Jo Bukan Asep

326 119 138
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hai gue Jo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hai gue Jo. Sudah pasti itu nama panggilan karena nama lengkap gue itu Septian Raharjo. Kenapa nggak dipanggil pakai nama depan atau nama belakang saja? Bagi kamu nama Septian itu bukan masalah, kan?

Buat gue masalah banget. Dulu sewaktu masih SMP gue memang sempat dipanggil dengan nama depan gue. Eh, bukan berarti gue nggak sekolah TK dan SD, ya. FYI, gue juga pernah sekolah BIMBA A-I-U-E-O. Iya, gue telat bisa bicaranya, sampai umur 5 tahun bicara gue blepetan kayak bel sepeda yang soak baterainya. Buat orang tua gue, sih, itu nggak masalah. Mereka tetap sayang, kok, meski bicara gue nggak jelas. Tapi, jadi masalah untuk warung di sebelah rumah, juga bikin pusing tukang cilok yang suka lewat di depan rumah kalau gue lagi mainin keran air di garasi  karena kalau jajan, bicara gue nggak bisa mereka pahami.

"Ta li men, ang sa ri but!" Itu cara gue ngomong sebelum lulus BIMBA A-I-U-E-O.

"Apaan, Sep?" tanya tukang warung sambil meraih gulungan tali rapia."Kamu mau beli tali rapia? Buat apa? Kamu mau apa dengan tali ini? Jangan patah semangat, kamu masih muda. Suatu saat kamu pasti bisa jadi astronot. Kamu jangan mengakhiri hidup dulu, Sep! Nyebut, Sep!Nyebut!"

Idih, siapa juga yang mau suicide? Gue, kan, cuma mau beli permen. Tadi, gue ngomong gini. "Kak, beli permen yang rasa stroberi,  seribu!"

Tukang warung itu punya masalah apa, sih, sampai overthinking kayak gitu? Semenjak itu gue nggak suka permen stroberi dan apa pun yang berkaitan dengan stroberi. Gue benci banget dan terbawa sampai umur gue sekarang, jadi alergi. Terhadap tali rapia juga sama, gue jadi nggak bisa ngiket tali sepatu sampai kelas enam SD. Benci saja sama tali. Gue nggak mau nyeritain cara gue beli cilok. Kalian bayangkan saja sendiri. Yang perlu gue kasih tahu adalah, si tukang cilok ini selalu memanggil gue dengan, "Eh, Asep! Mau cilok nggak?"

Gue kecil yang lugu itu celingak-celinguk, si tukang cilok manggil siapa? Gue menunjuk dada gue sendiri, isyarat kepada tukang cilok yang artinya adalah, "Apakah anda memanggil saya?"

"Iya, kamu, Asep!"

Pret! Semenjak itu pula gue nggak mau dipanggil pakai nama depan, mereka suka asal memberi nama panggilan. Seenak udel bodongnya saja. Gue nggak mau menggunakan nama depan gue sebagai panggilan, nggak nama belakang juga, karena itu nama bapak gue. Nanti kalau teman-teman gue datang ke rumah, terus bertemu bapak gue, gimana?

"Raharjo ada, Om?"

Masa SD gue lebih memalukan. Gue nggak mau cerita, cukup gue sama teman-teman SD gue aja yang tahu. Sekarang gue udah SMA kelas XI. Rahasia aib masa kecil tetap terjaga rapi hingga saat ini, sebab nggak ada satu pun teman SD gue yang satu sekolah dengan gue.

Bukan berarti gue sekolah di luar kota atau di luar negeri. Ini masih satu kecamatan, nama kecamatannya Gangnam tetanggaan sama kecamatan Gangjuh. Ke arah utara berbatasan dengan kecamatan Gangpan kamu terusin aja sendiri kesananya pasti kecamatan Ganglan, Gangluh  ...dst. Paling akhir kecamatan Gangguan Galian Kabel, yang terakhir gue ngaco ngak usah di ambil hati. Yang gue tahu, sih, mereka kayaknya nggak kuat mental untuk sekolah di sini.

Begini, dulu nama sekolah ini adalah SMA Putra-Putri Bangsa Jaya. Nama sekolah yang bagus tapi lebih tenar dengan nama SMA PUPUT ANJAY, singkatan dari Putra-Putri Bangsa Jaya. Akhirnya pihak sekolah yang kebetulan mau membangun satu sekolah lagi mengubah nama sekolah itu menjadi SMA Anak Bangsa 1 dan Anak Bangsa 2. Pada perkembangannya panggilan nama sekolah itu adalah, SMA BANGSAT, Anak Bangsa Satu dan kembarannya terkenal sebagai BANGSAD, Anak Bangsa Dua.

Biasanya ada pertanyaan begini dari paman atau bibi gue kalau lagi kumpul keluarga,  "Sekolah di mana?"

"Di SMA BANGSAT," jawab gue sambil mengaduk teh manis.

Mereka melotot dan berteriak memangil bapak gue. "Raharjo! Anak kamu nggak di sekolahin, ya? Mulutnya kotor!"

Gue  ngeloyor masuk ke kamar membiarkan Raharjo, eh, bapak gue yang sibuk menenangkan paman dan bibi. Itulah sebabnya gue bilang kalau jadi anak SMA BANGSAT harus kuat mental.

Itu sebabnya gue lebih suka dipanggil Jo karena singkat, padat, dan nggak Asep juga.

Gue sekarang lagi berdiri di seberang sekolah. Bel masuk sudah berbunyi sejak dari 5 menit yang lalu. Gue masih menunggu teman gue yang biasa dipanggil Black. Ya, karena terlambat masuk terpaksa harus ambil cara lain supaya bisa masuk ke sekolah yang gerbangnya sudah ditutup. Kamu nggak usah merasa bersalah karena gue harus cerita-cerita siapa gue sampai akhirnya telat masuk. Tadi itu gue sengaja bercerita untuk mengisi waktu selama menunggu si Black. Kami bersahabat karib sejak kelas X. Gue tahu dia bakal telat masuk sekolah karena harus bantuin ibunya jualan nasi uduk. Sebagai sahabat, harus setia kala susah dan senang.

Akhirnya Black turun dari angkot dan langsung berlari ke arah gue. Wajahnya yang berkulit putih menjadi kemerahan.

"Sori, Bro. Tadi rame banget warungnya." Black pasang muka bersalah.

Gue pasang ancang-ancang untuk segera menyeberang dan berdua dengan Black menuju ke arah pohon angsana di samping sekolah. Kami mengendap-endap agar tidak ketahuan Pak Satpam yang biasa dipanggil,"Papah Satpam.

Nanti saja gue ceritain lagi semuanya. Kalian pasti bingung dengan Black yang ternyata berkulit putih dan Satpam yang jadi Papah. Gue mau memanjat pohon dulu bersama dengan Black. Dari pohon itu kami bisa merambat ke dinding samping yang terhalang kerimbunan tanaman pagar sekolah, lalu menyelinap hingga ke arah samping gedung. Seperti biasa kami akan menyelinap ke perpustakaan dulu. Beralasan mengambil buku paket untuk dibawa ke kelas. Setiap hari ada 40 buku paket yang harus diambil dari perpustakaan untuk dibagikan kepada para murid di kelas. Setiap kelas begitu.

Gue dan Black berhasil masuk ke selasar kelas, tapi naas. Belum sampai di depan perpustakaan kami dipergoki oleh Guru Matematika, Pak Harja. Orangnya serius, berkacamata. Jidatnya lebar dengan tubuh gemuk agak pendek dan agak tinggi. Kayak apa, ya? Kayak gitu, deh. Kami para murid punya panggilan khusus untuk beliau, Pak Bocil. Bukan karena dia bapak-bapak yang tingkahnya masih seperti bocah cilik. Bocil adalah singkatan untuk botak cilik, kepala beliau sedikit botak di tengah kepalanya.

"Terlambat masuk atau baru mau kabur dari kelas?" Selidik Pak Bocil sambil memegang tangan kami berdua.

Gue dan Black bingung mau jawab apa karena semua tuduhan itu benar, tapi nggak bisa gue benarkan juga, kan? Bisa-bisa kena hukum cium tangan ke setiap guru di setiap kelas.

"Mau kemana? Jawab!" bentak Pak Bocil.

Gue kaget, Black juga kaget dan spontan menjawab,

"Mau buang air kecil, Pak!"

"Ke Perpus, Pak!"

Gue dan Black menjawab secara bersamaan tapi jawabannya nggak seragam.

"Ikut saya!" Pak Bocil menggiring kami ke kantor guru BP.

Di depan Guru BP, Bapak Waluyo namanya, kami disidang. Gue dan Black berdiri di samping pintu masuk.

"Kenapa lagi dua anak ini, Pak?" tanya Pak Waluyo.

"Ini, Pak! Mereka mau kencing di perpus!" Pak Bocil menjawab dengan sewot.

bersambung...

Vote and comment kalau mau lanjut

Jo dan Mita (Buaya Vs Macan PMS)- Na Jaemin|| Sudah Terbit Novel Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang