Bukan Kali Pertama

133 26 12
                                    

— PERAHU KERTAS —

Ini bukan yang pertama kali.

Sebenarnya, Bita memiliki banyak waktu yang sempit. Dalam situasi kesepian, selalu ada dorongan mengakhiri hidupnya. Arjuna tidak ada di rumah, dia pergi entah ke mana sehingga kini Bita terduduk meringkuk seorang diri di bangku meja makan. Kekacauan di ruang makan terlihat sangat jelas, pecahan di lantai berserakan, pun dengan beberapa bercak darah.

Sebelumnya hal ini sempat terjadi, yaitu satu pekan setelah perpisahan kedua orang tuanya. Amarahnya tidak tertahan, dorongan untuk mengakhiri hidup pun timbul. Namun, hal itu digagalkan oleh Arjuna yang menemukannya lalu membawanya ke rumah sakit.

"Ta."

"Bita."

"Ta, kamu di mana, sih?"

"Ta, jangan bikin saya takut."

"Ta, astagfirullah!"

Nathan yang datang kali ini. Dia dibuat terkejut dengan kekacauan di ruang makan ini. Sungguh, Bita bukan orang seperti ini, Bita itu perempuan ceria yang selalu punya banyak cara untuk terlihat baik-baik saja.

"Ta?"

"Bita?"

"Bita, kamu dengar saya?"

Nathan mengangkat kepala Bita untuk memastikan, dilihatnya wajah Bita yang pucat pasi serta dipenuhi keringat. Nathan celingukan, dan ia baru menyadari kalau darah yang menodai lantai itu berasal dari lengan Bita. Ia berlari mengambil saputangan di dekat kompor, ia ikat lengan Bita untuk memberhentikan pendarahan.

"Ta, saya mohon bertahan."

Bita sudah kehabisan tenaga, hingga saat Nathan mengangkatnya ke punggung ia hanya terdiam. Pandangan Bita benar-benar kosong, ia membiarkan seluruh beban tubuhnya kepada cowok ini.

Rupanya Nathan datang dengan taksi, ia meminta bantuan sopir untuk membukakan pintu agar lebih mudah. Ia duduk dengan tegap, membiarkan Bita menyandar di bahunya.

"Ta? Kamu pasti dengar saya, bicara sedikit saja, bisa? Supaya saya lega."

Bita seolah membisu. Hal yang tak pernah disangka-sangka adalah Nathan datang tepat waktu. Entah akan bagaimana nasib Bita apabila Nathan tidak datang ke rumah Bita, memaksa masuk ke dalam rumah seolah sudah punya firasat.

"Maaf saya lancang masuk ke rumah kamu, saya sudah mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban, saya sudah—"

Ucapan permintaan maaf Nathan harus terpotong ketika Bita tiba-tiba saja terisak. Nathan spontan terpaku membisu, hatinya teriris mendengar isak tangis Bita yang belum ia ketahui mengapa.

"Iya, menangis saja supaya lega. Sebentar lagi kita sampai di rumah sakit, lain kali jangan lukai diri kamu sendiri, ya?"

— PERAHU KERTAS —

Di mana Abian?

Hal itu menjadi pertanyaan pertama Bita setelah ia melewati masa-masa kehabisan tenaga. Kondisinya jadi lebih baik sekarang, seharian ini Bita terbaring dengan infusan yang membuatnya jadi lebih bertenaga. Syukurnya, luka di lengan tak begitu dalam, sehingga tak perlu melewati penjahitan.

Hanya ada Nathan seorang.

"Ta, kamu kenapa?"

"Kenapa lo bisa datang ke rumah gue?"

Nathan tertunduk. "Maaf saya sudah lancang, tapi kamu tidak menerima panggilan saya, kamu juga tidak membalas pesan saya, jadi saya datang."

Bita memijat pangkal hidungnya mereda pening. Jika saja Nathan tidak datang tepat waktu, Bita yakin dia tidak akan merasakan pening seperti sekarang ini. Walau tenaganya sudah kembali, tapi pusing di kepala jelas membuatnya ingin mengganti kepala saja.

"Gue boleh pinjam hape lo?"

"Oh? Sebentar."

Nathan bergerak cepat merogoh ponselnya, dengan tanpa ragu ia memberikan ponsel tersebut kepada Sang peminjam. Bita tersenyum sekilas, lalu mulai mengetik nomor yang ia hafal.

"Hallo?"

"Abang di mana? Bita di rumah sakit, ini nomornya Nathan. Bisa datang?"

Bita tidak mendapatkan jawaban, yang dia dengar hanyalah nada telepon diakhiri secara sepihak. Mungkin Arjuna langsung pergi menemuinya, semoga saja begitu.

"Apa ada keluhan?" tanya Nathan. "Saya bisa panggilkan Dokter jika kamu mau."

"Ngga perlu." Bita berucap seraya mengetik nomor lainnya. "Pinjam sebentar hapenya, ya?"

Nathan balas mengangguk. Dia pun hanya duduk di kursi samping ranjang Bita sambil memperhatikannya.

"Assalamualaikum, Ma. Bita mau bicara sama Mama."

"Waalaikumsalam. Tunggu dulu, jawab dulu pertanyaan Mama. Kamu bukan penulis Bita Nol Tiga yang akan menerbitkan buku Perahu Kertas, kan?"

Bita memejamkan matanya, ingin rasanya dia berteriak dan mengatakan apa yang saat ini terjadi padanya. Tapi, Mama Siska malah langsung menghujamnya dengan pertanyaan seperti itu.

"Mama tidak suka kalau kamu ikut-ikutan event tidak jelas begitu, nanti sekolah kamu terhambat, nilai kamu pasti turun."

Bita hanya bergeming.

"Katanya kamu mau sekolah ke luar negeri, kamu harus punya nilai-nilai yang bagus dari sekarang. Supaya nanti ngga ribet."

"Ma, sebenarnya—"

"Janji dulu sama Mama, kamu bukan penulis cerita Perahu Kertas, dan ... kamu akan berhenti menulis hal-hal tidak jelas itu."

Bita melirik Nathan yang kelihatan panik seolah ketahuan. Cowok itu sekarang sedang berlagak tak menatap Bita, padahal sedari tadi pandangannya terpaku pada sesosok Bita.

"Fokus sama pendidikan kamu, nanti kamu bakalan kuliah ke luar negeri, paham?"

Panggilan terputus. Mama Siska yang mematikan panggilan tersebut, membuat Bita diam seribu bahasa. Bahkan, Mama Siska tidak bertanya mengapa Bita menggunakan nomor ini untuk meneleponnya.

Harapan terakhir Bita itu Papa Pram. Dia mau bilang kalau dia sedang sakit, dia mau mencari perhatian yang mungkin saja dengan cara ini keluarganya bisa kembali.

Panggilan ditolak.

Bita mengembuskan napas panjang. Sadar bahwa Sang papa tidak akan sembarang menerima panggilan.

"Kalo lo mau pulang, pulang aja, Nat." Bita menyerahkan ponsel itu pada pemiliknya. "Abang Juna bentar lagi datang."

Nathan menerima ponselnya dengan pandangan yang masih tertuju pada Bita. Tiba-tiba saja Bita mengubah posisi jadi membelakangi Nathan, tiba-tiba saja Bita menarik selimut sehingga menutupi sebagian tubuhnya.

"Perut kamu bunyi, saya bawakan makan, ya?"

"Ngga perlu, gue ngantuk."

Bita tidak bohong dengan perkataannya, dengan perlahan ia memejamkan matanya agar tak kehilangan waktu bermimpi. Siapa tahu dia bermimpi keluarganya kembali berkumpul, dia tidak akan bangun lagi kalau begitu.

"Ta, sebenarnya saya—"

"Nat, tinggalin gue sendiri."

Nathan tidak punya keberanian untuk melawan, ia beranjak dari duduknya dan dengan terpaksa membuka korden pembatas bilik ruangan Bita dengan pasien lainnya. Dia meninggalkan ruangan umum tersebut, duduk di bangku depan ruangan untuk menunggu Arjuna. Akan dia beritahu di mana posisi Bita saat ini.

"Bang, sebelah sini!" seru Nathan begitu melihat Arjuna.

"Di mana adek gua?" tanya Arjuna panik. "Dia kenapa? Terus dia gimana sekarang?"

"Pertama, dia ngga apa-apa sekarang. Kedua, saya ngeliat dia udah kacau di ruang makan, piring banyak yang pecah, terus lengannya juga luka."

"Di mana dia sekarang?"

"Di dalam, di bilik ke dua sebelah kanan," tutur Nathan.

Arjuna mengangguk sembari menepuk bahu Nathan. "Thanks!"

— PERAHU KERTAS —

Perahu KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang