10.

692 66 4
                                    

Maaf ya lamaaa.

Khaotung keluar dari pintu rumahnya dengan pakaian berganti dari seragam sekolah ke kaos putih dipadu dengan celana jeans dibawah lutut.
Kakinya bahkan menggunakan sandal dan tidak mau repot membawa tas pinggangnya yang biasa ia bawa untuk pergi main.

"Kita pergi ke caffe depan, kan?"

Marc menganggukkan kepalanya sembari turun dari motor. Khaotung ingin memastikan kemana mereka akan pergi karena Marc berdandan seolah ia akan pergi ke suatu tempat yang lebih jauh dan lebih mahal.
Kaos putih dilengkapi kemeja hitam tanpa dikancingkan, celana jeans panjang dengan tas pinggang di dada.
Lihat itu, sepatu terbaru dari Nike.
Khaotung bahkan bisa mencium aroma parfumnya dari kejauhan.

"Kalau begitu ayo." Walau bingung Khaotung memutuskan untuk tidak perduli.

"Ibumu ada?"

Khaotung menganggukkan kepalanya, tentu saja ada.

"Aku akan pergi meminta izin pada ibumu lebih dulu."

Khaotung ingin menghentikannya, tapi Marc lebih dulu berteriak memanggil ibunya didepan pintu rumah.
Nyonya Thana pun keluar untuk mendengarkan Marc yang meminta izin membawa Khaotung pergi jalan-jalan.
Memang ibu-ibu itu suka anak yang sopan, dia puji Marc lebih dulu lalu memintanya untuk pulang sebelum jam 10 malam.

"Kita tidak akan pergi selama itu!" Khaotung menggubris obrolan Marc dan ibunya.
.
.
.
.
"Bagaimana sekolah menurutmu?"

Marc dan Khaotung sudah sampai di salah satu tempat ngopi yang memang biasa didatangi anak-anak, tapi kini terasa asing karena Khaotung hanya bersama Marc.
Sembari mengaduk-aduk coklat panasnya Khaotung mengangkat bahunya sekali. Katanya sih, sekolah kembali terasa menyenangkan setelah saling memaafkan kemarin.

"Jadi kau benar-benar sudah memaafkan Pawin?"

"Gila kau ya? Ya tidaklah. Maksudku, aku hanya sedikit memberinya maaf. Aku masih heran kenapa buku matematika bisa ada padanya."

Marc tertawa kecil, ia juga berpikir bahwa Khaotung belum memaafkan Pawin sepenuhnya. Seseorang seperti Khaotung yang ia ketahui tak akan mudah memaafkan orang lain dengan cepat, jadi Marc tidak terkejut dengan jawaban Khaotung saat ini.

"Jadi kau akan kembali mencari tahu soal buku tugasmu itu?" Tanya Marc sekali lagi dan Khaotung menganggukkan kepalanya, ia harus menemukan titik terang agar ia bisa bersikap sesuai bagaimana Pawin bersikap.

"Aku akan membantumu," sambung Marc.

"Bagaimana caranya?"

"Apapun itu, aku akan membantumu dan terus berada disampingmu apapun yang terjadi."

Khaotung mengerjapkan matanya lalu tersenyum kecil. "Itu menggelikan tapi senang mendengarnya, terimakasih."

"Aku minta maaf untuk hari itu, saat kau menangkap basah Pawin yang menyimpan buku matematikamu di tasnya. Aku tidak tahu siapa yang salah dan siapa yang benar, aku juga merasa bersalah karena akulah yang membuatmu memiliki keberanian memeriksa tas Pawin."

Khaotung masih mempertahankan senyumnya, benar-benar menyenangkan mendengar seseorang meminta maaf dengan tulus seperti Yang dilakukan Marc saat ini.
Sedang asyik-asyiknya saling menggoda karena ini adalah kesekian kalinya Marx meminta maaf ponsel Khaotung lalu berdering.
Itu panggilan telepon dari First yang sedang menikmati liburannya di rumah saudara.

'Kau tak membalas pesanku.'

First langsung merengek setelah Khaotung mengangkat teleponnya. Khaotung pun kembali mejauhkan ponselnya untuk melihat pesan yang dikirimkan oleh First, hanya pertanyaan basa-basi ternyata.

Badfriend [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang