SPECIAL PART: KHAESAN-PRISIA

169 16 11
                                    

cw//kiss, suicide

***

"Kan tadi gue bilang tunggu di mobil."

"Hape gue mana?"

Khaesan harus kembali ke bar untuk mengambil hape Prisia yang ketinggalan. Dan dia sudah memberitahu supaya tetap di mobil sampai dia datang lagi. Tapi ternyata, Prisia malah menyusul Anne dan Gama. Lagian percaya aja sama orang tipsy. Sekarang, alih-alih kembali ke mobilnya yang berjarak dua mobil dari tempat Gama parkir itu, Prisia justru melebarkan telapak tangannya, meminta hapenya. Lekas diberi Khaesan.

"Main hapenya di mobil aja. Sekalian pulang. Yuk."

"Nggak usah." Dia membantah cepat. Bicaranya lancar tapi tubuhnya jelas masih sempoyongan. Sebab itu dia berjongkok, membuat Khaesan kaget dipikirnya Prisia mau pingsan lagi. "Gue udah chat temen gue buat jemput."

Pandangan Khaesan cepat menyelusuri setiap sudut parkiran. Tidak ada tanda-tanda kehadiran mobil lain. Atau mungkin parkir di depan bar mengingat hanya menjemput saja. Tapi kalau boleh jujur, Khaesan tidak menginginkan ini. Rasanya tidak rela kalau Prisia pulang dengan orang lain.

"Lo duluan aja."

Dibalas cepat sama Khaesan. "Ninggalin lo sendiri di sini?"

"Temen gue udah di bar."

"Yaudah. Gue tungguin sampe temen lo datang."

Khaesan menangkap tatapan sayu perempuan itu untuknya. Sejak dulu, dia dan Prisia tidak pernah banyak bicara selain soal kerjaan. Nggak ada juga perasaan-perasaan aneh yang menimpa dirinya. Yang ada hanya rasa kagum. Bagaimana kerennya Prisia yang berkarir sebagai drummer dan semakin kagum melihat betapa suksesnya dia sekarang. Mungkin kedengarannya denial, sebab faktanya, ada banyak alasan dia kembali ke Jakarta. Dan salah satu alasannya adalah untuk bertemu sang puan.

"Gi,"

Seseorang tiba-tiba muncul dan menginterupsi hening mereka. Memanggil Prisia dengan nama belakangnya. Begitulah yang Khaesan lihat. Laki-laki dengan tubuh tinggi dan gede itu menengok ke arah Prisia. Kaos sleeveless berwarna abu-abu yang dipakainya memperjelas otot lengan juga tattonya di sana. Khaesan terlihat kecil jadinya tapi ia tidak bergetar sama sekali.

"Jo?"

"Pris,"

Panggilan Prisia ke laki-laki bertubuh tinggi dan gede bernama Jo itu datang bersamaan dengan kemunculan Razen. Khaesan jelas kenal. Ini bukan pertama kalinya dia bertemu namun memang sudah lama tidak. Razen itu anggota Ultimate Nerds. Meski ototnya tidak tampak karena ditutupi kemejanya, Khaesan tahu dia punya badan yang sama atletis juga.

"Khaesan?"

"Gue lagi bareng Gama tadi. Terus dapat telepon dari Anne kalau mereka berdua drunk. Jadi gue ngikut." Ia tidak berbasa-basi lagi. Razen mungkin kaget dengan kehadirannya di Jakarta. Atau sebenarnya tidak juga. Khaesan hanya terus menjelaskan situasi yang terjadi. "Karena rumah gue sama Pris satu komplek. Gue bilang ke Gama kalau Pris biar sama gue."

Razen mengangguk paham. "Yaudah. Kalo emang lo yang mau antar."

"Kok lo kasih?"

"Apaan sih."

Ucapan Jo cepat dibantah Razen. Kelihatan kalau kehadirannya tidak disukai. Belum lagi tangan Jo yang sampai di pundak Razen itu ditamparnya kasar. Dari balik kacamata Razen, Khaesan bisa melihat nyala matanya penuh kemarahan. Dan rupanya, Jo tidak terima dan emosi juga.

"Ya dia siapa?" Kalimatnya itu tentusaja untuk Khaesan. Kelihatan raut wajahnya lebih menyeramkan dari Razen. "Kalo lo yang nganterin Gigi balik oke aja. Tapi kalo dia gue nggak kasih. Gue nggak kenal sama dia."

ANNE AND GAMA (from September to July)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang