***
Ini bukan kali pertama Benjamin satu mobil sama tiga perempuan sekaligus. Tapi situasi seperti ini adalah hal baru untuknya dan sudah sering terjadi kurleb setengah tahun belakang. Iya, dia nggak cuman nyetirin adiknya aja tapi Anne dan juga Prisia. Kenapa mereka berdua bisa bareng Ben jawabannya karena Ben mau ngantar Retta. Dan keduanya lagi di kedai Ben. Usai dari apart Gama, Prisia mau beli kopi dulu di kedai Ben.
Anne bilang dia nggak bawa mobil karena mau pulang sama Gama. Dan pas banget Ben mau nganter Retta jadinya ngikut. Kalau Prisia sendiri, karena Ben ada urusan ke luar dan melewati kantornya, jadi sekalian saja.
"Mbak Pris jadinya pindahan kapan?" Retta menengok perempuan itu dari bangku depan. Benar-benar muter nggak peduli badannya dililit seatbelt.
Tanpa sadar, Retta jadi dekat juga sama Prisia. Dua orang ini hadir di situasi yang kalau diceritain cukup membingungkan. Retta turut bergabung dalam agenda Masnya yang suka main ke apart Gama. Yang kebetulan juga pacar Mas Gama seniornya di kantor. Mungkin kalau nggak ada mbak Anne, ngapain Retta ikut-ikutan. Nggak akan juga dibolehin sama Masnya itu. Dan ada Prisia di sana yang sejak awal juga sudah kenal singkat dan kemudian akrab karena Prisia adalah sahabat baik Anne juga.
"Aku nggak pake acara pindahan, Ta. Soalnya yaaah tinggal pindah aja."
Gadis itu diam, kebingungan.
"Emang nggak angkut barang dari tempat lama, Pris?" Ben mengajukan tanya. Sama kayak adiknya, ikut bingung juga. "Apa furniture baru semua?"
"Iyalah!" Perempuan yang daritadi lagi benerin rambutnya itu menyambar cepat. Anne. "Udah jadi artis ibukota, Ben. Baru semua dong furniturenya."
Prisia cepat menepuk lengan sahabatnya itu. "Sembarangan aja. Bukan gitu ya. Gue soalnya masih suka bolak-balik rumah. Itu rumah gue beli — -"
"Biar kalo mabuk nggak perlu takut dimarahin Ibu Sonya."
"Anjir diem deh lo bacot banget daritadi."
Mereka berantem. Main pukul-pukulan kecil yang nggak bakalan sakit tapi teriakannya lebih dari orang tonjokan. Retta ikutan cekikikan. Mungkin emang kelihatan gila, tapi Ben senang lihat Retta jadi punya temen deket. Walaupun berharap kalau Retta nggak akan ikutan gila kayak mereka.
"Soalnya kalo drop di apart lu udah ada penunggunya!"
"Dikira Gama setan apa ya."
Retta buru-buru menghadapkan dirinya ke depan lagi. Obrolan sharing apartement secara tidak langsung ini membuatnya diam. Pasalnya ada masnya di bangku kemudi. Pura-pura nggak dengar. Dia belum tiga bulan ngekos sendiri. Nggak mau tiba-tiba masnya minta balik ke rumah lagi.
Keberisikan dari bangku belakang pelan-pelan menghilang. Anne menanyakan persoalan yang sama ke Ben. "Lu sendiri jadi pindah, Ben?"
"Beluuum tahu," kata Ben sambil tetap fokus menyelusuri jalanan yang setengah macet itu. Retta menengok begitu dalam. "Gue ke Bandung kan cuma nengokin Mama Papa Rana. Yaaah iseng-iseng juga sih ngecek lokasi rumah sama kedai yang bagus di mana kalau misal nikah sama Rana."
Ada satu kata yang mendatangkan seringai dari Anne. "Dih kok misal?"
"Tauuu. Emang mau nikahin siapa lagi kalau bukan Rana." Prisia ikutan.
"Yaaah jodoh kan nggak ada yang tahu. Maunya nikah sama dialah pasti."
Retta diam. Tidak ikut serta merespon persoalan Masnya dan Mbak Rana. Ada sedikit genangan air yang bikin mata gadis itu jadi berkaca-kaca. Dia tahu betul bagaimana hubungan sepasang kekasih itu sekarang. Usai pulang dari Aussie sebulan yang lalu, hubungan mereka jadi merenggang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANNE AND GAMA (from September to July)
Fanfiction[COMPLETED] Bagian kedua dari Anne and Gama (The 30th Night of September). Akan lebih bagus kamu membaca bagian pertama untuk bisa turutserta dalam perjalanan cinta Anne dan Gama. Namun tidak masalah juga kalau ingin membaca bagian ini saja. Bagian...