Junghwan langsung pulang ke rumahnya beberapa saat setelah Jeongwoo betul-betul meninggalkannya. Tanpa repot-repot meninta izin dari atasan terlebih dahulu. Setidaknya kalau Jeongwoo sebagai atasannya sekaligus penyebab dari kesedihannya, masih punya sedikit rasa kemanusiaan, dia tidak akan mempermasalahkan Junghwan pulang lebih awal hari ini.
Keesokan harinya Junghwan juga tidak datang ke kantor, dia belum siap bertemu Jeongwoo. Dia belum bisa memasang muka baik-baik saja ketika hati dan tubuhnya seakan kehilangan nyawa. Di rumahnya sendiri, Junghwan tidak perlu menahan tangis, tidak perlu pura-pura baik-baik saja. Maka dua hari absennya, dia habiskan dengan menangis sepuasnya.
Tapi Junghwan juga tidak bisa terus-terusan begini, berusaha menghindari kenyataan di balik tembok rumahnya. Bagaimana pun dia punya pekerjaan yang harus diselesaikan, tagihan yang harus dibayar, perut yang harus diisi, dan juga tubuh yang harus dirawat. Jadi dengan berat hati, Junghwan akhirnya kembali berangkat ke kantor di hari ketiga.
"Kasihan Junghwan deh, ditinggal gitu aja sama Pak Jeongwoo."
"Tapi harusnya dia juga udah siap sih kalo itu kejadian, i mean... Pak Jeongwoo ganteng, tinggi, kaya. Ya masa orang begitu gampang banget settle down."
"Justru karena itu, pasti Junghwan mikirnya Pak Jeongwoo juga cinta mati sama dia, jadi sekarang diputusin, terpuruk banget sampe nggak berangkat kerja berhari-hari ."
"Emang bener kata emak, jangan mimpi ketinggian."
Junghwan sebetulnya sudah ingin meneriaki dua orang rekan kerjanya yang malah asyik bergosip saat jam kerja seperti ini. Apa sebegitu serunya acara menggosip mereka sampai-sampai mereka buta bahwa Junghwan sudah berangkat dan sedang duduk di balik kubikelnya sekarang?
"Junghwan?" Lily, salah satu rekan kerja Junghwan yang duduk tepat di samping kubikelnya akhirnya bertanya, mungkin merasa kasihan melihatnya menjadi bahan gosip seluruh kantor. "aku ikut sedih ya kamu putus sama Pak Jeongwoo... tapi kamu baik-baik aja, kan?"
"Aku nggak papa," adalah jawaban yang keluar dari mulut Junghwan walaupun sebetulnya dia jauh dari kata itu.
Lily hanya mengangguk, membiarkan Junghwan sendiri, tidak ingin memperburuk mood Junghwan dengan pertanyaan-pertanyaan lain, yang pasti akan makin mengingatkannya pada sumber kesedihannya.
Waktu terus berjalan setelah itu dan Junghwan mulai menyadari bahwa Jeongwoo terlambat. Jeongwoo jarang terlambat apalagi di hari senin seperti ini, dia selalu on time, apapun yang terjadi. Tepat saat Junghwan memeriksa waktu untuk yang kesekian kalinya, lift mengeluarkan bunyi ping dan keluarlah Jeongwoo diikuti oleh Asahi, sekretarisnya.
Junghwan bertanya-tanya jadwal apa yang dimiliki Jeongwoo sampai harus datang terlambat dengan sekretarisnya pada hari Senin pagi begini, otaknya yang enggan terlalu menduga-duga akhirnya menyimpulkan bahwa mereka mungkin ada rapat pagi di suatu tempat.
Tapi yang benar-benar mengganggu Junghwan adalah Jeongwoo tampak baik-baik saja. Sangat baik-baik saja malah, dia bisa mengobrol gembira dengan sekretarisnya sambil melangkahkan kaki panjangnya di sepanjang lorong, mengucapkan selamat pagi pada beberapa karyawan lain saat dia lewat. Dia baik-baik saja sementara Junghwan sama sekali tidak baik-baik saja.
"Junghwan," sebuah suara memanggil membuat Junghwan tersentak di atas kursinya sebelum menyadari bahwa Jeongwoolah yang ternyata sedang berdiri di balik kubikelnya.
"Bisa ikut saya? saya mau bicara sebentar." ucap Jeongwoo sebelum Junghwan bisa menjawab panggilannya.
Bahkan kata aku sudah berubah menjadi saya sekarang.
Junghwan bangkit dari kursinya, berjalan gontai mengikuti Jeongwoo masuk kedalam kantornya dan berdiri kikuk di tengah kantor tersebut sementara Jeongwoo mengambil posisi duduk di belakang mejanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Solace
RomanceJunghwan mengalihkan rasa sakit hatinya dengan mencari pelipur lara Solace is to give comfort in grief , sorrow, misfortune, or trouble; alleviation of distress or discomfort *Deskripsi mungkin tidak sesuai dengan cerita, but deal with it* Warning...