Tidak Tertahan

142 25 9
                                    

— PERAHU KERTAS —

"Kenapa minta dijemput?"

"Lupa kalo ada pr yang bakalan dikumpulin besok."

Arjuna membuka kunci pintu rumah, dia masuk lebih awal dan disusul oleh Bita yang kebagian mengunci pintu. Setelah pintu benar-benar sudah terkunci, Bita melangkah lebih cepat agar Abangnya tidak keburu ke kamar. Ada yang mau dia pertanyakan.

"Bang, lo bener-bener sibuk di kampus tadi, ya?" tanya Bita.

"Ngga. Seharian ini gue habis kencan sama Sona."

"Lo bilang—"

"Males gue ke nikahan Papa, kecewa," potong Arjuna cepat. "Kalo udah begini, ketahuan siapa yang selingkuh, kan?"

Bita mengangguk setuju. Dari jauh-jauh hari juga Abangnya pernah bilang, kalau Papa Pram menjadi penyebab utama mengapa perpisahan itu terjadi. Keluarga sedang hangat-hangat, kok. Tiba-tiba dipanggil ke pengadilan agama, lalu berakhir dengan perceraian di antara Siska dan Pram.

"Dari dulu Abang udah curiga sama Papa, dia punya wanita lain dan main di belakang Mama," beber Arjuna kesal.

"Tadi Mama nelpon Bita," ucap Bita. "Terus sempat ngobrol juga sama Mama, Mama curhat sama Bita kalo dia di sana punya banyak teman. Jadi ... ngga sedih bangetlah pas tahu Mama punya banyak teman di sana."

Arjuna berbalik. Dia menatap Bita dari atas sampai ke bawah, lalu meraih pucuk kepala adiknya dan mengusapnya dengan penuh kasih sayang. Bita meraih lengan Arjuna, menahan usapan berikutnya.

"Jangan nikah buru-buru, ya, Bang?" ucap Bita sambil terkekeh. "Bita ngga punya siapa-siapa lagi kalau Abang nikah, minimal Bita udah lulus SMA, deh!"

"Ikut sama Abang aja, Ta," saran Arjuna. "Toh, biaya kamu juga bakalan ditanggung sama Abang, doain aja semoga Abang punya rezeki biar kamu sejahtera."

Bita mengempas lengan Arjuna sambil tertawa geli, hal itu jelas membuat Arjuna ikut merasa geli karena sudah berbicara serius. Jarang bagi mereka bicara serius begini, biasanya kalau bertemu pasti debat, saling menjatuhkan satu sama lain dengan kekurangan yang dimiliki.

"Dah, sana bobo!" suruh Arjuna. "Ada pr atau di sana ngebuat lo ngga nyaman, hah?"

Bita menyengir. "Dih, ngga usah sok tahu lo, ya!"

"Abang lo ini punya indra keenam, jadi lo jangan macam-macam, gue tahu banyak rahasia lo," celoteh Arjuna. "Siapa gebetan baru lo, bagaimana masa depan lo, bagaimana perasaan lo sekarang, bagai—"

Belum selesai dengan kalimatnya, Bita sudah lebih awal menyumpal mulut Arjuna dengan buntalan kaus kakinya. Arjuna kontan membuangnya, dia menyumpahi Bita yang kini berlari kabur menghindari amukannya. Nah, kurang lebih seperti itulah kebiasaan Bita dan Arjuna kalau berdua. Sama-sama jahil, jadi harus punya batas kesabaran saja.

Bita berhasil menghindari kemarahan Arjuna, dia dapat mendengar sumpah serapah Bang Juna dari balik pintu kamar yang telah ia kunci ini. Pada awalnya dia masih tersenyum, tetapi kemudian dia diingatkan dengan perdebatan yang terjadi di antara Papa Pram dan Tante Nindy.

"Boleh ngeluh sakit hati, ngga, sih?"

— PERAHU KERTAS —

Hari ini Bita bangun kesiangan. Demi apapun, Arjuna yang biasanya berisik tiba-tiba saja sudah hilang, di meja makan sudah ada sarapan beserta secarik kertas berisi tulisan untuk Bita sebagai pesan. Agaknya cowok itu ada kelas pagi dan ikut kesiangan, makanya tidak sempat membangunkan Bita yang lebih kebo darinya.

"Bin!!!"

"Bin, astagfirullah, Bin!"

"Bin, ini gue masih di rumah, lho!"

"Gue masih makan ini, ini juga makannya ngga tenang karena tahu bakalan terlambat!"

Sambil mengunyah sarapannya, Bita mengomel pada Abian yang meneleponnya. Alih-alih panik atau segera memberi bantuan, Abian justru malah terbahak di seberang sana. Lucu baginya menertawakan Bita yang panik sekarang.

"JANGAN KETAWA LO, YA!"

"Sabtu ini, woi! Sabtu ini, kita sekolah cuma sampe jum'at!"

Bita menelan sisa makanan di mulutnya, ia menatap lurus ke depan dan spontan saja ponsel itu ia jauhkan dari telinganya. Dia mendengkus kasar, mengabaikan Abian yang terus mengejeknya di sana.

Bita kesal. Dia marah. Padahal dia sudah rela mandi buru-buru karena takut sampai di sekolah berakhir dengan hukuman. Tapi setelah mengetahui hari ini sabtu, seluruh semangat Bita runtuh.

"Dahlah, gue mau gantung diri!" kesalnya.

"TA, ASTAGFIRULLAH! TUNGGU BENTAR, GUE MAU KE SANA SEKARANG, NANTI TUNGGUIN GUE DULU!"

Panggilan berakhir, tampaknya Abian menganggap serius kekesalan Bita yang menyangkut dengan nyawa itu. Bercanda itu boleh, tapi jangan berlebihan juga.

"Argh! Nyesel gue mandi pagi-pagi, hari sabtu sama minggu itu jadwal gue rebahan seharian, argh!" serunya sambil mengusutkan rambut frustrasi.

Notifikasi pesan masuk mengalihkan atensi Bita, dengan malas ia memeriksanya.

Pesan dari Mama:
'Penulis Bita Nol Tiga yang bakalan nerbitin bukunya itu bukan kamu, kan? Mama lihat di website salah satu penerbit, novel Perahu Kertas karya Bita Nol Tiga itu bakalan terbit bulan depan.'

Mata Bita membola. Dia panik, dia tidak tahu harus membalas dengan bagaimana. Tentu saja dia bingung, sebab selama ini dia hanya terbuka soal kepenulisan pada orang-orang tertentu saja. Mama Siska sangat tidak suka jika Bita membuat hal-hal seperti itu, hanya buang-buang waktu saja katanya.

Pesan dari Mama:
'Hari ini sabtu. Kamu ngga lagi kelayapan, kan? Kamu baca pesan Mama yang ini, kan?'

Bita menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dia sedikit menahan jeritannya karena Mama Siska benar-benar mengacaukan suasana hatinya. Dia sudah kacau, lalu Mama Siska menambah kacau keadaan.

Pesan dari Mama:
'Mama lagi meeting, makanya cuma bisa kirim pesan. Itu kamu atau bukan? Jawab jujur apa susahnya, sih?'

Bita makin gelisah.

Pesan dari Mama:
'Jika itu kamu, Mama harap nilai kamu tidak menurun hanya karena hal-hal tidak penting begitu. Mama sudah bilang dari dulu, kan? Jangan ikut-ikutan membuat hal yang tidak ada manfaatnya sama sekali.'

Pesan dari Mama:
'Ta, Mama tidak suka jika kamu menjadi penulis.'

AAARRGGHHHH!

BRAKH!

PRANK!

Bita tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dia menjerit histeris sembari mendorong beberapa hidangan yang tersedia di atas meja makan. Ia meremas kedua telinganya dan sesekali memukul kepalanya agar berhenti mendengar suara yang membuatnya makin marah.

Bita meledak sekarang. Tangisnya pecah juga, dia tidak mampu menahan rasa sakit saat tahu papanya menikah lagi, lalu Sang mama menambah bebannya dengan mengirimkan pesan penuh penekanan.

Kedua tangannya melipat di atas meja makan, lalu Bita menenggelamkan wajahnya di sana guna menutupi tangisnya. Suasana ruang makan saat ini menjadi pilu, seluruh benda di ruang makan menjadi saksi betapa memilukanya kondisi Bita saat ini. Menyaksikan seorang Bita yang teramat ceria menangis tersedu-sedu.

Iya. Bita mengakui jika dia lemah dan cengeng. Dia tahu di luar sana banyak yang lebih menderita daripada dirinya. Tapi, dia juga berhak untuk marah dan menangis, bukan?

— PERAHU KERTAS —

Perahu KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang