— PERAHU KERTAS —
Sudah hampir tengah malam, tetapi Bita dan Abian masih berada di danau. Perahu kertas mereka masih mengambang walau tak lagi berdampingan, salah satunya mulai ke tepian siap berlabuh, sedang yang satunya masih di tengah-tengah.
Abian rebahan terlentang di karpet dengan salah satu lengan yang dipakai sebagai alas, karpet itu hanya mengalas sebagian tubuhnya karena dari perut sampai ujung kaki menjulur ke rerumputan. Bita sendiri sedang sibuk mengotak-atik ponselnya, ia mendapatkan email masuk dari salah satu penerbit, tentu saja Bita senang bukan main, menunggu hari di mana salah satu karyanya diterbitkan itu sudah dari jauh-jauh hari. Walau ia sempat ragu mengingat penulisannya belum serapi penulis-penulis pada umumnya. Tapi malam ini, ia mendapat kabar baik.
Panggilan masuk dari Sandi mengalihkan atensi Bita, buru-buru ia menerima panggilan tersebut.
"Assalamualaikum, ada apa?"
"Waalaikumsalam, tumben adem suara lo."
Bita merotasikan bola matanya malas. "Kenapa, sih? Ganggu orang lagi seneng juga!"
"Abian sama lo, kan? Dia baik-baik aja, kan?"
"Hmm, kenapa emang?" Bita melirik Abian yang masih rebahan dengan mata terpejam. "Dia lagi rebahan, nih."
"Di danau, kah? Mending kalian pulang, ini udah malam, kasihan juga Abian kalo kedinginan, dia lagi sakit katanya."
Bita mengembuskan napas kasar. "Gue udah berusaha buat ajak dia pulang, tapi dia malah nolak."
Abian beranjak dari tidurnya, lalu Bita menurunkan ponselnya dari telinga seolah terpaku dengan wajah Abian. Sebenarnya tak masalah jika wajah Abian normal, tapi melihat bibirnya yang mengering dan keringat bercucuran di dahinya, jelas membuat Bita terpaku membisu. Agaknya Abian sakit lagi, tapi memang kalau sedang sakit tidak pernah mau diam di rumah, katanya tak mau membuat Bunda dan adiknya cemas.
"Bin."
"Hm?"
Bita bergerak mendekat, dia meraih wajah Abian dan memegangi kedua pipi cowok ini. Dipandanginya Abian dengan cemas.
"Ke rumah sakit, yuk!" ajak Bita. "Gue ngga bakalan ngasih tahu Om sama Tante, janji."
Abian mengangguk saja. Jika sudah begini, berarti Abian memang benar-benar sedang pusing. Dia punya tekanan darah yang tidak stabil, bisa naik sewaktu-waktu jika pikirannya sedang tak karuan. Sampai saat ini Bita juga bingung, apa yang Abian pikirkan sehingga dia sampai sering sakit begini.
Bertukar posisi.
Bita yang membawa motor Abian, sedang di belakang Abian harus berpegangan dengan cara memeluk perut Bita. Kalau sedang tidak sakit, Bita sudah menggeplak lengan cowok itu.
Perjalanan menuju klinik tujuan hanya butuh waktu beberapa menit saja, sesampainya di sana Bita langsung meminta bantuan beberapa petugas kesehatan. Abian dibawa ke dalam ruang pemeriksaan, sedang ia berdiri cemas di ruang tunggu. Bukan kali pertama Abian mengeluh sakit kepala hingga berakhir dirawat semalam, dan rasa cemasnya masih saja sama.
"Ta, klinik biasa?"
Bita terperanjat kaget, dia baru menyadari bahwa sambungan telepon dengan Sandi masih belum berakhir. Diambilnya ponsel itu, dijelaskannya bahwa Abian sedang dalam pemeriksaan dan tak perlu khawatir tentang apapun. Bita juga bersedia menemani Abian sampai waktu yang ditentukan, sebab Abian pun selalu bersedia menemaninya dengan sabar.
"Bagaimana keadaannya, Dok?"
"Tekanan darahnya kembali naik, seperti biasa harus dirawat sampai Pasien benar-benar membaik," jelas pria berjas putih tersebut, yakni dr. Andri.
"Terima kasih, Dok."
Setelah mendapatkan penjelasannya, Abian keluar dari ruangan dan segera dipindahkan ke ruang rawat umum. Kebiasaan kalau datang ke klinik pasti di waktu yang bukan seharusnya, saat ini pasien-pasien di ruang rawat sudah terlelap, jadi harus sedikit lemah lembut agar tak mengganggu siapa pun.
Bita menutup korden pembatas antar bilik pasien yang dirawat, dilihatnya Abian yang tiduran sambil menimpa matanya dengan salah satu lengan. Pantas saja mengajak bertemu, ternyata memang sedang ada yang dirasa. Tekanan darah tinggi yang dimiliki Abian memang sewaktu-waktu bisa menyerangnya.
"Pulang aja, Bie," kata Abian.
Bita hanya bergeming.
"Bang Juna pasti cemas."
Bita masih bergeming. Hal itu membuat Abian kontan menurunkan lengannya untuk melihat keberadaan Bita yang dia yakini masih bersamanya saat ini. Abian cemas, dia melihat adanya sepasang mata yang berkaca-kaca siap menumpahkan airnya.
"Bin, jangan sakit begini, dong~"
Dan pecah sudah tangis Bita di sana, dia berusaha menahan suaranya tapi nada sesenggukan akibat dari rasa takut kehilangan tetap saja kedengaran, apalagi ruangan terlampau hening sekarang. Bita peluk Abian dari samping, ia sandarkan kepalanya di dada cowok itu dan menggigit jaket tebal Abian untuk menahan suaranya.
"Bie, gue sembuh besok juga," kata Abian bernada bisikan sekaligus kekehan. "Ngga apa, kali. Biasanya juga begini."
"Tapi janji, ya, Bin?" Suara Bita terdengar gemetar. "Janji sembuh, ya? Janji ngerusuh sama gue lagi, ya?"
Abian terkekeh gemas, ia mengusap-usap pucuk kepala Bita yang berada di dada bidangnya.
"Bin!"
"Sssstt, lo bisa bangunin pasien lainnya, Bie."
"Janji dulu."
"Lo jangan nangis dulu, baru gue janji."
Bita menarik paksa ingusnya, ia beranjak dari dada Abian dan menyeka air mata yang menjejak di pipi itu. Ia ulurkan jari kelingkingnya pada Abian dengan pipi menggembung serta masih sesenggukan.
"Udah, Bie, Ih," kata Abian masih dengan kekehan. "Nanti sakit lo, jangan nangis begitu, gue juga ngga bakalan pergi ke mana-mana."
"Janji dulu, Bin~"
"Iya, gue janji." Abian menautkan jari kelingkingnya dengan Bita. "Gue janji bakalan selalu jagain lo, gue juga janji bakalan terus bareng sama lo sampai hari di mana Tuhan menjemput gue."
Bita menarik jari kelingkingnya dari tautan, ia memalingkan pandangan ke sembarang arah dengan angkuh sekaligus untuk menghindari tatapan Abian padanya. Melihat itu jelas membuat Abian makin gemas, kalau sedang tidak pusing Abian mau mencubit kedua pipi gembul Bita.
"Cerita gue dipinang, kira-kira ... gue harus terima atau jangan?"
"Serius?"
Bita mengangguk.
"Terima, Bie. Lo udah lama menunggu waktu salah satu karya lo diterbitkan. Karya lo yang mana yang dipinang, Bie? Mau baca gue, mau jadi orang pertama yang baca cerita lo!"
"Bin, jangan berisik!"
Abian kontan melipat bibirnya, dia yang sebelumnya tampak lemah kini jadi sumringah. Bita pasti bahagia sekarang, karena dari dulu dia ingin salah satu karyanya menjadi buku dan dibaca oleh banyak kalangan.
"Jadi cerita lo yang mana? Kasih tahu gue akun lo, dong. Gue mau lihat."
"Ngga usah, nanti aja pas udah jadi buku," kata Bita. "Soalnya ceritanya super beda dari cerita-cerita gue yang sebelumnya."
Abian memicingkan matanya. "Jangan-jangan cerita tentang lo yang berharap jadi jodoh gue, ya?"
"Najis!" tukas Bita telak. "Maksud beda dari yang lain itu, cerita gue kali ini akhirnya bahagia, ngga kayak yang lainnya!"
Tapi iya, gue berharap kita berjodoh, eaks! Bita membatin kegirangan.
— PERAHU KERTAS —
KAMU SEDANG MEMBACA
Perahu Kertas
Fanfiction[COMPLETED] "Perahu kertasnya tenggelam satu." [07-05-23] #1 sua [12-05-23] #1 moonbin