[11] Clear

259 133 839
                                    

Disclaimer
Cerita ini murni dari hasil pemikiran author. Apabila ada kesamaan nama/tokoh, tandanya kita sehati.

Dilarang plagiat.
Terbuka untuk krisar atau penandaan typo.

Terbuka untuk krisar atau penandaan typo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Mending jangan cinta-cintaan dulu, El. Cinta nggak selamanya indah."—Hafiz.

...


Petang itu Safar benar-benar berpasrah jikalau maut menjemputnya di usia muda. Ketika Hafiz menerima panggilan penuh kemurkaan dari sang ibu, pria itu lari meninggalkan taman sembari menarik Safar tanpa penjelasan apapun. Biasanya Safar yang akan mengemudi, namun ditengah kepanikan, Hafiz merampas kunci di genggaman Safar dan memilih untuk menjadi sopir pribadi Safar sementara waktu.

Mercedes-Benz milik Hafiz terparkir apik di teras rumahnya. Bisa Hafiz lihat BMW putih yang ia ketahui milik Ginara terparkir tepat di sampingnya. "Sialan," gerutunya.

Hafiz memasuki rumahnya dengan berbagai pemikiran negatif. Ketika dirinya berdiri tepat dihadapan orang tuanya yang sedang duduk tegak, Hafiz siap menghadapi segala kemungkinan buruk yang terjadi. Di belakangnya Safar berdiri dengan gugup. Lengannya diusap ketika suasana dingin menyapanya.

"Siapa Gapi?" tanya Damian—Ayah Hafiz, tanpa basa-basi. Ayahnya berada di sini, pertanda bahwa hal ini jauh lebih penting ketimbang pekerjaan kantornya.

Melupakan hal itu, manik Hafiz menggelap saat nama panggilan Rega keluar dari bilah bibir sang kepala keluarga. Dari mana ayahnya mengetahui nama panggilannya untuk Rega? Maniknya bergulir melirik Ginara dan ibunya yang juga duduk di sofa lainnya, tidak lupa, ayah Ginara pun ada di sana juga. Dugaan akan Ginara yang memberitahu nama panggilan Rega pun muncul dalam benak Hafiz.

Manik gelap Hafiz kembali menatap sang kepala keluarga. "Jangan libatkan dia dalam masalah ini, Ayah."

"Kenapa? Aku mempercayai dirinya untuk mendampingimu, tapi berani-beraninya dia membuatmu belok."

Hah? Belok?

Alis Hafiz mengkerut. Bukan hanya dirinya yang bingung, dibelakangnya Safar pun bertanya-tanya, 'belok' yang di maksud ayahnya Hafiz itu apa? Seingat Safar, tuan mudanya selalu berjalan di jalan yang lurus. Rekam jejak di sekolahnya pun tidak ada yang buruk, kecuali fakta bahwa dia berteman dengan kumpulan jamet pembuat onar. Jadi dari sisi mananya dia belok?

"Safar Gapindra."

"Iya tuan!"

Safar menelan ludahnya kasar. Entah mengapa ia merasa, kehidupannya sedang dipertaruhkan di sini. Andini pun menatapnya seolah Safar adalah seonggok sampah masyarakat yang tidak layak untuk berada di rumah mereka.

Satu Semester Untuk Hatimu [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang