya dengan tangisan yang membanjiri pipinya.
"Astagfirullahaladim, jangan dikibas! Ya allah ...."
●●●●
Fira segera turun dari boncengan Fizo, gadis itu sepanjang jalan terus mengerucutkan bibirnya dengan buliran air mata yang sudah membasahi pipi. Dengan kesal ia mulai memasuki rumah, sedangkan Fizo, lelaki itu terlihat menahan tawanya saat melihat keadaan gadisnya itu. Kotor, penuh dengan lumpur hingga membuat wajahnya mirip seperti kudanil yang baru saja beranjak dari lumpurnya.
"Kamu!" Fira menuding lelaki di depannya itu dengan jari tenggah. "Jangan tertawa!" teriaknya diakhiri dengan tangisan yang semakin menjadi.
"Eh iya maaf, ayo bersih-bersih."
"Fira duluan!" Fira segera berlari menuju kamar mandi untuk ritual mandinya.
Sedang Fira membersihkan diri di kamar mandi, Fizo beranjak menuju sumur yang berada di belakang rumah. Ia mulai menimba air dari sana, namun pandangannya teralih pada seekor kucing kecil yang bersembunyi di balik tumpukan bata. Fizo mencuci tangan dan kakinya dahulu, lalu ia perlahan berjalan mendekati kucing itu. Mengangkatnya dengan senyuman manis tercetak jelas di wajahnya. "Kasian sekali kau, selama aku tinggal, apa Dino tidak mengurusmu, hm?" monolognya pada kucing kecil itu.
"Apa kamu mau membantuku memberi makan sapi dan ayam, lagi? Sudah lama bukan ... kita tidak melakukannya, haha ...." Fizo menduselkan wajah kucing itu pada wajahnya, ia menempelkan kucing mungil itu pada bajunya yang lumayan kotor. Tetapi bahkan kucing itu tidak memberontak sama sekali, justru ia lebih melekatkan kuku tajamnya pada baju Fizo.
Fizo terkekeh melihatnya. "Gemas sekali, aku sangat merindukanmu. Dan Umma, apa kamu juga rindu Umma, Pan?" Tanya Fizo seraya mengambil beberapa ikatan rumput untuk diberi makan pada sapi-sapinya. Selama ini Dino yang selalu mengurus hewan dan tanamannya di desa, tetapi dua hari yang lalu ia izin untuk menemani ibunya yang berada di rumah sakit. Tentu saja Fizo tidak bisa melarang, jadi ia memutuskan untuk menetap di desa selama beberapa hari sampai Dino kembali. Lagipula ia juga merindukan tempat masa kecilnya ini, bersama ... Umma tentunya.
Dino Dino Saurus haha
Acung yang dari desa, spam sini!
Key dari Jatim^^ halooo ....
Revisi 30 Mei 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan Tidak Seindah Bayangan [END]
عاطفية🚫Latar Belakang Cerita Diambil Dari KISAH NYATA🚫 ⚠️Aku tau ceritaku gak sebagus yang lain, tapi plagiat jauh-jauh ya⚠️ Perjodohan merupakan suatu hubungan yang akan dibawa ke jenjang serius, namun pasangan dipilihkan oleh orang lain. Opini orang t...