— PERAHU KERTAS —
"Kamu suka?"
"Ngga."
"Saya yang memposting artikelnya."
Bita menelan salivanya dengan susah payah, ia menatap Sekala yang barusan mengungkap bahwa dialah yang telah mempublikasikan artikel berisi hubungan tak terduga di antara keduanya. Bita langsung minta bertemu, Bita langsung mengirim pesan kepada Sekala berharap bisa membantu untuk menghapus postingan tersebut. Bita terusik, tak suka menjadi pusat perhatian.
"Kamu suka, kan?" tanya Sekala sekali lagi. "Bilang sama saya kalau sebenarnya kamu masih cinta dan masih sayang sama saya, Bita!"
"Ngga." Bita berucap tanpa berpikir apapun. "Siapa bilang? Aku ngga suka sama Kakak, aku cuma kagum sama Kakak, jadi Kakak berhenti usik kehidupan aku, tolong hapus artikel tidak berfaedah itu!"
Sekala tersenyum picik. "Ta, Arin ngga kayak kamu, saya lebih nyaman sama kamu."
"Dia tunangan Kakak," ucap Bita.
"Terus?"
"Setiap hari juga Kakak lebih mengutamakan Kak Arin dibanding aku," beber Bita. "Jadi, di mana letak cinta dan sayang itu? Kakak cintanya sama Kak Arin, Kakak sayangnya sama Kak Arin, bukan aku."
"Beda, Ta." Sekala bersikeras. "Saya ke Arin itu cuma sahabatan, saya—"
"Kalian sudah tunangan!" potong Bita telak. "Aku udah ngga ada perasaan apa-apa sama Kakak, aku udah punya dunia sendiri, dan aku ... ngga mau kita balikan lagi."
Sekala beranjak dari bangku kayu tua itu, dia mendengkus kesal sembari mengusap wajahnya sendiri. Bita pun beranjak berdiri, dia sudah siap untuk pergi karena muak dengan kata-kata tak bermanfaat dari Sekala.
"Lupain aku, Kakak juga ngga benar-benar cinta dan sayang sama aku, aku yakin itu," katanya.
"Bita, tunggu!"
"Apalagi, Kak? Kita ini terlalu jauh untuk bersama, ibaratnya Kakak langit dan aku cuma tanah, beda jauh!" pekik Bita makin kesal. "Biarin aku bahagia dengan pilihan aku, bersama Kakak itu ternyata menyakitkan, dan aku ... ngga mau terus sakit."
"Maaf, Ta."
"Aku juga minta maaf, dan aku mohon jangan ganggu aku lagi, kita temenan kayak biasa aja."
Bita tidak sedikit pun merasa sedih atau pedih. Semua perkataan yang keluar dari mulutnya murni atas keinginan hatinya. Kebetulan bibir dan pikirannya sedang sejalan, jadi terdengar lancar tanpa gugup.
Tanpa menunggu waktu lama lagi Bita melangkah pergi, dia meninggalkan Sekala yang masih tidak habis pikir tentang perlawanan ini. Dia kembali duduk di bangku kayu tua yang letaknya di halaman belakang sekolah itu, ia rebahkan tubuhnya di sana.
"Nathan!"
Meskipun cowok itu tidak menghadap ke arahnya, tapi Bita mengenal betul perawakannya. Cowok itu memang Nathan, entah habis dari mana dia, sampai-sampai bertemu dengan Bita yang habis bertemu Sekala.
"Habis dari mana lo?" tanya Bita. Dia tak sungkan untuk merangkul bahu Nathan. "Kebetulan banget lo ada di sini. Nanti kita ke rumah Abian bareng-bareng, gue sama Jihan dan Jiah pake taksi aja."
"Abian udah pulang?" tanya Nathan.
"Yeu, makanya baca grup!" seru Bita sambil mencolek gemas rambut Nathan. "Abian bilang pulang siang ini, dia pasti punya feeling bakalan dijenguk sama kita."
Nathan tertawa kecil. "Iya, kali."
"Eh, menurut lo gue bawa apa?" tanya Bita. "Abian ngga suka buah-buahan, tapi dia sukanya sayuran, kan, ya? Apa gue beli sayur kol lima kilo buat stok dia nyemil?"
"Ta, ngga gitu konsepnya," kata Nathan. "Buah aja, biar enak di lidahnya, diakan baru dari klinik."
"Tapi dia lebih doyan sayuran, Nat!" Bita bersikeras.
"Ya sudah, iya nanti beli sayuran saja."
"Tapi apa pantas, ya?" tanya Bita. "Eh, mending buah aja, ya? Soalnya dia juga baru sembuh gitu, buah itukan nutrisinya banyak."
Nathan sih hanya mengangguk. Kandungan yang terdapat dalam sayur dan buah itu sama besarnya, tapi Bita yang super riweuh benar-benar membuat Nathan pusing mendengarnya.
"Eh!"
Tiba-tiba saja Bita tertarik pada sepasang insan di depan sana, ia membekap mulut Nathan dan menyeret cowok itu menepi ke salah satu tembok untuk bersembunyi. Bita memicingkan matanya penuh selidik, beda lagi dengan Nathan yang begitu diam saat Bita masih membekap mulutnya.
"Ssstt, Nat jangan berisik, dengar?"
Nathan balas mengangguk saat Bita menatapnya sambil bertanya. Padahal dia yang berisik, tapi entah kenapa malah Nathan yang diperingati.
"Serius? Ngga ngerepotin, emang?"
"Ngga. Saya malah senang, bisa antar kamu. Setelah dari rumah teman kamu, kita langsung nonton, gimana?"
"Eum, boleh, sih. Cuma ... aku harus izin ke Mami sama Papi dulu."
"Gampang, nanti kita ke rumah kamu dulu."
"Mereka ngga di rumah, Kak. Mereka lagi kerja, palingan nanti ditelepon."
"Ada video call, kan? Pakai itu, supaya saya tahu orang tua kamu, dan kalau kebetulan ketemu bisa nyapa."
"Eh?"
Wajah Bita sudah memerah, dia mati-matian menahan salah tingkah mendengar sekaligus melihat adegan manis di antara Jihan dan Yuda. Lain lagi dengan Nathan, dia masih tetap bertahan dengan posisi hampir bertekuk lutut karena Bita masih membekap mulutnya.
"Ih, gemes banget, si~"
"Nat? Bica—Astagfirullah!"
Bita sadar. Ia lepaskan Nathan yang kini bisa bernapas lebih lega pasca ditahan cukup lama oleh telapak tangan Bita. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal merasa malu, padahal Bita yang lebih malu karena sudah membekap mulutnya begitu saja.
"M-maaf, Nat," sesal Bita.
Nathan menggeleng cepat. "Eh, ngga, santai aja, ngga apa, kok."
— PERAHU KERTAS —
"Tante!!!"
"Bitaaa!"
Bertemu dengan Bunda Nuri itu seperti bertemu dengan teman lama saja. Begitu datang Bita langsung berseru sambil merentangkan kedua tangannya, tentu saja Bunda Nuri dengan baik balas merentangkan tangan untuk sebuah pelukan. Sedekat itu Bita dengan keluarga Abian.
"Gimana, Tan?" tanya Bita. "Abian masih tidur, kah? Atau dia udah kelayapan ke dapur sambil nyemil wortel mentah?"
Bunda Nuri terkekeh gemas. "Masuk saja ke kamar, dia sedang main hape. Kamu datang sendirian?"
"Assalamualaikum~"
Salam serentak itu membuat suasana di rumah makin sejuk, kedatangan teman-teman terdekat Abian lainnya membuat rumah jadi lebih ramai.
"Waalaikumsalam," balas Bunda Nuri. "Ayo masuk, Abian ada di kamarnya, kalian masuk saja."
"Bun, mau ke mana?" tanya Bita.
"Bikin minum, kayaknya kalian udah capek."
"Bita bantuin, boleh?"
Bita pergi bersama Bunda Nuri, menyisakan teman-teman yang berhambur ke dalam kamar Abian untuk memeriksa. Yuda juga datang, dia membonceng Jihan karena kebetulan Sandi bersama Jiah, sedang Nathan bersama Bita. Tak jadi naik taksinya, kebaikan Yuda membuat mereka dapat tumpangan gratis.
Sandi mengomel. Dia membuat pendengaran Abian hampir pecah karena terus dihujami komentar pedas sebagai bentuk rasa cemasnya. Sandi ini memang bawel, mengalahkan tiga teman perempuannya yang super pendiam. Apalagi Bita.
Benar?
— PERAHU KERTAS —
KAMU SEDANG MEMBACA
Perahu Kertas
Fanfiction[COMPLETED] "Perahu kertasnya tenggelam satu." [07-05-23] #1 sua [12-05-23] #1 moonbin