14

1K 60 11
                                    

Dirumah sakit, Sangkara di tangani. Bunda sudah mengetahui semuanya dari awal jauh sebelum Sangkara mengetahuinya.

Ia tentu tidak bisa marah pada menantunya. Keluarga Nadine begitu baik dengannya, bahkan dengan terang terangan Nadine mengakui kesalahannya.

Tetapi tidak dihadapan Sangkara. Mereka semua sengaja merahasiakannya dengan alasan mental Sangkara yang masih lemah.

Namun sepintar pintarnya menyembunyikan bangkai, baunya akan terdiam juga.

Saat selesai ditangani ayah dan Bunda Sangkara sudah boleh menemuinya. Keadaan terlihat cukup memprihatinkan.

Tangan di perban, mata sembab dan kepalanya yang merah akibat jambakkannya sendiri.

" Kara, mau minum? " Sangkara tidak menjawab.

Ia memalingkan wajahnya kearah lain. Sebelum itu, Sangkara sudah bangun dari pingsannya dan Bunda menceritakan semuanya.

Jika Bunda sudah tau apa yang terjadi, dan rahasia sebesar itu.

Kecewa? sungguh.

Ini bukan hal yang sepele. Rahasia sebesar inipun harus Sangkara tidak tahu? Sangkara tentu sangat kecewa.

Yang ada di fikirannya saat itu adalah, Aru.

Ya, hanya Aru yang bisa ia jadikan tempat mengadu setelah tahu Bunda dan Ayahnya ikut serta menyembunyikan rahasia ini.

" Kara, maafin Bunda ya nak? "

Sangkara menyingkirkan tangan bundanya yang mengelus kepalanya. Semarah itu Sangkara sekarang.

" Sangkara, ayah dan Bunda ada alasan untuk itu semua, " ucap ayah.

" Sangkara mau sendiri, " ucapnya.

Terpaksa keduanya harus keluar dari ruang inap milik Sangkara.

Tangisnya kembali pecah begitu pintu sudah tertutup kembali. Sangkara menepuk-tepuk dadanya. Terlalu sesak rasanya.

Satu satunya yang bisa ia lakukan adalah mengambil handphonenya dan menelfon seseorang.

" Kenapa mas? "

" Aru, saya gagal "

" Maksudnya? "

Tidak ada jawaban dari Sangkara. Sementara di sana, ditempat Aru berada. Ia mengkhawatirkan keadaan majikannya itu.

Dengan cepat Aru mendapat informasi dan lokasi Sangkara berada sekarang. Dari Bunda Sangkara tentunya.

Tidak lama, Aru datang dan menyalimi keduanya.

" Kenapa dengan Sangkara? " tanya Aru saat melihat Bunda menangis terduduk dengan ayah disampingnya.

Melihat pandangan ayah Sangkara yang mengarah ke pintu dimana disitu Sangkara di rawat. Tanpa babibu Aru membuka pintu itu dan melihat keadaan kacau Sangkara.

" Mas Sangkara, ini saya Aru. " Sangkara menengok kearah sumber suara itu.

" Aru, saya gagal "

Aru menghampiri lebih dekat. Mata Sangkara sembab dan merah, terbukti ia sudah lama menangis.

" Ada apa? "

Sangkara bahkan tidak mampu mengeluarkan kata-kata lain selain gagal gagal dan gagal. Aru mencoba menenangkan Sangkara.

Melihatnya menangis sampai tersedu sedu seperti itu membuatnya merasakan sesak.

" Pelan-pelan mas ceritanya, "

Sangkara menceritakan semuanya pada Aru, dari awal hingga akhir.

Aru terkejut? tentu.

Bahkan ia tidak pernah berfikir sejauh itu.

" Lantas untuk apa saya sembuh jika yang membuat saya sakit pun adalah orang yang selama ini saya sayang? "

" Kenapa bicara seperti itu? mas pantas untuk sembuh, "

" Kenapa harus saya? " tanyanya kembali.

" Kenapa harus saya. " Sangkara menutup matanya dengan telapak tangannya. Bisa di tebak jika Sangkara kembali menangis.

Aru menghapus air mata Sangkara, menggenggam tangannya yang terasa dingin.

" Ini salah satu dari sekian banyaknya cobaan yang udah mas Sangkara lewati, mungkin ini adalah puncaknya. Setelah ini pasti akan ada kebahagiaan, mas harus percaya itu, "

" Mas ingat kan omongan saya waktu itu? Tuhan gak mungkin bawa mas sejauh ini hanya untuk gagal. Tolong itu diingat, saya tau mas Sangkara pasti merasa lelah, ingin menyerah tapi sekali lagi ingat perkataan saya, "

" Saya disini untuk mas Sangkara, membantu dan menemani. Adanya saya disini untuk itu, apa mas tega melihat saya yang susah payah, melihat mbak Nadine yang sudah mengorbankan waktunya untuk kamu tapi mas sendiri menyerah, "

" Kalau mas Sangkara sayang dan cinta sama mbak Nadine, jangan pernah menyerah, ya? "

" Mas mau apa? " tanya Aru melihat Sangkara termenung.

" Saya gak mau apa-apa, "

Aru membiarkan Sangkara melamun, memberinya waktu untuk dirinya sendiri. Sampai setelah dilihat, mata itu sudah terpejam.

Aru membenarkan posisi kepala Sangkara, menyempurnakan selimut yang menutupi tubuh Sangkara.

Setelah semuanya selesai, Aru keluar dari ruangan.

" Sangkara sudah tidur, dibiarin aja "

" Kamu tolong ya jaga Sangkara sampai ada informasi kalau Sangkara boleh pulang, mungkin besok. " Aru mengangguk mendengar perintah dari ayah Sangkara.

🛶

Nadine sudah mengetahui semuanya. Semuanya. Dengan tergesa-gesa Nadine berjalan di lorong yang penuh ruangan itu.

Setelah mencari dan mencari, akhirnya ketemu dengan ruangan dimana Sangkara dirawat. Didepan ruangan hanya ada Aru.

" Aru, Sangkara dimana? "

Aru mendongakkan kepalanya, mengubah atensinya pada perempuan didepannya.

" Didalam, kalau mau masuk dipersilakan tapi jangan di ganggu karena mas Sangkara belum lama tidur, " perintah Aru.

Nadine langsung membuka pintunya dan masuk kedalam ruangan bernuansa putih itu. Melihat keadaan suaminya yang terlihat kacau.

Rasa bersalah kembali menghantui. Kata andai terus bermunculan dikepalanya, berandai andai kalau saja tidak bertelfonan mungkin Sangkara tidak akan seperti ini.

Nadine mendekat dan duduk di sebelah ranjang Sangkara. Wajahnya terlihat sendu, nafasnya beratur, tangan dengan infus.

Sangkara seperti ini karenanya, karena istrinya sendiri. Terus mengucap maaf, namun Nadine tahu Sangkara tidak bisa mendengarnya. 

Mungkin setelah ini pun, Sangkara enggan untuk melihat wajah Nadine. Ia tidak mampu jika Sangkara akan bersikap asing padanya nantinya.

Nadine menidurkan kepalanya di atas ranjang milik Sangkara. Dan tidak sadar kalau ia sudah tertidur sambil menggenggam tangan Sangkara.

Update kembali sebagai permintaan maaf karena jarang sekali update. Sekiranya ada yang typo mohon dimaafkan. Bahagia selalu.

Maaf, Saya Lumpuh [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang