N.E~009

30 6 0
                                    

Suasana sore yang sejuk membuat pikiran Lana menjadi tenang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suasana sore yang sejuk membuat pikiran Lana menjadi tenang. Ia menyumpalkan sepasang aerphone di kedua telinganya sambil menyetel musik dari beberapa grup K-Pop favoritnya. Namun, tak berapa lama ketenangan itu bertahan digantikan dengan suara dering telepon yang nyaring di kedua telinganya. Ia segera mengangkat panggilan yang bertulis 'Pipin' itu.

Saat panggilan tersambung, Lana langsung melepas earphone dari telinganya karena teriakan Renanda yang tiba-tiba. "LANA!!! TOLONGIN GUE! DI RUMAH GUE ADA PENJAHAT! CEPET DA—"

Tut...

Panggilan langsung terputus dan membuat Lana panik bukan kepalang. Lana yang kahawatir langsung berlari menuju garasi di rumahnya dan mengambil konci motor sport putih miliknya. Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas yang membelit pundak hingga dadanya lalu mengenakan jaket biru dan helm.

Lana menyalakan motornya dan langsung memasukkan gigi motor dan tanpa ba-bi-bu ia meng—gas pol motornya itu. Ia melesat dengan cepat bak kilat di jalanan kota hingga melebihi batas kecepatan rata-rata. Ia menyalip pengendara lain dengan lihai sembari meliuk-liukkan motornya dijalankan yang tak bisa di katakan sepi itu.

10 menit kemudian, Lana sampai di sebuah rumah yang bisa dikatakan lumayan besar dengan cat berwarna kream. Lana lalu berlari dan membuka pintu dengan kakinya.

Sepi.

Satu kata yang mendeskripsikan keadaan rumah itu saat Lana datang. Itu wajar, karena Renanda hanya tinggal bersama seorang ART yang dulu mengasuhnya. Sedangkan orangtuanya sudah berpisah dan memiliki kehidupan masing-masing dengan melupakannya.

Dengan cepat, Lana berlari menuju lantai atas di mana kamar Renanda berada. Sesampainya di sana, ia melihat pintu terbuka dengan Renanda yang meringkuk di pojok kasur.

Lana bergegas masuk sang memeluk tubuh Renanda yang terdiam. Ia menepuk-nepuk pipi Renanda dan sang empu langsung membuka matanya lalu memeluk perutnya sembari mendusel-duselkan kepalanya. Tak ada yang aneh dari semua ini kecuali keadaan kamar yang berantakan.

"Mana?" Tanya Lana to the poin.

"Apanya?" Tanya Renanda yang membuat Lana menghela nafas.

"Penjahat."

"Tadi gue nemu Baygon. Terus gue semprotin, deh. Nah, sekarang udah mati." Ucap Renanda dengan polos.

"Baygon? Emang penjahat bisa mati pake Baygon? Mayatnya mana?" Tanya Lana heran.

"Tuh, mayatnya." Ucap Renanda menunjuk ke pojok kamar sebelah pintu.

Dan...

Ternya hanya ada mayat cicak di sana. Itu membuat Lana membulatkan matanya.

"Re-nan-da Pi-na-ma! Lo bo-ho-ngin gu-e?" Tekan Lana pada setiap kata-katanya sembari menyorot tajam Renanda yang menyengir dengan watadosnya.

'Firasat gue nggak enak. Keknya bakal ngamuk 'nih bocah. Huh... Siapkan jurus langkah 100 juta ribu!!!!' batinnya sembari bersiap.

"PIPINNNNN!!!!!" Teriak Lana nyaring karena Renanda mendorongnya dan mengambil jurus langkah 100 juta ribu.

Adegan kejar-kejaran pun terjadi di antara kedua anak manusia itu. Lana yang merelakan energinya, juga dengan Renanda yang merelakan rumahnya berantakan.

|★★★★★

"Hah... Gila! Baru pertama gue ngeliat Lo lari-lari tanpa ada kata 'mager' keluar dari mulut Lo." Ucap Renanda dengan nafas terengah-engah.

Mereka berdua—Renanda dan Lana tengah duduk di sofa ruang tamu dengan nafas terengah-engah setelah berlari-lari saling mengejar hingga membuat rumah Renanda berantakan bak kapal pecah.

"Bisa-bisanya gue temenan sama Lo yang gila. Mau heran tapi dah jadi kenyataan." Ucap Lana dengan mata terpejam menormalkan nafasnya.

"Hehe... Gue juga heran bisa deketin cewek mageran kek Lo!" Ucap Renanda di sertai cengiran khasnya.

Tak betapa lama, mereka beranjak dan membersihkan rumah Renanda yang berantakan dibantu ART Renanda—Bi Lia yang ternyata baru pulang dari supermarket membeli bahan makanan.

★★★★★|

"Lana pulang!" Ucap Lana saat memasuki rumahnya sembari menyugar rambutnya ke belakang.

"KAK LANAAAA!!!" Teriak sosok gumpalan daging yang tingginya sepanggul Lana berlari memeluk kaki Lana.

"Ngapain?" Tanya Lana mengelus rambut hitam Aruna.

"Itu, sama Abang ganteng. Soalnya tadi di jemput!" Ucap Aruna di sertai cengiran menunjuk Nio yang duduk di sofa menatap mereka dengan dagunya.

"Oh. Ya udah." Ucap Lana melepaskan pelukan Aruna lalu menggandeng tangan mungielnya.

"Jagain, anak orang." Ucap Lana setelah menyerahkan Aruna ke Nio lalu melenggang menuju kamarnya.

"Bang Kasil mana, ya? Kok, belum dateng?" Aruna bermonolog.

"Dijalan mungkin." Ucap Nio singkat.

"Oooo..." Mulut Aruna membulat sempurna.

Nio mendekati Aruna yang duduk di sofa singgel lalu menggendongnya dan merebahkan diri di sofa yang lebih panjang dengan Aruna di atas perutnya.

"Bang?" Panggil Aruna yang tak di jawab oleh Nio.

"Bangg!!" Panggil Aruna sembari mengguncangkan tubuh Nio.

"Bukan bang, tapi Nio. Pangil aku Nio." Ucap Nio yang mengundang tatapan bingung dari Aruna.

"Nio?" Aruna membeo.

"Apa, Runa sayang?" Sontak saja ucapan Nio membuat wajah Aruna memerah dan langsung menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Nio.

Nio terkekeh geli. Ia lalu mengusap surai hingga ke punggung Aruna dengan lembut dan bertanya, "Kalo udah gede mau nggak nikah sama Nio?".

Aruna mengangkat wajahnya. "Mau, dong!" Jawab Aruna dengan wajah berbinar.

"Jangan bohong!" Ucap Nio lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Aruna dan mencium bibir Aruna sekilas.

Wajah Aruna semakin memerah lalu kembali memeluk leher Nio dan menyembunyikan wajahnya di ceruk Nio yang membuat Nio terkekeh geli melihat itu.

Bocil salting, ceritanya.

'Gila! Kakak ipar gue bocil!!!' batin Lana berteriak.

'Gila! Kakak ipar gue bocil!!!' batin Lana berteriak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
• 𝐍𝐞𝐞𝐝 𝐞𝐧𝐞𝐫𝐠𝐢 • (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang