***
Dua orang itu keluar dari area Bandara Soetta, akhirnya. Yang satu mengucir rambut gondrongnya lebih rapi karena selama 2 jam perjalanan dipake buat tidur. Yang satu lagi baru saja membuka kacamata hitamnya karena sudah harus menyetir di jalanan yang mulai kelam. Tidak disangka dan tidak diduga, syuting mereka kemarin molor sampai pagi dan membuat mereka bangun kesiangan sampai akhirnya ketinggalan pesawat.
"Kalo mau gue drop ke apart nggak papa, Gam."
"Lo nggak jadi ke kantor, Mas?"
"Jadi." lugasnya. "Mau ngedit sebentar."
Dilirik Gama sebentar. "Ngeri banget dah sumpah."
"Alah. Lu kayak sekarang nggak aja."
Memang. Tanpa sadar, Gama juga begitu. Ia sudah bisa menyesuaikan dirinya dengan cara kerja orang-orang di kantor. Dan dia enjoy-enjoy aja.
"Gue ikut aja. Sekalian mau ngambil mobil."
"Ohhh. Oke deh."
Mobil mereka akhirnya melaju menuju kantor. Bicara soal Gama, orang-orang mengira keberhasilan yang ia dapat sekarang karena Mas Yudis. Padahal memang anaknya yang hebat dan suka belajar. Yudis merasa tidak melakukan apapun kecuali hanya membukakan gerbang untuknya. Kelanjutannya, semua tergantung Gama. Yudis tidak pernah memaksa.
"Berarti lo belajar semua itu karena lo suka kan?"
Hari itu, dia menawarkan Gama untuk menjadi penggantinya sebagai sound editor di projek yang cukup bisa dibilang besar di kantornya. Tapi Gama menolak. Juga tampak ketakutan. Padahal, dia punya ijazah untuk membuktikan itu. Sekolah musiknya di Kanada bukan cuma teori saja. Ia juga memproduksi musik. Dia juga bergabung di komunitas musik di sana. Dia sudah punya lagu sendiri. Beberapa kali juga selama sekolah, dia bareng teman-temannya produksi MV. Dan semua informasi itu, Yudis dapat beruntun setiap hari. Dan akan selalu ada hal yang membuat Yudis kagum dengan skillnya.
"Tapi kalo gantiin lo gue merasa nggak pantas, Mas."
"Jam terbang lo udah cukup buat sejajar sama gue."
"Mana ada, Mas. Gue masih bocah."
"Yaudah. Kalo gitu gue minta tolong aja sekarang. Gue nggak tahu harus pakai sound editor siapa. Gue harus jagain nyokap gue. Bolak-balik rumah sakit."
Fakta kalau Ibu Yudis sakit memang benar. Namun dia tidak bermaksud untuk menjadikan itu sebagai alasan. Sebenarnya ada banyak sound editor yang Yudis kenal. Tapi dia merasa Gama harus punya kesempatan itu.
"Lo nggak mau jadi artis aja, Gam?"
Setiap Gama bilang dia mau ngambil sekolah musik, orang-orang mikir dia mau jadi penyanyi. Awalnya—iya. Gama sendiri suka nyanyi. Dari SMA sampai kuliah, dia menghabiskan waktunya untuk ngeband. Tapi seiring berjalannya waktu, selama di Kanada, ternyata memproduksi musik jauh lebih menarik untuknya. Kerja di belakang layar ternyata seru banget.
"Sumpah tapi menurut lo muka gue ngejual nggak?"
"Cukup photogenic sih."
Tawa mereka kemudian pecah.
"Besok pas festival musik kantor lo nyanyi aja. Sekalian ajak Anne balikan."
"Brengsek," sambarnya masih setengah ketawa. "Lo tahu nggak sih, Mas, tahun lalu yang gue nyanyi di festival musik kantor itu sebelumnya gue nembak dia. Masa pas ngajak balikan gue harus pake metode itu lagi sih."
"Anjing. Gue nggak tahu lo senorak itu."
Selama perjalanan PDKT mereka, Yudis memang tidak membersamai. Bahkan dia juga nggak tahu kalau keduanya satu sekolah dan teman dekat. Agak kaget balik-balik sudah jadian aja. Dan dia jadi pembicaraan karena dialah yang mempertemukan lagi Anne dan Gama dan berakhir pacaran. Padahal kalau kata semesta ketemu mah di mana aja juga bakal ketemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANNE AND GAMA (from September to July)
Fiksi Penggemar[COMPLETED] Bagian kedua dari Anne and Gama (The 30th Night of September). Akan lebih bagus kamu membaca bagian pertama untuk bisa turutserta dalam perjalanan cinta Anne dan Gama. Namun tidak masalah juga kalau ingin membaca bagian ini saja. Bagian...