Takut Tidak Sempat

147 26 12
                                    

— PERAHU KERTAS —

Abian mengulurkan satu botol minuman kepada Nathan, hal itu jelas berhasil mengalihkan atensi sahabatnya yang sedang asyik menatap lurus ke depan. Abian tahu akan pergi ke mana Nathan apabila tidak ada di UKS, Nathan pasti datang ke atap gedung sekolah untuk merasakan embusan angin. Lumayan menyejukkan jiwa raganya.

"Ngga mau berusaha lagi?"

"Ngga." Nathan meneguk minuman pemberian Abian sampai habis setengah. "Udahlah, capek."

"Baru sekali nyoba. Yakin? Gue bakalan bantuin, nih!"

Nathan menggelengkan kepalanya. "Ngga, gue nyerah."

"Lemah!" hardik Abian sembari mendorong lengan Nathan. "Kalo begitu lo ngga benar-benar cinta sama Bita. Perjuangan macam apa ini?"

"Lo pikir dengan memaksakan semuanya bakalan berakhir baik-baik aja?" tanya Nathan. "Lagipula ... gue bukan cowok yang dia harapkan."

"Tapi lo sayang sama Bita?"

"Iyalah, pasti."

Abian merangkul bahu Nathan, ia pun mendaratkan beberapa tepukan di bahu sahabatnya sebagai dukungan.

"Gue mau tanya sesuatu sama lo," ujar Nathan.

"Apaan?"

"Lo sama Bita itukan udah sahabatan lama, lo berdua juga udah kenal satu sama lain. Apa lo yakin lo ngga suka sama dia?"

Abian bergeming.

"Kalian barengan bukan cuma beberapa hari, tapi sampai bertahun-tahun. Yakin? Ngga diam-diam naruh perasaan?"

"Ngga," jawab Abian. Kemudian ia melepaskan tangannya dari bahu Nathan. "Ngga ada, kok. Lagipula sulit buat gue membandingkan rasa sayang sebagai sahabat dan rasa sayang sebagai pacar atau semacamnya."

"Kalau Bita suka sama lo, lo mau gimana?"

Abian terbahak, dia mendaratkan beberapa kali pukulan di lengan Nathan sampai cowok itu harus menggeser posisi duduk. Tawa Abian kontan berhenti, raut wajahnya berubah jadi serius.

"Apa iya?" tanya Abian. "Kayaknya mustahil dia suka sama gue, secara keseharian dia ke gue itu kalo ngga mukul ya ngucapin kata-kata pedas!"

"Seandainya!" tekan Nathan.

Abian beranjak dari duduknya, dia berjalan ke tepian atap gedung sehingga membuat Nathan yang tak bisa berpikir baik-baik langsung saja menghampiri.

"Ngapain lo?" tanya Nathan sambil memegangi Abian. "Ngga ada, jangan bunuh diri, lo masih muda."

"Tuh!" tunjuk Abian dengan dagunya.

Nathan maju selangkah hingga berdiri di sebelah Abian, dia melihat ke mana arah pandangan Abian. Bita sedang ribut dengan Sandi di lapangan, selain itu ada Jiah dan Jihan yang kelihatan tertawa menanggapi perdebatan di antara mereka berdua.

"Gila ngga, sih?" kata Abian. "Setelah dia nolak lo, dia ngga ada beban apa-apa."

"Mungkin itu cara dia menyembunyikan semua beban pikirannya," kata Nathan. "Kita ngga tahu bagaimana dia menjalani kehidupan yang sebenarnya, kan?"

Abian mengangguk setuju, ia merangkul bahu Nathan merasa bangga punya sahabat seperti dia.

"Udah, memang lo harus memiliki Bita, dia butuh cowok bijaksana dan sabar kayak lo," tutur Abian.

'Gue cuma takut ngga sempat memiliki Bita.' Abian membatin. Dia menoleh ke arah Nathan, menatap bangga sesosok Nathan yang kini terus memandangi keributan di bawah sana.

— PERAHU KERTAS —

"Hubungi Papa di malam saja, Ta. Soalnya sekarang Papa lagi sibuk kerja."

"Bita udah pernah nelepon Papa di malam hari, tapi Papa ngga terima panggilannya, tuh."

"Malam yang mana?"

"Eum, sekitar dua hari yang lalu kali, ya? Pokoknya pas itu Bita butuh banget Papa."

"Oh, kalau malam sabtu sama malam minggu Papa lagi makan malam bareng keluarga Nindy. Padahal hape Papa dipegang sama Nindy, tapi dia ngga bilang kamu nelpon."

"Oh~ iya, Pa."

"Telepon Papanya di malam biasa saja, kalau malam sabtu sama malam minggu Papa udah punya jadwal makan malam bareng soalnya."

"Dulu Papa ngga pernah punya waktu buat makan malam bareng," kata Bita saat diingat-ingat. "Sekalinya ada di ruang makan malah debat sama Mama."

"Bita maaf, Papa tutup dulu teleponnya, sekarang Papa harus pergi jemput Satria."

Bita sudah membuka mulut hendak menjawab, tetapi panggilan berakhir begitu saja. Dia menurunkan ponselnya begitu saja, kedua bahunya merosot kecewa setelah berbicara dengan Papa Pram.

"Ta? Masih lama, ngga? Gue kebelet, woi!"

Sepasang matanya memanas, bibirnya mulai gemetar. Namun, Bita memutuskan untuk mendongak, menahan air matanya agar tak jatuh.

"Ta!!! Ngga kuat, tolong buka pintunya, gue mau berak!"

Bita beranjak berdiri, ia membuka pintu toilet yang terus diketuk oleh seseorang di luar sana.

"Lama banget, sih, lo!" protes cewek itu.

Bita tidak peduli, dia seolah tuli. Kini Bita berdiri di depan cermin, berpegangan pada tepian wastafel dengan disertai sedikit remasan di sana. Ia memejamkan matanya, bayangan ketika masih bersama keluarganya muncul begitu saja.

"Ah, gila banget, masa gue nangis cuma karena hal spele begini?"

Bita menyalakan kran air, ia lantas membasuh wajahnya agar saat keluar kamar mandi wajahnya kembali fresh. Jika bukan karena dia ingin bicara dengan Papa Pram, dia tak akan meninggalkan kelas dan pura-pura ingin buang air kecil.

Tadi pagi Bita mengirimkan pesan pada Papa Pram, dia bilang rindu. Dan di pertengahan jam pelajaran Papa Pram tiba-tiba saja menghubunginya. Bita pikir rindunya akan terobati, tapi yang ia dapat hanyalah rasa sakit.

Bita keluar dari kamar mandi, dia dibuat terperanjat kaget mendapati keberadaan Abian dengan beberapa helai tisu. Cowok itu menghadang langkah Bita, menatapnya serius sehingga Bita berdebar.

"PMS? Sakit kepala? Atau kenapa?" tanya Abian.

"Bukan urusan lo!" cetus Bita. Sebisa mungkin Bita tidak menunjukkan benih-benih cintanya pada Abian. "Lagian lo ngapain di sini?"

"Bukan urusan lo!" balas Abian.

Bita mendengkus kesal, ia mendaratkan dua kali dorongan di lengan Abian hingga cowok itu harus berpegangan pada tembok.

"Lo ngintip gue, ya?" tunjuk Bita. "ABIAN, ISTIGFAR LO! LO MAU NGINTIP GUE DAN—"

Sebelum Bita berkata yang tidak-tidak, Abian lebih dulu membekap mulutnya sehingga tak ada kalimat lain terungkap darinya.

"Gue juga abis dari toilet!" tekannya. "Lagipula gue ngeliat lo ditelepon sama Bokap lo, jadi ... gue udah ada feeling lo bakalan sedih."

Bita merotasikan bola matanya malas. "Ngga usah sok tahu!"

"Mata lo ngga bisa boong, ya," kata Abian. "Lo habis nangis, kan? Coba bilang ke gue, Om Pram ngomong apa ke elo? Gue datengin dia sekarang!"

"Berani lo?"

Abian menyengir. Lalu, Bita menghadiahi Abian satu pukulan telak di lengannya. Abian memang tubuh pilihan yang begitu kuat menerima pukulan-pukulan dari Bita.

"Ah, pusing banget~" keluh Bita.

Abian mengernyit, ia lantas meraba kening Bita untuk memastikan.

"Mau ke UKS aja, bisa ngga, sih?" tanya Bita dengan helaan napas berat. "Berat banget kepala gue rasanya, pengin pecah!"

"Mending cium aroma ketek gue, nih!"

— PERAHU KERTAS —

Perahu KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang