16

1.3K 64 12
                                    

Akibat kejadian kemarin malam, badan Sangkara mendadak panas dan demam. Sangkara terus memanggil nama Nadine walaupun wanita itu ada di sampingnya.

Nadine sudah mengkompresnya namun itu tidak mempan. Nadine juga sudah mencoba untuk membangunkan Sangkara namun tidak ada jawaban.

Sampai Aru datang dan seketika demam Sangkara berangsur membaik. Nadine merasa tidak becus menjadi istri, memang begitu kan?

Menjelang siang keadaan Sangkara makin membaik bahkan jauh lebih baik. Sangkara memilih untuk mengerjakan pekerjaannya diatas kasur.

Sampai ada 2 orang tuanya yang datang. Sangkara tetap bersikap seolah hanya ada Aru dan dirinya yang berada didalam rumah itu.

" Kara, mau makan buah gak? udah Bunda potongin, " Sangkara tidak merespon.

" Masih marah ya nak? " lagi lagi tidak ada jawaban.

Bunda akhirnya memilih keluar kamar, menumpahkan semua rasanya pada suaminya, ayah Sangkara.

" Kenapa cuekin Bunda mu kayak gitu? " Sangkara mengalihkan fokusnya sekejap pada ayah lalu kembali ke laptop.

" Ayah gak pernah ajarin kamu untuk kurang ajar sama Bunda kamu sendiri, Sangkara! lihat sekarang, Bunda kamu nangis diluar! "

" Ayah juga gak pernah ngajarin Kara buat berbohong, sekecil apapun tapi kenapa kalian semua bohong sama Kara? kenapa yah? kenapa?! "

" Mungkin kalau kalian jujur rasanya gak akan sesakit ini, yah. " Sangkara menghapus air matanya.

" Sangkara gak akan bisa jadi anak yang berguna, Sangkara gak akan bisa jadi suami yang berguna. Hidup Sangkara hanya jadi beban, "

" Kenapa Sangkara gak meninggal yah? kenapa harus Sangkara yang begini, yah? "

Satu tamparan didapatkan Sangkara dari Ayahnya. Nafas keduanya memburu, tatapan matanya tajam tertuju pada siapa yang ditatap.

Sangkara menyinggung senyum miringnya lalu menghapus darah yang mengalir dari hidung dan bibirnya, begitu kuatnya tamparan pertama ayah untuknya.

" Mas! apa apaan sih kamu! " Bunda menarik ayah menjauh dari Sangkara, mendekat kearah anaknya hendak melihat luka yang didapatkan namun tangannya di tepis dengan cepat.

" Sangkara mau sendiri, "

Tidak ada pilihan lain selain Ayah dan Bunda keluar dari kamar Sangkara.

" KENAPA HARUS SANGKARA TUHAN, KENAPA?! "

Sangkara melempar apapun yang berada didekatnya, memukul-mukul kakinya namun tetap saja tidak ada rasa sakit sedikit pun.

Bahkan Sangkara mencoba turun dari kasur dan mencoba belajar jalan sendiri, namun apa yang didapat? Sangkara langsung terjatuh dan tangannya terbentur meja membuat noda biru disana.

Sangkara kembali menangis, memarahi dirinya sendiri sampai ia tidak sadarkan diri setelah mengkonsumsi obat penenang yang ia punya.

Yang ia ingat terakhir kali adalah suara Aru yang berteriak histeris memanggil namanya, setelah itu ia tidak ingat apa apa lagi.

Sangakara terbangun dan ia sudah berada di atas kasurnya, Sangkara kira ia sudah di surga. Melihat kekanan dan kekiri ia tidak menemui siapapun.

Sangkara menoleh ke jendela dan melihat matahari yang sudah tampak, Sangkara pingsan begitu lama?

Mengingat apa yang terjadi semua dengannya, Sangkara kembali memunculkan niat buruknya untuk mengakhiri hidup.

Sangkara mencoba mengambil obat yang ia punya di dalam nakas dan meminum semua yang tersisa namun saat hendak memasukkan butir pertama, obat-obatnya berjatuhan akibat di tepis oleh Aru.

" KAMU GILA MAS! "

" Berapa banyak obat yang kamu simpan? " Aru mencari cari di nakas dan menemui 2 botol obat yang masing masing tersisa setengah.

" Jangan berani buang semua obat itu, " ucapnya dingin.

" Saya tetep akan buang obat ini, gak baik mas! "

" Kamu tau apa tentang saya? kamu gak akan ngerti gimana sakitnya jadi saya, Aru! "

" Saya paham mas! paham, tapi bukan ini jalan yang terbaik! coba mas pikirkan berapa banyak orang yang akan sedih kehilangan kamu, "

" Mereka pun gak peduli bagaimana jika saya di bohongi, dari situ saya tau gak seharusnya saya peduli dengan semuanya bahkan hidup saya sendiri, "

" Semua terlalu penipu untuk saya yang lumpuh, Aru! " Aru menggeleng.

" Saya yakin ada saatnya mas bahagia, "

" Kapan Aru? KAPAN?! "

" Saya sudah cukup muak dengan semuanya, saya sakit, saya gak bisa bertahan, Aru. Biarkan saya meminum obat itu, saya gak bisa lepas dari itu semua, " Aru menutup mulutnya melihat Sangkara yang begitu lemah dihadapannya.

" Mas, tolong bertahan untuk Mba Nadine "

" Bahkan istri yang saya tunggu cintanya pun ikut serta dalam kesengsaraan saya! jadi hidup saya ini untuk siapa?! bunda? ayah? semua penipu! PENIPU, ANJING " Sangkara menjambak rambutnya sendiri.

Keadaan kacau, semua berantakan. Sangkara kembali mengeluarkan air matanya, Aru mencoba melepas jambakan rambut Sangkara namun semua terlambat.

Sangkara tidak sadarkan diri dengan kepala yang penuh darah.

Aru begitu panik, yang ada di fikirannya adalah menghubungi ambulans dan membawa Sangkara kerumah sakit saat itu juga.

Hai, gimana kabarnya? maaf baru bisa update kembali. Ini update ku untuk kalian semua. Jika ada yang typo mohon dimaafkan. Bahagia selalu.

Maaf, Saya Lumpuh [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang