02

1.8K 98 1
                                    

Semua terasa canggung. Sangkara hanya diam saja dari tadi, sampai mereka sarapan pun Sangkara seperti tidak ikhlas makan bersama Nadine.

Mereka tidak jadi kerumah sakit dan harus melewatkan jadwal terapinya minggu ini. Yang Nadine lihat, mata Sangkara terlihat merah dan sembab.

Apakah ia sudah keterlaluan?

Bahkan Sangkara yang biasanya akan bawel dan mengganggu Nadine, sekarang menjadi Sangkara yang pendiam dan cuek.

Sangkara hanya menghabiskan waktunya di atas kasur dengan laptop yang berada di atas pangkuannya. Walau ia lumpuh tetapi Sangkara tetap melaksanakan pekerjaannya walau lewat online.

" Kamu udah harus minum obat. " ucap Nadine sambil memberikan obat dan air minumnya.

Namun Nadine tidak mendapatkan respon apapun dari Sangkara. Yang dilakukan Sangkara hanya mengetik sesuatu di atas keyboardnya.

Tatapannya lurus kearah laptop, bahkan melirik Nadine pun tidak sama sekali. Nadine berdecak sebal.

" Kalau gak mau kerumah sakit, seenggaknya minum obat, jangan udah gak kerumah sakit gak minum obat juga! " ujar Nadine.

" Buat apa? udah minum obat pun saya masih gak bisa sembuh kan? " jawab Sangkara masih dengan fokusnya kearah laptop.

" Kamu gak usah peduli sama saya kalau kamu terpaksa, saya gak butuh belas kasihan dari kamu. Saya terima kasih atas 3 bulan ini, waktu yang gak singkat untuk kamu. Entah dalam 3 bulan itu saya harus merasa benci atau kagum saya kamu, "

" Disatu sisi saya kagum karena kamu mau ngurus saya yang cacat ini tanpa kurang satupun, tapi disisi lain saya juga benci sama perkataan yang keluar dari mulut kamu, selain itu saya juga benci dengan diri saya sendiri, "

" Mulai sekarang kamu bebas untuk melakukan apa saja yang kamu mau. Kita urus diri masing-masing, anggaplah pernikahan ini sebagai simbiosis mutualisme. Kamu bikin ayah bahagia saya bikin Bunda saya gak kecewa, cukup disitu saja, "

" Terserah kamu mau kamu punya pacar sama laki-laki lain saya gak akan larang. Saya cinta sama kamu, tapi untuk larang kamu mencintai laki-laki lain saya gak bisa, "

" Kamu bisa cari kebahagiaan kamu diluar sana, walau kebahagiaan saya yang habis dikamu. " ucap Sangkara sambil menutup laptopnya dan menaruhnya diatas meja.

" Tapi kalau kamu butuh saya, saya disini selalu. " setelah itu, Sangkara dengan kekuatannya memindahkan dirinya keatas kursi roda dan keluar dari kamar.

Nadine menatap kepergian suaminya itu dengan tatapan sendu. Ia merasa bersalah, Nadine menyadari kalau apa yang ia katakan sudah sangat keterlaluan.

Bunda Sangkara sudah menaruh banyak harapan pada Nadine namun itu semua ia patahkan.

Di luar rumah, Sangkara menikmati angin yang berhembus. Selalu didalam rumah membuatnya muak.

Sangkara begitu rindu ketika dirinya masih bisa berjalan normal. Karena kecelakaan 2 tahun lalu membuatnya selalu bergantung pada kursi roda.

Walau dokter bilang lumpuhnya tidak permanen dan bisa sembuh tentu saja tidak semudah itu. Sudah banyak cara yang dilakukan Sangkara namun itu semua tidak pernah berhasil.

Siang ini awan hitam muncul, menurut perkiraan cuaca siang ini akan turun hujan. Sangkara rindu saat ia bermain hujan, berlari kesana kemari menikmati hujan yang lebih indah dari kenyataan.

Saat mulai memejamkan mata, satu tetes air turun membahasahi tubuh Sangkara. Dan hujan mulai turun membahasahi tanah.

Aroma rumput basah tercium. Itu adalah aroma ketenangan menurutnya, Sangkara sekarang hanya mampu memejamkan matanya menikmati hujan diatas kursi rodanya.

Sampai tak terasa jika air matanya turun namun tertutup dengan hujan yang begitu lebat. Seringkali Sangkara memaki dirinya dibawah derasnya hujan seperti ini.

" Kamu gila ya! " Nadine datang dengan payung yang berada di tangan kanannya. Dari tadi Nadine mencari keberadaan Sangkara namun tidak ketemu di sudut mana pun.

Sangkara membuka matanya lalu mengusap wajahnya yang basah akibat air hujan. Ia melihat tatapan milik Nadine yang terlihat khawatir, namun tidak ingin berharap banyak.

Sangkara membawa dirinya kedalam rumah, meninggalkan Nadine yang masih berada diluar sana. Sangkara langsung masuk kedalam kamar mandi dan membersihkan diri.

Ia membungkus dirinya sendiri menggunakan handuk. Sangkara mengambil bajunya yang berada dilemari dan mulai memakainya.

Nadine menghampirinya, membantunya memasangkan bajunya. Sangkara tidak menghindar sama sekali.

" Kenapa hujan-hujanan? " Sangkara tidak menjawab. Ia menyingkirkan tangan Nadine yang ingin mengeringkan rambutnya.

" Saya bisa sendiri. " Sangkara mengambil handuk nya lalu mulai menggosok asal rambutnya.

" Terima kasih, " ucap Sangkara tanpa menatap Nadine.

Sangkara mengambil handphonenya lalu memainkannya diatas kasur.

Sangkara terlihat sangat marah dengan Nadine. Bahkan setiap kali Nadine menawarkan makan, Sangkara hanya menggeleng atau bahkan tidak merespon sama sekali.

" Kamu gak mau makan masakan ku? " tanya Nadine namun tidak ada respon dari Sangkara.

" Aku udah masak, cape didapur, gak pernah kamu hargain, " ujarnya membuat atensi Sangkara berpindah padanya.

" Saya gak pernah minta, kalaupun kamu terpaksa bikin makanan untuk saya, gak perlu. Saya masih bisa pesan online, jadi kamu gak usah repot-repot bikinin saya makanan, "

Nadine meneteskan air matanya dan menangis sejati jadinya dihadapan Sangkara. Sangkara menghela nafas lalu membawa Nadine kedalam pelukannya.

Nadine tidak menolak, ia menumpahkan rasa sesaknya di dekapan Sangkara. Sampai tak sadar kalau dirinya tertidur bersama Sangkara dengan posisi berpelukan.

Saat terbangun ia merasa kepalanya dihantam ribuan palu, sangat sakit rasanya. Saat melihat kanan, kiri Nadine tidak menemukan keberadaan Sangkara.

Yang ia jumpai adalah satu kertas diatas meja.

" Saya keluar sebentar "

Hanya 3 kata itu yang Sangkara tinggalkan untuknya. Nadine turun dari kasurnya, menguncir asal rambutnya.

Saat Nadine keluar kamar, ia berjumpa dengan Sangkara yang baru pulang entah darimana.

" Kamu habis darimana? " tanya Nadine namun tidak dijawab oleh Sangkara.

Sangkara melewati Nadine yang sedang menatapnya. Ia langsung masuk kedalam kamar untuk beristirahat.

" Mas! akutuh cape tau gak?! setiap aku nanya selalu gak dijawab, aku suruh samu makan kamu selalu nolak, mau kamu apasih? "

" Aku udah cukup sabar sama kamu, kamu fikir aku ini pembantu? aku tuh cape punya suami penyakitan, cacat kayak kamu! "

" Hidup kamu cuman ngerepotin semuanya, aku nyesel nikah sama kamu! " setelah mengucapkan kata kata menyakitkan itu, Nadine keluar rumah dan menutup kencang pintu rumah.

Sangkara hanya mampu menahan air matanya yang sudah ingin jatuh.

Diluar, Nadine kembali menangis. Mengeluarkan kekesalannya diluar rumah, menangis sejadi jadinya.

Sampai satu notifikasi terpampang di layar handphonenya.

Sangkara

| Saya lebih menyesal karena sudah menikahi kamu
| Saya menyesal karena membuat kamu sedih
| Maafkan saya, Nadine

Bunda Sangkara
| Nadine, bagaimana Sangkara?
| Maaf ya kalau Sangkara merepotkan
| Maafkan kalau sifatnya seperti anak-anak
| Maafkan Sangkara, Nadine
| Bahagia selalu anak Bunda




Maaf, Saya Lumpuh [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang