Junghwan sudah memutuskan untuk keluar dari kantor tepat setelah Haruto berangkat ke Jepang. Awalnya Haruto protes, tapi semuanya berlalu ketika Junghwan tetap mempertahankan keinginannya untuk mencari lingkungan kerja baru yang orang-orangnya tidak tahu menahu mengenai sejarah percintaannya.
Junghwan bersyukur akan pesangon yang diberikan Pak Hyunsuk kepadanya, karena dengan uang itu dia bisa bertahan untuk waktu yang cukup lama walaupun dengan status menganggur. Junghwan memang belum ingin kembali bekerja. Perusahaan terakhir yang dia lamar juga memberi feedback baik dan berjanji akan menelpon. Jadi untuk sementara waktu dia memutuskan untuk healing, mengerjakan apa-apa yang tidak bisa ia lakukan saat masih bekerja dulu.
Sebulan setelah resign Junghwan memiliki banyak waktu untuk berpikir. Dia menyadari bahwa dalam masa healing-nya ini, dia tidak bisa berhenti memikirkan Haruto. Dia betul betul merindukan lelaki itu dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Dia ingin melihat senyuman percaya dirinya, matanya yang menajam ketika kesal, mendengar suaranya yang dalam dan berat. Tapi lebih dari itu semua, Junghwan ingin ngobrol, mendebat argumentasi keras kepalanya, menghabiskan hari harinya dengan Haruto seperti dulu.
Sejujurnya kalau dipikir pikir lagi, Junghwan tidak tahu kenapa dia sangat terobsesi untuk menolak Haruto hanya karena dia pikir dirinya worthless karena sakit hatinya pada Jeongwoo. Padahal setiap saat yang dihabiskannya bersama Haruto tidak sekalipun Jeongwoo terlintas di kepalanya.
Untungnya Haruto tidak langsung menyerah, dan Junghwan berterima kasih sekali untuk itu.
Drrttt Drttt....
Suara getaran handphone menghentikan laju pikiran Junghwan. Dia meraba-raba di atas tempat tidur tempatnya melempar benda pipih itu setelah semalam bervideo call dengan Haruto.
Tanpa melihat ke layar Junghwan langsung menjawab telepon itu, dia sudah hapal siapa penelponnya, karena setelah berangkat ke Jepang, Haruto punya kebiasaan baru untuk menelpon dipagi dan malam hari, katanya untuk mengisi energi.
"Hello," ucap Junghwan, suaranya masih serak karena belum melakukan apapun setelah bangun tidur tadi.
"Sorry... did i wake you up?"
Junghwan mengeryit ketika mendengar suara Haruto tak berbeda jauh darinya, masih berat dan serak, juga seperti baru bangun tidur.
"Kamu telat bangun?" tanya Junghwan, terdengar agak khawatir karena mungkin saja Haruto tiba-tiba sakit walaupun semalam kelihatan baik-baik saja.
"Iya, saya telat bangun," jawab Haruto kemudian terkekeh pelan, "God... even from a different country you manage to wrecked me last night, Junghwan." lanjut Haruto lebih terdengar seperti ungkapan kepuasan dari pada protes.
Oh? Haruskah dia katakan bahwa video call semalam bukan sekedar video call biasa?
Junghwan ikut terkekeh, mengingat bagaimana dirinya terkapar terengah-engah di atas tempat tidur, memandang Haruto yang keadaannya tidak jauh berbeda, dada telanjangnya naik turun, cairan putih menutupi tangan dan perutnya.
Tadinya, Junghwan mempertahankan temboknya dengan cukup baik untuk menuntaskan agenda penyembuhan hatinya sampai dua bulan kedepan seperti janjinya pada Haruto. Tapi ketika Haruto akhirnya berangkat ke Jepang dan mulai menelpon, perlahan-lahan pertahanan Junghwan runtuh.
Awalnya mereka hanya ngobrol biasa, membicarakan hal random, menanyakan kabar, dan bagaimana hari masing-masing. Cuma akhir-akhir ini... rasanya ngobrol saja tidak cukup dan entah siapa yang memulai, sesi telepon mereka jadi sedikit ... intim.
"Kamu telat nggak?" tanya Junghwan berusaha mengalihkan pembicaraan, dia tidak mau horny pagi-pagi dan membuat Haruto semakin kesiangan.
"Sedikit," jawab Haruto terkekeh lagi.
"I miss you," lanjut Haruto tiba-tiba berhasil membuat Junghwan sedikit kaget, mau tidak mau Junghwan hanya meresponnya dengan tertawa kecil.
"What? You don't miss me?" tanya Haruto, ada sedikit nada teringgung dalam suaranya.
Junghwan tidak menjawab hanya mengedikkan bahu, meskipun dia tahu lawan bicaranya tidak akan bisa melihat.
"You don't miss me?"
"Hmm."
"You don't miss me?" ulang Haruto, kali ini terdengar kesal.
"Apasih..."
"Junghwan, you dont miss me?" geram Haruto.
"Ya masa nggak kangen sama pacarnya." jawab Junghwan akhirnya, "Dih berisik kamu, masih pagi juga..."
"Wait..." ucap Haruto, suaranya tedengar sepuluh kali lipat lebih semangat dari sebelumnya, "pacar? Kamu bilang pacar barusan?"
"Kenapa? Nggak mau?" ketus Junghwan.
"No, mau... gila saja nggak mau! Saya cuma kaget, seingat saya kamu bilang kita belum resmi sampai saya pulang dari Jepang." ucapnya kemudian disusul dengan, "Holy shit, Junghwan. kamu nggak bisa tarik kata-kata kamu tadi. Nggak mau tau. Saya pacar kamu sekarang."
Mau tidak mau Junghwan tertawa mendengar Haruto ceria pagi-pagi begini, "iya...iya. Sana siap-siap nanti kamu makin telat."
"Sebentar saya mau check kalender dulu."
"Kenapa?" Junghwan langsung bangun untuk mencari kalendernya, penasaran apakah ada hal penting dalam waktu dekat.
"Masih satu bulan lagi... " ucap Haruto. Junghwan bisa mendengar helaan napas panjang setelahnya. "saya betul-betul ingin pesan tiket pulang sekarang. Dingin banget disini, gila." lanjutnya.
"Bukannya di Jepang sedang musim semi sekarang?" tanya Junghwan bingung.
"Dingin karena nggak ada kamu di tempat tidur saya."
"Jangan lebay deh, kita teleponan dua kali setiap hari and i still make you orgasm. saya yakin kamu di situ nggak dingin sama sekali." omel Junghwan, "sana mandi terus siap-siap, kenapa malah jadi keterusan ngobrolnya."
"Mau nggak satu ronde, sekalian temenin saya mandi?"
"Nggak mau!!!" teriak Junghwan, yang ada Haruto nanti tidak jadi berangkat.
Junghwan bisa mendengar Haruto tertawa, "Oh my god, Junghwan... bisa nggak kamu ada di apartemen saya saat saya pulang nanti? Saya akan kirim passcodenya supaya kamu bisa masuk."
"Nggak jemput di bandara?"
"Nggak usah, tunggu saja di dalam apartemen saya..." ada jeda yang lumayan panjang sebelum Haruto melanjutkan.
"Kalau bisa nunggunya sambil telanjang saja."
Lalu sambungan telepon terputus.
-
Satu chapter lagi, soalnya rabu suka yg ganjil-ganjil
KAMU SEDANG MEMBACA
Solace
RomanceJunghwan mengalihkan rasa sakit hatinya dengan mencari pelipur lara Solace is to give comfort in grief , sorrow, misfortune, or trouble; alleviation of distress or discomfort *Deskripsi mungkin tidak sesuai dengan cerita, but deal with it* Warning...