Bab 22 Emosional

295 20 1
                                    

Halow ... Halow ....

بسم الله الرحمن الرحيم



Fira melipat kedua tangannya di depan dada. Ia menghela napas berat. Tidak suka! Ia tidak suka dan tidak mau menjadi kakak! Jikalau ia belum menikah, bisa saja adiknya nanti yang dijadikan tumbal perjodohan. Kalau sudah seperti ini? Enak sekali adiknya bisa bebas memilih pasangan!?

"Fira tidak suka bayi itu!" Kedua matanya sudah berkaca-kaca, Fira beralih menuju balkon kamarnya, udara malam yang sejuk membuat bulu kuduknya berdiri semua.

Jika ayah sudah selalu kasar dengannya, kakek dan nenek tidak peduli. Hanya satu, Ibu yang selalu mengerti perasaannya. Jikalau adiknya lahir, apakah ia akan tersingkirkan sebab kedatangan adiknya? Pasti fokus mereka akan lebih pada adik, gumam Fira seraya tangannya mencengkram kuat pagar besi di balkonnya itu. Napasnya memburu, emosinya sedari tadi memberontak untuk keluar. Namun dari belakang, sebuah tangan kekar membawanya dalam pelukan hangat.

"Babi ... Fira tidak mau punya adik!" Renggeknya di sela tangisan.

"Mengapa? Bukannya akan lebih asik hm?"

Mendengar itu, Fira sontak mendorong tubuh Fizo. Membuat lelaki itu mundur beberapa langkah. "Asik bagaimana? Kamu tidak lihat bagaimana perilaku ayah tadi?" Fira menjeda ucapannya. Ia berbalik kembali menatap luar. "Fira serasa anak buangan," lanjutnya. Sementara Fizo hanya diam mendengarkan semua ocehan gadisnya itu.

Menurut saya itu wajar, karena jujur ucapanmu kelewatan.

Flashback on_

"Fira ingin sekali memegang perut Ibu, apa adik sudah besar?" Tanyanya membuat Ibu terkekeh.

"Sudah lima bulan," jawab Ayah seketika membuat Fira membulatkan matanya sempurna seraya tengangga. Apa!? Bahkan sepertinya masih berlaku sebulan ia menikah dengan Fizo. Dan adiknya sudah berusia lima bulan? Wow!?

Pandangan Fira beralih menatap Ibu. "Benarkah Ibu?" Ibu mengangguk dengan senyuman manisnya. Ia mengusap perutnya lembut. "Tidak diketahui selama empat bulan, dan pernikahan kamu juga sudah sebulan bukan? Usianya sudah lima bulan," paparnya membuat Fira semakin tidak bisa berkata-kata. Apa harus secepat ... itu?

"Fira tidak mau punya adik. Bisakah digugurkan saja?" Tanya Fira tiba-tiba membuat keadaan menjadi hening. Bahkan kini semua arah pandang mata beralih menatapnya. Fira menatap sekeliling bingung. "Mengapa? Fira salah?"

"Ra, kamu tidak boleh berkata seperti itu," nasihat Fizo.

Sedangkan Fira? Gadis itu mengerut heran. Di mana letak kesalahannya? Ia tidak mengerti. "Salah Fira di mana? Fira tidak mau punya adik, kalau tidak mau digugurin ya buang saja ke panti nantinya."

Plak. Satu tamparan keras yang ia dapatkan dari sang ayah. Membuat pipinya memerah dengan bekas cap tangan terlihat di sana. "Jaga ucapanmu Fira Agita!" Sentak ayah dengan mata memerah marah.

"Apa salah Fira, Ayah?! Fira tidak mau punya adik! Gugurkan saja dia! Enak sekali bisa menjalani asmara tanpa perjodohan seperti Fira! Fira tidak sudi! Bukankah anak kedua akan senasib ayah nantinya? Bebas memilih pasangan," Fira menekan pada kalimat akhirnya.

"Ayah membela adik karena Ayah di posisinya. Apa Ayah pernah di posisi Fira dan paman? Rasanya tidak enak, bahkan sejujurnya Fira benci dengan aturan gila perjodohan ini!!"

"Anak kecil ini berisik sekali," lirih Kakek.

"Rasa iri terhadap manusia itu tidak baik," tutur nenek.

Perjodohan Tidak Seindah Bayangan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang