(23) July

184 24 17
                                    

***

Kata Anne, Mbaknya nggak mau lebih banyak drama lagi. Ia hanya ingin bercerai. Bagaimana mantan suaminya dan selingkuhannya itu, Mbaknya tidak ingin tahu lagi. Bahkan sekalipun soal harta gono-gini. Trauma yang ia punya begitu dalam. Dan itu membuat mereka sekeluarga mengikut saja.

Khaesan amat prihatin atas apa yang menimpa Mbak Lulu, Kakak perempuan Anne. Pantas saja beberapa hari belakangan ini, wajahnya terlihat murung. Meski sudah lebih setengah tahun tidak bersamanya, Khaesan masih paham akan sang puan. Ia masih tetap ketahuan. Seperti saat kisah cintanya sebelum ini. Alasannya menangis karena kerjaan. Padahal Khaesan sudah tahu yang terjadi. Begitu juga sekarang. Khaesan sudah melihat ada yang berbeda antara ia dan Gama. Mereka jadi asing.

"Jadi Mbak Lulu di Surabaya sama siapa? Ayes?"

"Iya," Ia menjawab sambil menengok burger di tangannya, bengong. Entah kemana pikirannya. "Nyokap nggak akan bisa kuat kalau ikut nemenin Mbak gue sidang cerai. Dia aja masih sering nangis tiap lihat Mbak gue. Bokap mau ikut tapi ntar malah nggak ada yang nemenin nyokap di rumah. Jadi Ayes aja. Jaga-jaga juga kalo dia datang bisa ditonjok sama Ayes."

Dari dulu, Khaesan tahu kalau Anne bukan tipekal yang akan cerita soal apapun ke dia. Anne hanya akan berakhir menangis. Khaesan sendiri juga tidak menuntut untuk diceritakan. Seperti halnya, kisah Mbaknya ini. Tapi ia begitu penasaran apa yang telah terjadi antara keduanya. Yang jelas, yang terakhir Khaesan tahu, ada Kalea di tengah-tengah mereka.

"Makan dulu deh. Dari tadi cuma dilihatin aja."

Masih utuh burger itu. "Nggak selera makan."

"Aneh banget. Biasanya dalam keadaan apapun tetap makan."

"Makanya. Nggak tahu. Kayaknya keadaan sekarang berat banget."

Sudut bibirnya kembali turun. Air mata yang sudah bertengger di ujung kelopak matanya sukses jatuh. Pelan, mengalir dan membasahi pipinya. Tak ingin dilihat siapapun sebab mereka sedang di lobby kantor, Anne menghapusnya segera. Khaesan mengelus punggungnya. Menenangkan.

***

Bahkan Gama pikir bulan Juli ini masih sama seperti bulan-bulan sebelumnya. Bahkan Gama pikir akan ada selalu Anne di setiap hari-harinya. Masih sarapan pagi dengannya. Membantu membawakan tasnya yang kayak mau pindahan itu. Melemparkan senyum kepadanya saat melewati ruang divisinya. Makan siang di kafe lobby ujung. Pulang dengannya. Dan makan malam sebelum mereka tidur. Bercengkraman di atas ranjang. Pelukan sampai ketiduran. Dan melakukannya lagi besok.

Dua hari ini — Gama melakukan semuanya sendirian. Bahkan sebagian justru tidak ia lakukan. Tidak ada sarapan pagi. Gama melewatkannya. Dan berakhir kelaparan di studio. Tangannya kosong selama melangkah di koridor. Tidak ada tas Anne digenggamannya. Jangan 'kan mendapatkan senyum sang puan, yang ia lihat hanya punggungnya dari kejauhan. Tidak juga makan siang. Ia melewatkannya dengan sadar. Dan berakhir makan di kedai Ben hanya beberapa suap. Pulang ke apartnya dan tidak tidur sampai pagi. Ia kepikiran Anne. Ia kangen perempuan itu. Dan menangis lagi.

"Are you okay?"

Seruan Mbak Elgi itu menginterupsi keheningan Gama. Entah sudah berapa lama ia bengong. Dilihatnya perempuan itu dan dilemparkannya senyum. Wajahnya kelihatan iba. Menatap Gama begitu dalam.

"Lo kelihatan pucat banget. Sakit?"

"Nggak kok, Mbak." bohongnya. "Cuma kurang tidur."

"Jaga kesehatan. Ntar sakit yang repot Anne."

Nama itu tidak pernah hilang dari dirinya. Bagaimana mungkin juga bisa. Di semua projek Gama, perempuan itu selalu membersamainya. Meski hanya dari cerita orang-orang. Iya, dia punya rekam jejak yang begitu banyak. Semua orang menyukainya. Cara kerjanya yang agak menyebalkan kadang tapi selalu berakhir luar biasa. Gama tahu — sejak dulu, kalau Anne akan punya karir yang bagus karena memang ia perempuan yang keren.

ANNE AND GAMA (from September to July)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang