(17) Pertemuan di Pagi Hari

225 29 6
                                    

***

Saat langkah Anne menginjak teras rumah, Prisia muncul dengan sepeda listriknya. Prisia si pemilik rumah. Timing kedatangannya pas sekali dengan kepergian Anne. Perempuan itu mendekat. Membawa makanan.

"Sarapan dulu."

"Bisa ntar aja."

"Yaudah gue antar gimana?"

"Gue udah pesan gocar."

"Gue nggak tahu kalo lu berantem sama Gama," terang Prisia langsung. Tapi ada basa-basi lagi. "Biasanya lu nggak sampe kayak gini. Masalah gede?"

Apa ketakutan yang ada di kepalanya ini bisa dibilang masalah gede? Sewaras-warasnya Anne, ia merasa benar-benar esempe untuk keributan ini. Semua belum jelas. Bahkan tidak benar. Gama tidak ada apa-apa sama Kalea. Bahkan Kalea sendiri bilang betapa banyak pujian Gama untuknya.

"Nggak gede. Masalah kecil. Makanya ini mau gue samperin anaknya."

"Sampe sakit begitu. Kayak abis diputusin."

"Belom diputusin padahal. Cowok kalo ada salah suka tiba-tiba sakit."

"Jangan apa-apa dipendam sendiri."

"Iyaaah. Emang ada yang nggak gue ceritain ke lo," tegas Anne — kemudian mengambil langkah lebih dekat ke bibir jalan. Sebab pesanan gocarnya sudah datang. "Udah ya. Gue duluan." sambungnya, masuk ke mobil.

Bukan masalah besar. Anne juga tidak mau membesar-besarkannya. Cukup dia sendiri yang tahu. Cukup dia sendiri yang merasakannya. Sekalipun itu Prisia yang sejak awal juga sudah memarahinya soal salah langkahnya. Ia hanya perlu memperbaiki — entah apa dia layak disalahkan di kasus ini.

"Aku nggak papa. Cuma meriang dikit aja. Nggak usah ke sini."

Anne menelepon Ben lagi. Mengabarkan kalau dia akan ke sana. Tapi setelahnya, Gama mengambil alih hape Ben. Mereka kemudian bicara.

"Aku udah di jalan."

Setidak-maunya Anne bertemu Gama, ia tidak tega juga membiarkannya pemuda itu sakit seorang diri. Ia sudah membuang keegoisannya. Dan mencoba melupakan ketakuan dalam kepalanya. Tapi respon Gama beda.

"Kamu kan bilang mau ketemu klien,"

"Gam,"

"Ann,"

Dilempar dengan panggilan itu, Anne terkejut bukan main. Bukannya Gama tidak pernah memanggilnya dengan nama lagi. Hanya saja, kedengaran tegas. Meskipun serak mungkin sebab sakit. Tapi memang seperti sedang marah. Anne sampai kesusahan menelan air ludahnya. Takut juga. Gama tidak pernah marah. Bahkan kalau marahpun dia sambil tersenyum. Dan sepertinya kali ini — tidak ada senyum yang tergambar.

"Aku udah di jalan. Aku mau ke kamu sekarang."

Tidak peduli semarah apa, Anne tetap akan menghampirinya.

"Aku mau pulang. Aku nggak ke kantor. Nanti aku izin ke Mbak Elgi. Jadi kamu nggak usah ke sini," Suaranya semakin tegas. Mata Anne sudah bergetar. Air mulai menggenang di sana. Tapi dia tetap kokoh. "Udah ya. Kamu jangan lupa sarapan. Udah sarapan kan?" Dan kalimat lainnya datang — membuat air mata yang ditahan Anne daritadi, kemudian jatuh seperti air bah.

Sebelumnya dia ketakutan sebab dimarahi Gama. Beberapa detik kemudian, ia dilemparkan kalimat jangan lupa sarapan dan udah sarapan belum. Anne jelas menangis. Dadanya sesak bukan main. Sebisa mungkin ia tidak mengeluarkan isak tapi semua terasa begitu menyiksa. Bagaimana bisa setelah apa yang terjadi — bahkan ia sendiri pun marah dan kesal, masih bisa bertanya dan peduli padanya. Anne merasa sangat buruk.

ANNE AND GAMA (from September to July)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang