Jalanan Malam Itu

10 4 0
                                    

Yang ke tiga belas
Jalanan Malam Itu

Maret, 2023.

  Kita kembali ke Maret karna ada satu kejadian yang belum aku ceritakan, masih tentang aga. Kau nggak lupa aga, kan? Pria tokoh utama dalam cerita ini.
Aku ingat itu malam minggu, sehari sebelumnya aku berencana melihat perkemahan di salah satu MTS yang nggak begitu jauh dari rumahku.
Aga memposting  jadwal perkemahan baru dan memberitahu kalau kemahnya diadakan pada hari sabtu dan minggu. Aku mengajak salah satu rekan kerjaku tapi ia harus pergi ke tempat lain, lalu menemukan kalau anak dari salah satu guru di sekolah ku bersekolah di sana dan beliau akan pergi melihat perkemahan malam minggu itu.
Aku bilang akan ikut dan ya, kami pergi malam itu.

"Aku kesana, ga papa kan?"
Aku mengirim pesan pada aga sebelum pergi ke sana.

Kau juga pernah merasakannya? Tiba-tiba kau bingung harus memakai baju dan harus berpenampilan seperti apa sampai kau lupa seperti apa dirimu yang biasanya.
Aku sampai berkirim pesan pada temanku untuk sekedar berkata

"Aku cuma perlu jadi diriku yang biasanya, kan?"
Dan ia membalas
"Iya, apa adanya kau aja"

Dan aku mulai ingat, lalu duduk untuk menghentikan detak jantungku yang terasa amat cepat.

"Hanya jadi diriku sendiri" Aku mengulang kata-kata itu cukup lama.
Memilih baju seperti biasa, dan menyemprotkan parfum lebih banyak dari hari biasa.
Aku nggak terlalu berharap akan menemui aga mala itu, aku hanya ingin melihat api unggun serta perkemahan di sana. Tapi, aku memang nggak bisa berbohong ingin melihat aga walau dengan jarak yang jauh.

Drama baju dan segala macamnya selesai lalu kami berangkat setelah berpamitan dengan ayahku, di sela pikiran ku yang banyak sekali itu, aku memikirkannya:

"Apa aku harus membawa sesuatu untuk aga?"
"Apa nggak papa?"
Karna otakku mulai buntu aku bertanya pada temanku dan rekan kerjaku
Lalu memutuskan untuk nggak membawa apapun, selain satu botol minuman, itupun karna kami berhenti untuk mengisi bensin dan aku melihat kulkas lalu dengan cepat menyimpulkan untuk membawa satu pada aga.

Perjalanan ke perkemahan terasa lama, membuatku jantungku makin nggak karuan. Adik laki-laki terlihat lebih semangat daripada aku, ia berkali-kali bilang ingin melihat aga
"Kak, nanti kasih mas aga yang mana ya"
Dia amat cerewet padahal laki-laki.

Kami sampai saat gladi api unggun, ada wali murid lain di sana, lumayan banyak dan itu membuatku agak takut. Jadi, aku bertahan di sebelah motorku lama nggak melangkah lebih dekat ke acara. Kaki ku bergetar dan aku hanya berdiri diam sambil menyapa singkat orang-orang yang lewat di dekatku.

Sampai adikku juga menyuruhku untuk lebih dekat agar bisa melihat aga yang berada di depan tumpukan kayu api unggun itu. Aku akhirnya duduk lebih dekat dan mulai mencari aga di ujung sana. Itu jauh dan mataku nggak kelihatan.
Aku hanya hafal postur tubuhnya dan topi loreng yang ia pakai itu memudahkanku untuk mengenalinya. Ia berdiri di sama tengah menyiapkan acara dan terlihat sibuk.
Aku memotret nya tepat setelah api unggun menyala, di sana, aga serta beberapa orang temannya terlihat dari kamera ku.

Jam menunjukkan malam yang menuntut ku untuk pulang, aku belum berhadapan dengan aga dan jam sudah menyuruhku untuk pulang. Aku berkata pada diri sendiri.

"Kau bilang nggak ketemu aga nggak apa-apa, kan?"
"Jadi, ayo pulang"
Nggak bisa, hatiku berat untuk pulang dan otakku menjerit untuk sadar sekarang juga lalu kembali ke motorku.
Tapi kakiku seperti bertaman dengan hatiku, mereka sama-sama sulit untuk beranjak pulang.
Lalu kata rekan satu sekolah ku berkata
"Panggil aga dari murid di sana aja"
"Ketemu bentar, udah sampai sini kok, ketemu bentar sama aga"

Secercah harap muncul, aku melesat cepat menuju sedikit kerumunan anak-anak di sana dan rekan kerjaku menyuruh salah satu dari mereka untuk memanggil aga.
"Aku beneran ketemu aga?"
Bisakah otakku berhenti berpikir sekarang? Dan ayolah jantung! Bisa tidak kau lebih tenang???. Aku sampai takut aga mendengar detak jantungku.
Benar-benar berisik sekali.

Dan, tak lama.
Aga terlihat mendekat sedangkan aku pura-pura nggak melihat ia yang semakin menyempitkan jarak kami, padahal ekor mataku sibuk mencari sosok yang ia incar beberapa menit yang lalu lewat kamera ponselku. Dan di sini ia, sepatu hitam dan sandal kodok biru tuaku tepat berhadapan, cukup dekat, bukan, itu dekat.
Aga mengulurkan tangannya ke arahku dengan mantap, topinya masih bertengger di sana. Aku menatap tangannya yang menunggu untuk kuambil tapi aku panik, dan bergumam nggak jelas dengan begini
"Nggak boleh, kak"
Di sela-sela gumam panjang itu, satu sisi diriku berbisik
"Ambil aja, salaman aja" Sial.
"Nggak apa-apa, ambil aja tangannya" Sial, Sial, Sial.
Di tengah bisikan setan dan riuh diriku itu, aga menarik tangannya menjauh lalu berkata
"Oh iya, nggak boleh ya, lupa" huft..
Aku berhasil mendengar suaranya. Itu masih sama, tapi kenapa aku ingin mendengarnya lagi, dan ya, lagi.
Ia menghampiri rekan kerjaku dan berbicara.
Lalu aku menyuruh adikku untuk mengambil kopi dingin yang kubeli tadi untuk aga.
"Nah, kan mau begadang nanti"
Dia diam melihat botol kopi itu lama, kami berdua banyak tersenyum dan tertawa padahal aku juga nggak tahu apa yang lucu.
Lalu, adikku menyodorkan botol itu lebih dekat sampai aga mengambilnya.
"Yaudah aku pulang" sebenarnya aku nggak mau pulang, cuma ini sudah malam dan aku juga agak malu sama teman-teman aga yang berdiri di belakangku sejak tadi. Seperti pegawal.
"Lah kok cepet banget" aga menimpali
"Iya udah malem"
Aga melihat jamnya cepat
"Oiya udah malem ya, kenapa cepet banget"
"Ya kan udah dari tadi di sini nya"
Sial, bisa nggak senyumku redup sebentar. Aga juga, kenapa tersenyum terus????.
"Harusnya dari sore ke sini tadi, biar lama" lalu kami tertawa lagi.

Setelah drama perpulangan yang awalnya hanya antara aku, kakiku, hatiku dan otakku sekarang bertambah aga juga. Apa aku ikut jadi anggota perkemahan saja??

Aku memotret aga saat ia tengah berbicara dengan salah seorang bapak, ia membuka topi lorengnya. Dan aku mendapatkan 2 potret punggung aga malam itu.
Serta banyak potret lain saat di depan api unggun.


Aga, malam itu api unggunnya indah, bukan?
Jalanan Malam Itu dingin, gelap lalu aku takut tersesat.
Aku juga melihat beberapa bintang.
Aga, aku akan melakukan hal yang sama.
Tak membenci mu, menyakitimu dengan tidak mampu.
Sayang hujan nggak menampakkan wujudnya.
Apa ia memberi kita sedikit waktu?
Aku punya banyak cara untuk mengabadikanmu, jika kau kesulitan dengan semua itu, aku nggak kesulitan untuk berhenti.
Bohong, aku kesulitan untuk menghilangkan mu dari hariku.
Tapi, waktu selalu membiasakan segala yang awalnya menyakitkan.
Kau bisa pergi, bukan, bukan, aku ingin bisa pergi.

-Aga-

Desemberku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang