Jika Diberi Kesempatan

162 31 19
                                    

— PERAHU KERTAS —

"Ada yang lagi rame, nih."

Bita merampas ponsel Abian untuk memeriksa apa yang sedang cowok itu lihat. Dia mengumpat, tidak pernah sudi melihat artikel yang makin trending karena perbuatan Sekala. Memang tidak ada yang akan berani mempublikasikan hal tak penting itu selain salah satu dari kedua belah pihak, antara Sekala atau Bita. Kebetulannya Bita tidak punya kenalan admin media sosial sekolah, jelas sudah siapa yang menginginkan artikel itu dipublikasikan.

"Menurut lo?" tanya Bita sinis. "Berita ngga penting begitu ngapain dilihat? Parahnya, berita itu cepat banget naiknya, beda lagi kalo urusannya dengan prestasi. Aneh!"

Abian tertawa kecil. "Lo kenapa, sih? Bukannya senang, ya? Secara, semua orang tahu kalau Bita ini mampu menaklukan laki-laki terkenal semacam Bang Sekala."

"Keren, begitu?" tanya Bita. "Awalnya keren, tapi pas dipikir-pikir di mana letak kerennya? Yang ada alay!"

"Masa?" tanya Abian tak percaya. "Memangnya lo udah ngga ada rasa lagi sama Bang Sekala? Gue ngga yakin lo bakalan secepat itu buat move on."

Bita mengangkat sebelah tangannya ingin memukul Abian, tapi kesadarannya timbul saat ia mengingat Abian sedang dalam masa pemulihan. Dia alihkan pukulan itu dengan meremas kekosongan di hadapan wajah Abian, sebuah tanda ia sangat gemas.

Abian genggam tangan Bita yang tetap bertahan di depan wajahnya, ia tarik lebih dekat ke dadanya hingga secara reflek kepalan itu melemah. Bita terpaku membisu, ia dapat merasakan detak jantung Abian yang sangat beraturan.

Sejurus kemudian ia tersenyum picik, dan tanpa ragu meremas dada cowok itu sampai pemiliknya meringis kesakitan. Bita terbahak, dia suka sekali melihat Abian meringis begitu, apalagi melihat wajahnya yang memelas minta diampuni, tentulah sangat menggelitik.

"Gimana novelnya?" tanya Abian.

"Pekan depan tanda tangan kontrak, anjay kontrak. Pokoknya, nanti gue bakalan kasih lo buku ori pertama yang isinya paling beda dari yang lainnya!"

"Cerita tentang apa, sih, Bie?" tanya Abian kepo. "Apa gue masuk ke dalam ceritanya? Apa gue menjadi bagian tokoh dalam cerita lo itu?"

Bita memicingkan matanya. "Bisa jadi."

"Lo bilang yang sekarang happy ending, iyakan? Jangan-jangan kisah lo sama Bang Sekala, ya? Lo ngga bisa bahagia di dunia nyata, makanya lo bikin dunia fiksi dengan akhir bahagia!"

Bita berdecak sebal. Sekala terus yang Abian bahas, telinga Bita sudah panas mendengar nama cowok itu. Bita bosan, tapi apapun tentangnya selalu Abian sangkut kan dengan Sekala.

"Lo baca aja nanti," kata Bita jutek. "Gue mau ke kamar Sea, bye!"

"Yeu, gitu aja ngambek, dasar cewek galak!"

Bita menghentak sebal. Apakah Abian tidak berpikir kalau Bita sebenarnya menulis kisah tentang mereka?

Abian memang menyebalkan akhir-akhir ini, dia sulit peka yang membuat Bita marah.

"Seaaa~" panggil Bita seraya membuka pintu kamar adik Abian. "Belum tidur?"

"Menurut Kakak?" Sea balik bertanya. "Bantuin tugasnya, dong, Kak. Kakak itukan udah pengalaman, pasti tahu gimana menyelesaikan soal yang ini."

"Gampang!"

Bita dengan bangganya mengambil buku tugas Sea, dia mengerjap beberapa kali begitu melihat banyak angka-angka yang harus diselesaikan. Ia menelan salivanya dengan susah payah, dahinya pun mulai berkeringat karena panik melihat soal-soal tersebut.

Bita menguap seketika. "Duh, kalo ngga tidur bisa bahaya, bisa jadi macan! Nih, kamu selesaikan saja pr nya besok, bisa nyontek teman, kok."

"Yeu, Kak Bita, kirain diambil bisa ngerjain, dasar!"

Alih-alih pulang seperti teman-temannya yang lain, Bita memilih untuk menetap karena Abian pasti butuh dia. Abian terlalu segan minta bantuan keluarganya, katanya malu.

"Kak Abi di luar?" tanya Sea.

"Heem, masih nongki di depan televisi tadi," jawab Bita.

"Kakak ngga nyuruh dia buat tidur sekarang?" tanya Sea.

Hening.

Sea memutar kursi belajarnya dan mendapati Bita yang sudah tidur terlentang dengan posisi nyaman baginya. Ternyata Bita tidak berbohong, dia memang mengantuk.

— PERAHU KERTAS —

Jika Bita diberi kesempatan untuk memutar waktu, maka dia akan memilih ke masa di mana Sekala mendekatinya. Dia akan menolak cowok itu bagaimana pun caranya, dia tidak akan tergiur dengan derajat tinggi Sekala di mata orang-orang. Pokoknya, Bita tidak mau mengenal Sekala.

Bita mendapat cibiran karena artikel itu tidak kunjung menghilang. Banyak sekali tusukkan pisau hari ini, membuat hatinya tersayat-sayat dan terluka parah. Maklum, Bita baru merasakan dihujat begini, apalagi oleh banyak orang.

"Dia punya kaca atau engga, sih?"

"Kacanya retak, kali."

"Dia ngga cocok sama sekali sama Kak Sekala."

"Makanya, agak ngga percaya sama artikelnya. Moga aja itu cuma rumor."

"Ibaratnya Kak Sekala itu langit, sementara dia cuma tanah yang sering kita injek!"

Bita tidak tahan.

Dia marah.

Dia menarik kerah baju cewek yang baru saja menyebutkan seberapa jauhnya dia dengan Sekala. Dari sudut pandang mana pun, Sekala itu terlalu tinggi untuk Bita yang biasa saja. Dahulu juga Bita tak ada niatan naksir Sekala, apalagi sampai jadian dan putus sekarang.

"Ngomong apa lo barusan?" tanya Bita geram. "Ya, gue memang bukan orang berada, gue cuma anak ngga punya rumah yang punya perasaan!"

Cewek itu mengangkat kedua tangannya, sudah meronta ingin melepaskan diri tapi sulit karena tenaga Bita.

"LO YANG NGACA!" bentak Bita marah. "Lo secantik apa, sih? Semua yang ada di muka lo itu ngga ada yang asli!"

"Bita anjing, diem!" balas cewek itu.

"Kenapa? Malu lo? Malu karena keadaan orang tua lo pas-pasan, tapi lo mau mengedepankan gaya hidup lo yang sampah itu!" Bita menarik kuat kerah bajunya. "Mulut lo bau sampah!"

Setelah mengatakan itu Bita lepaskan begitu saja, perbuatannya membuat siapa pun mematung.

"Kak, aku minta hapus artikel itu, ngga penting soalnya."

Sekala panik. Lalu, ia membekap mulut Bita dan menyeretnya ke lorong sepi yang gelap. Bita mengempas kasar telapak tangan Sekala, ia balas menatap Sekala dengan tajam.

"Kak, apa-apaan, sih?" tanya Bita.

"Ta, kamu yang apa-apaan!" Sekala meraih kedua bahu Bita dan mulai mengguncangnya. "Kamu masih suka sama saya, kan? Kamu—"

"Kak cukup, aku lagi males bahas soal itu."

"Ta, bilang iya, baru saya diam."

"Tidak." Bita menjawab dengan lantang. "Aku ngga suka lagi sama Kakak, aku udah bilang kalo aku cuma kagum sama Kakak aja, selebihnya ngga ada."

'Ta, kamu bicara jujur, dong!"

"KAK SEKALA CUKUP, YA!" teriak Bita gemetar, matanya sudah berkaca-kaca, dia kalau marah memang suka disertai menangis juga.  "Jangan sampai keluar kata aku menyesal karena pernah kenal sama Kakak!"

"Ta, saya masih sayang sama kamu!"

"Urusi sahabat Kakak itu. Ralat, maksudku ... tunangan Kakak."

— PERAHU KERTAS —

Perahu KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang