13

959 49 3
                                    

Sangkara hanya terdiam, memandang istrinya yang menundukkan kepalanya. Rasa kecewa kembali muncul. lagi dan lagi.

" Gih pergi, tadi mau kekantor kan? " Sangkara mengusap kepala Nadine dan mengecupnya.

" Saya masih mau meneruskan pekerjaan saya juga, kamu bisa pergi sekarang. " Nadine menggeleng lalu isak tangis mulai terdengar.

Sangkara mengusap kasar wajahnya.

" Selalu kayak gini ya, kamu yang mulai, kamu yang nangis. Saya gak tau apa yang kamu tangisi, harusnya yang nangis dan merasa sakit hati itu saya. Kalau dari awal tau kamu gampang nangis, jangan mulai perdebatan, "

" Saya masih banyak urusan, kamu bisa minta peluk ke temen atau pacar kamu itu. " Sangkara pergi dari hadapan Nadine.

Nadine kembali menangis, ucapan Sangkara cukup membuatnya tersadar dan tertampar.

Karena lelah menangis, Nadine pun tertidur diatas kasur dengan mata sembabnya.

Sangkara kembali masuk dengan secangkir kopi yang ada ditangannya. Sangkara menemukan istrinya tertidur.

Ia meraba kening Nadine dan terasa jika tubuh wanita itu hangat. Sangkara mengambil kompres dan menempelkannya pada kening Nadine.

" Mau sampai kapan ini berlangsung? " monolognya dalam hati.

🛶

Seminggu setelahnya, Nadine lebih sering berada dirumah. Aru sudah kembali bekerja namun hanya sampai sore, tidak sampai malam seperti yang lalu.

Sangkara juga masih teratur untuk terapinya. Walaupun masih belum ada perkembangan yang pesat.

Mungkin karena efek dari kecelakaan bulan lalu. Sangkara melihat perubahan Nadine, tidak seperti yang biasanya.

Nadine yang biasa cuek menjadi sedikit perhatian. Sangkara menyukai itu, namun tetap saja ada rasa takut.

Takut ini hanya berlaku sementara, Nadine pun sepertinya mulai jarang keluar rumah untuk menemui pacarnya.

" Udah waktunya makan siang, " ucap Aru.

Sangkara membuyarkan lamunannya, ia pergi ke meja makan. Tak lama di susul oleh Nadine dengan handphone di tangannya.

Keduanya makan dengan keadaan hening. Aru tidak ikut makan karena biasanya memang tidak gabung.

" Mbak saya nanti sore mau pergi, tolong gosokin baju saya ya. " Aru mengangguk.

" Mau pergi kemana? " tanya Sangkara.

" Nemenin Mas Putra untuk ketemu client nya. " Sangkara mengangguk mengerti.

Ditengah tengah makan, handphone Nadine berbunyi. Ia pergi dari meja makan dan beralih ke dalam kamar.

Cukup lama Nadine berbincang dengan seseorang di sebrang sana. Sampai Sangkara sudah selesai makan Nadine belum juga selesai telfonan.

Baru hendak membuka pintu kamar namun perkataan di dalam sana membuatnya menunda niatnya.

" Jadi lo nikah sama dia karena ngerasa bersalah? "

" Ya gitu deh, gua juga sebenernya gak mau nikah sama dia, tapi ya gimana "

" Terus hubungan ini mau dibawa kemana? "

" Gua juga bingung "

" Tapi emang lo gak merasa bersalah? lo, loh yang buat dia sampai jadi kayak gitu "

" Waktu itu gua mabuk, Sa. Gua gak sadar ada orang lagi nyebrang "

" Terus kapan mau lo kasih tau dia? "

" Susah buat jujur, lagipun gak ada dia pun gua masih ada Putra "

Perbincangan selesai setelah 15 menit Sangkara menguping. Terkejut? tentu. Sangkara tidak pernah menyangka jika yang membuatnya seperti ini adalah istrinya sendiri.

Flashback on

Waktu itu pukul 23:30 Nadine sedang mengendarai mobilnya seorang diri dengan keadaan buruk, ia sedang mabuk.

Di pertengahan jalan, kepalanya terasa makin pusing. Tak sadar, ada laki-laki dengan tas kerja di tangannya menyebrang.

Dan kejadian itu terjadi, laki-laki itu tergeletak tak berdaya dengan kakinya yang terlindas ban mobil Nadine.

Nadine yang panik langsung meninggalkan tkp dan membiarkan korban itu merintih kesakitan sambil memegangi kakinya.

Dan laki laki itu adalah Sangkara. Karena kejadian itu Sangkara harus kehilangan banyak pekerjaannya, dan hanya bisa membantu bisnis ayahnya saja.

Sangkara begitu terpuruk begitu mengetahui kakinya lumpuh. Ia sempat mengalami depresi, tidak ingin makan, tidak ingin keluar kamar dan lainnya.

Flashback off

Sangkara pergi dari kamar itu menuju ke taman belakang rumah. Sangkara hanya mampu tersenyum miris.

Sore pun tiba, dan Nadine sudah pergi menemani pacarnya Putra. Aru pun sudah pulang dan tersisa Sangkara sendiri didalam kamar.

" Kenapa harus saya, Tuhan? "

Sungguh, Sangkara masih tidak bisa menerima semua fakta semenyakitkan ini. Sangkara merasa hidupnya tidak adil.

Penuh emosi didalam hati dan jiwanya, ia memukul tembok kamar bagaikan samsak. Tidak peduli tangannya yang sudah berdarah darah.

Menjambak rambutnya, membanting semua barang yang ada disana. Hingga bingkai dengan foto pernikahan Nadine dan Sangkara.

Karena merasa tubuhnya tidak kuat lagi, Sangkara mengambil obat didalam lacinya. Obat itu bukan obat dari dokter melainkan dari seseorang.

Obat itu berfungsi untuk menenangkan pemakainya. Dan itu terbukti oleh Sangkara.

Saat setengah sadar, Sangkara melihat pintu kamar sudah di dobrak. Hanya sesaat ia melihat, ayah dan bundanya sudah berada di hadapannya.

Kacau, semua kacau.

Bunda langsung menghampiri Sangkara, memeluknya seerat mungkin dengan air matanya yang mengalir deras.

" Kenapa harus Kara, Bunda? "

Setelahnya, Sangkara pingsan dan ia sudah tidak mengingat apa apa lagi.

Hai, maaf banget baru bisa update lagi. Maklum sekolah udah mulai lagi. Kalau ada kosakata yang salah dan ada typo yang parah mohon dimaafkan. Bahagia selalu.


Maaf, Saya Lumpuh [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang