[16] Kita ini apa?

139 69 310
                                    

Disclaimer
Cerita ini murni dari hasil pemikiran author. Apabila ada kesamaan nama/tokoh, tandanya kita sehati.

Dilarang plagiat.
Terbuka untuk krisar atau penandaan typo.

"Di bilang teman, tapi sudah kenal banget

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Di bilang teman, tapi sudah kenal banget. Di bilang sahabat, tapi punya perasaan lebih. Di bilang pasangan, tapi tidak ada status."—Aulia.

...


Menjadi pusat perhatian karena parasnya yang rupawan, sudah biasa bagi Hafiz. Tapi menjadi pusat perhatian untuk digosipkan tepat di depannya, sepertinya ini kali pertama Hafiz merasakannya.

Hafiz tidak tahu apa yang telah terjadi di SMP Dharma, tapi rungunya dengan jelas menangkap bisikan mereka mengenai kata 'kembaran'. Hafiz jelas tahu siapa kembaran yang mereka maksud.

"Oho, setelah diusir oleh ayah, kamu masih bisa datang untuk bersekolah."

Hafiz berbalik ketika merasa kalimat tersebut  diberikan untuknya. Safar yang berdiri di samping Hafiz memiringkan kepalanya. Bertanya-tanya apa Hafiz mengenal orang ini. Namun sepertinya tidak, kalimatnya pun sama sekali tidak cocok dengan riwayat hidup Hafiz.

"Hei, Dik. Kamu berbicara dengan kami?" tanya Safar.

"Baru sebulan kita tidak bertemu, tinggimu sudah bertambah ya. Kesombongan macam apa ini?"

Safar, "Siapa yang sombong? Tuan muda dari dulu memang tinggi."

"Tuan muda? Siapa yang kau panggil tuan muda? Anak rendahan ini?"

Haha... Aku anak rendahan ya. Benar kata nenek, dunia luar sangat luar binasa. Orang yang tak mengenal kita, senang berbicara sesuka hati mereka tanpa mengetahui kebenarannya.

"Jaga ucapanmu! Siapa yang kau sebut anak rendahan!"

"Kamu berani membentakku!"

Pria didepan mereka mengangkat tangannya hendak menarik kerah kemeja Safar, namun tangannya ditahan oleh Hafiz.

"Dik. Tenangkan dirimu. Sepertinya kamu salah orang. Yang kau maksud mungkin orang di belakang mu ya?"

Dengan raut kebingunan, pria di depan Hafiz berbalik dan melihat sosok yang tingginya tak berbeda jauh dengannya—Azriel.

"Ku fikir sebulan tak bertemu bisa membuatmu menjadi lebih baik. Ternyata tidak, Nobel." Pria bernama Nobel itu menatap tak percaya ke arah Azriel dan Hafiz.

Satu Semester Untuk Hatimu [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang