15

1.1K 69 5
                                    

Satu bulan setelah kejadian itu, Nadine dan Sangkara makin berjarak. Namun bukan Nadine yang menciptakan jarak itu melainkan Sangkara.

Yang biasanya Sangkara akan menyapa Nadine setiap pagi kini tidak lagi. Sangkara benar-benar berubah setelah kejadian itu.

Sangkara masih rutin mengikuti terapinya, dalam sebulan hanya satu kali Sangkara di antar oleh Nadine karena Aru sakit.

Namun yang Nadine dapat hanya muka tak menyenangkan dari Sangkara. Nadine merasa bahwa Sangkara tidak suka jika ia yang mengantarkannya.

Lain halnya dengan Aru, ia akan terlihat lebih cerita walau tak seperti dulu. Entah apa yang di perbuat Aru sampai Sangkara pun menurut saja padanya.

Aru juga sudah tidak pulang pergi, ia mulai tinggal disana. Sering kali Aru membantu Nadine untuk membersihkan rumah dan pekerjaan lainnya.

Nadine pun kekantor hanya 3 kali dalam seminggu. Alasannya adalah karena kantor sedang santai, namun siapa yang percaya?

Sangkara masih satu kamar dengan Nadine. Bukan kemauannya tapi karena terpaksa, karena malas berdebat Sangkara memilih mengalah.

Nadine tidak pernah lagi melihat senyum manisnya milik Sangkara. Ia pun belum mencoba untuk meminta maaf, karena Sangkara yang terus menghindar.

Siang ini, Aru dan Nadine membuat kue. Mereka sudah seperti kakak dan adik. Nadine tidak keberatan dengan adanya Aru dirumahnya.

Lagipun Nadine masih belum cinta kan dengan Sangkara(?)

" Mbak, tolong dilanjutin ya saya mau kasih mas Sangkara obat, " ucap Aru.

" Biar saya aja, " pintanya. Aru mengijinkan. 

Nadine masuk kedalam kamar, dan bertemu dengan Sangkara yang sedang sibuk dengan handphonenya.

" Kata Aru udah jamnya kamu minum obat, "

Sangkara tidak menoleh.

Nadine mengambil obat Sangkara yang ada di laci. Ia memberinya pada Sangkara.

" Memang Aru kemana? " tanyanya.

" Masih buat kue, "

" Saya butuh Aru, dia yang harusnya jaga saya, "

Bagaikan di sambar petir, perasaan Nadine sesak tak karuan. Sangkara menolak di bantunya?

Nadine keluar dari kamar dan memanggil Aru untuk menemani Sangkara.

" Mas mau apa panggil saya? " tanya Aru, Sangkara menoleh.

" Saya mau jalan-jalan, " pintanya. Aru menoleh sejenak kearah jendela dan melihat matahari yang begitu menyala.

" Panas mas, sore aja. " Sangkara menghela nafas. Ia hanya bisa menurut.

" Aru saya ngantuk, "

Aru membantu Sangkara untuk menidurkan dirinya. Menyalakan AC.

" Selamat tidur mas. " Sangkara mengangguk.

Setelahnya, Aru keluar dari kamar dan menutup pintu.

" Astaga, Mbak ngagetin aja. " ujar Aru sambil mengelus dadanya karena terkejut ada Nadine di depan pintu.

" Kok Sangkara mau nurut sama kamu ya, Ru? "

" Engga, coba Mbak bujuk pelan pelan pasti dia mau nurut, "

Sore harinya Aru menepati janjinya untuk mengajak Sangkara ke taman. Nadine ingin ikut namun ia mendadak harus ke kantor.

Aru mendorong kursi roda Sangkara, membawanya menikmati cahaya indah saat sore hari. Sangkara menghela nafas menikmati cahaya matahari yang mengenai matanya.

" Saya boleh menangis? " Aru mengangguk.

" Tapi terlalu pengecut, "

" Mas, siapa yang bilang kalau laki laki menangis itu adalah pengecut? "

Sangkara menundukkan kepalanya. Sangkara masih belum ikhlas atas apa yang telah ia alami, semua terlalu rumit sampai Sangkara sering menangis menyendiri.

" Saya menyerah, " Aru menoleh.

" Saya menyerah untuk mempertahankan pernikahan saya ini, " Aru menggeleng.

" Gimana sama mba Nadine? " Sangkara menggeleng.

" Nadine masih punya Putra, "

" Semua terlalu singkat mas, mba Nadine sudah mencoba menjadi istri yang baik tapi mas Sangkara seolah menutup mata, "

" Jangan bicarakan ini dengan saya mas, saya gak ada hak untuk berpendapat, biar ini jadi urusan mas dan mba Nadine aja.  " Sangkara menghela nafas.

Sangkara meminta untuk pulang. Sampai dirumah Sangkara membersihkan tubuhnya dan tak lama makan malam tiba.

Nadine sudah pulang dari kantornya, ia langsung membersihkan tubuhnya dan ikut makan malam. Tak lama Aru pamit pulang.

Entah mengapa rasanya hari itu fisik dan batin Sangkara begitu melelahkan. Ia menidurkan dirinya pukul 20:00. Nadine pun ikut karena ia begitu lelah bekerja tadi.

" Pernikahan ini mau dibawa kemana? " Sangkara bertanya. Walaupun lelah namun pertanyaan ini terus berputar dikepalanya.

" Aku gak tau mas, " jawab Nadine. Sangkara menghela nafas sejenak.

" Kalau semua jujur sama saya mungkin rasanya gak akan sesakit ini, harus kehilangan semua yang saya punya dalam sekejap. Mungkin kalau kamu jujur dari awal saya bisa menerimanya, "

" Kenapa ini harus terjadi sama saya? " Nadine menggeleng, matanya sudah berlinang air mata.

" Aku takut, "

Sangkara kembali bangun dari tidurnya dan duduk dengan sandaran kasur.

" Saya lelah, semua kerja keras saya harus hilang begitu aja hanya karena kecelakaan kecil, "

Sangkara mengatur nafasnya yang mulai tidak stabil.

" Kita pisah saja ya? "

Nadine menggeleng.

" Biarin aku untuk balas semua perbuatan buruk aku mas, jangan buat aku hidup dengan bayang bayang penyesalan. Kamu bisa mas, kamu bisa untuk hidup normal, "

" Aku sakit kalau dengar kamu nangis, "

" Tapi kamu yang buat saya seperti ini! "

" Aku khilaf, aku minta maaf "

" Nadine, saya bahkan gak bisa 100% benci kamu akan hal ini. Tapi makin di rasakan makin sakit, istri yang saya perjuangkan selama ini ternyata yang membuat saya seperti ini, "

" Saya lumpuh, saya sakit, saya di selingkuhi dan yang membuat ini semua kamu, istri saya, "

" Saya benci rasa ini, saya benci ketika harus menerima fakta kalau saya masih cinta sama kamu, "

" Bisa saya hidup dengan tenang? bisa saya hidup dengan berjalan normal? kenapa kamu begitu membenci saya? apakah karena saya lumpuh? "

" Kamu lelah ya urus saya yang lumpuh? "

" Engga mas engga, "

" Maaf, saya lumpuh "



Hai, selamat malam semua maaf baru bisa update lagi karena waktu senggang yang gak memadai. Ini update ku untuk kalian semua. Jika ada yang typo mohon dimaafkan. Bahagia selalu.


Maaf, Saya Lumpuh [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang