[35] Dia Yang Menjadi Langit Untuk Para Bintang

7 0 0
                                    

Dilarang plagiat.
Plagiat, adalah tindakan kriminal. Dampak negatif, anda bisa viral, malu dan mendapatkan dosa.

Tetap berkarya, meski sepi.
Menerima krisar dan penandaan typo.

"Ini bukan zaman orang tua kita, dimana kekerasan bisa membentuk karakter

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ini bukan zaman orang tua kita, dimana kekerasan bisa membentuk karakter. Ini zaman di mana kekerasan menjadi pembunuh karakter anak."—Hafiz.

...


Memiliki murid nakal yang selalu membuat masalah atau sering tawuran itu sudah biasa untuk sebuah sekolah negeri seperti SMA Negeri 7. Namun untuk pertama kalinya para murid sekolah ini di hukum secara merata satu angkatan. Entah itu jurusan IPA maupun IPS.

Mendapatkan nilai 60 secara bersamaan di mata pelajaran Kewarganegaraan, SMA Negeri 7 baru saja menunjukkan betapa tinggi rasa solidaritas mereka. Terkecuali kubu persahabatan Hafiz dan Rega.

Mereka menatap jejeran murid kelas sebelas yang berdiri di tengah lapangan ketika ujian hari ke-2 selesai. "Em, tapi kok kita nggak di hukum ya?" tanya Nando yang seketika mendapat pukulan di kepalanya dari Marsello.

"Karena nilai kita berbeda dari mereka. Perbedaan ini membuat guru tahu, jika kita membaca soal dan mengisinya berdasarkan pengetahuan kita, tidak seperti mereka yang menghapal kunci jawaban," jelas Marsello.

"Lalu bagaimana dengan Arrian? Dia dipanggil kepala sekolah 'kan?" tanya Prina.

Marsello, Nando, dan Aulia saling bertatapan kemudian menggeleng. Mereka pun penasaran apa yang terjadi pada sosok yang menyebarkan kunci jawaban palsu tersebut.

...

"Lah, Pak, ini bukan nomor saya. Nomor saya mah belakangnya 0000, seperti hati saya."

"Kamu jangan bercanda ya, saya lagi serius ini," ucap guru Kewarganegaraan mereka—Pak Sapto.

"Beneran ini, Pak. Lihat ini," ucap Arrian sembari merogoh handphonenya dan menunjukkan nomor handphonenya. Bukan hanya itu, ia pun mencoba menelepon Pak Sapto dan benar saja nomor belakang yang pria itu sebutkan sama persis dengan nomor yang tertera pada layar handphone Pak sapto.

"Atau gini saja, Pak. Kalau memang saya nih orangnya, kira-kira saya ngambilnya gimana? Dekat sama Bapak saja nggak, nyentuh barang Bapak cuma sekali doang, waktu saya diminta bawain laptopnya Bapak ke ruang guru. Nge-hack pun dari pada saya ngambil soal ujian, mending saya porotin ATM Bapak, ini pemikiran saya sebagai anak kos ya, Pak."

Menarik napasnya sejenak, Arrian mengangkat jari telunjuknya. "Satu lagi, saya nggak masuk grup angkatan, Bapak lihat ini?" Arrian mengangkat handphone jadulnya tepat di hadapan Pak Sapto.

"Bapak menyadari ini, 'kan? Saya dan Danil adalah dua manusia yang setia memakai handphone jadul, Pak. Gimana mau gabung ke grup wasap coba?"

Pak Sapto terdiam mendengar penjelasan Arrian yang begitu membara. Maniknya memperhatikan handphone di tangan Arrian yang tombolnya sudah tak lagi menampilkan angka dan huruf, menandakan bahwasanya pria itu memang sudah lama menggunakannya. Tanpa banyak bicara, pria paruh baya berusia kepala tiga itu berjalan keluar dari ruang guru. Kakinya melangkah menuju lapangan, tempat di mana para murid sedang berdiri menerima hukuman mereka.

Satu Semester Untuk Hatimu [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang