20

844 40 3
                                    

Suara hujan membangunkan Nadine dari tidur lelapnya. Satu-dua tetes mulai membasahi jendela kamarnya yang tak tertutup gorden.

Ia melihat ke samping dan menemui Sangkara masih terlelap, matanya tertutup begitu rapat seolah tak ada niatan untuk bangun lebih pagi.

Hawa dingin mulai menusuk kulit Nadine yang memakai baju tanpa lengan. Nadine rapatkan kembali selimut yang membungkus dirinya.

Aksinya berhenti tatkala dirinya tersipu dengan ketampanan Sangkara. Ke mana saja dirinya?

Tangannya terulur, mengelus pipi putih itu, mata dan berhenti di bibirnya yang berwarna merah jambu. Kecupan hangat menyapa bibirnya.

Air mata turun begitu saja. Nadine terisak, tersadar sejahat itu dirinya dahulu. Mata Sangkara perlahan terbuka dan menampilkan Nadine yang terisak, air matanya tak berhenti turun.

" Kenapa? " Tanyanya lirih. Nadine menghapus air matanya dan mencoba tersenyum. Ia mengusap pelan mata Sangkara yang baru saja terbuka.

" Enggak, kamu tidur lagi aja. " Nadine menyelimuti tubuh Sangkara. Bukannya menutup matanya kembali, Sangkara memberi tatapan skeptis pada Nadine.

Sangkara merapatkan tubuhnya pada Nadine. Mengelus punggung Nadine, mengecup pipinya berulang kali.

" Aku mau mandi, " ungkapnya.

Nadine dengan gesit membantu Sangkara bangun dan membantunya untuk duduk di kursi rodanya. Sangkara masuk ke dalam kamar mandi.

Tak lama Sangkara keluar dengan handuk di rambutnya. Nadine sudah mencuci mukanya.

" Biar aku yang keringin, " pinta Nadine. Sangkara memberi handuknya.

Nadine mulai mengeringkan rambut Sangkara yang masih basah, " Kamu wangi. " Nadine tersenyum.

Dengan jarak gapai yang sedikit. Sangkara mencoba mengambil lipbam atau apapun itu dari nakas. Ia memakaikan nya pada bibir Nadine.

" Biarkan saya menyempurnakan semuanya dengan semua cinta, " ujarnya. Nadine menelan salivanya

" Mas, boleh aku yang mulai? " Sangkara tersenyum kemenangan. Pagi itu mereka merasakan surga yang tak lama dirasa.

...

Dengan nafas tersengal-sengal, Sangkara memberi tatapan lembutnya pada Nadine, " Sakit gak? " Nadine menggeleng ketika Sangkara mengelus perutnya.

" Mas, aku mau memperbaiki semuanya. " Sangkara mengangguk menahan senyumnya.

" Saya izinkan, saya maafkan luka yang kamu torehkan sama saya, "

Kehangatan kembali menyapa keduanya. Bak anak remaja yang baru jatuh cinta mungkin itu yang mereka rasakan saat ini. Membangun cinta memang mudah namun tak tahu bagaimana bertahannya.

Sarapan di meja sudah siap. Aru hari ini tidak datang, Nadine menyuapi Sangkara dengan perlahan. Mereka hanya sarapan nasi goreng buatan Nadine yang sedikit asin.

Ekspresi Sangkara tak bisa ditipu tapi sebisa mungkin ia menutupinya.

" Asin, ya? " Dengan cepat Sangkara menggeleng. Ia mengelus pipi Nadine agar tak cemberut.

" Memang belum sempurna tapi bisa diperbaiki. " Sangkara tersenyum dan meyakinkan Nadine.

Selesai sarapan dan drama keasinan. Sangkara membantu Nadine mengerjakan pekerjaannya. Sangkara beberapa kali mengoreksi tatkala Nadine ralat dan lainnya.

" Aku capek, mas. " Ngeluhnya.

Sangkara mengelus rambut Nadine yang bersandar di pundaknya. Tangannya pegal, kepalanya panas, otaknya mungkin juga ingin meledak.

" Rasanya jari aku mau lepas, " katanya sedikit hiperbolis. Sangkara memijit pelan jari-jari Nadine.

Nadine membawa dirinya lebih dalam ke pelukan Sangkara. Tubuhnya hangat, walau cuaca sedang dingin. Sangkara menepuk pelan bokong Nadine.

" Kalau aku masih jahat sama kamu, apa kamu masih mau sama aku? " Sangkara tersenyum menanggapi pertanyaan Nadine.

" Mas, kamu pantas dapat yang lebih baik dari aku. Kita menikah hanya karena paksaan, aku gak bisa yakin kalau kamu udah cinta aku segitu dalamnya. Bukan meragukan tapi, aku juga gak yakin kalau harus jatuh begitu dalam. "

" Kamu meragukan? " praktis Nadine terduduk dan pandangannya bertemu dengan mata berwarna hitam itu.

" Bukan mas, tapi aku cuman takut kalau aku ini jatuh cinta sendirian. Dan sering aku berfikir kalau kamu lebih pantas sama yang lain, yang bisa cinta sepenuhnya sama kamu, yang gak nyakitin hati kamu, yang– "

" Yang apa lagi? Dengan ucapan kamu, mas malah jadi ragu dengan cinta kamu. Kalau memang kamu sudah cinta sama saya, gak sepantasnya kamu berbicara seperti itu. Kamu meragukan saya, saya juga jadi ragu sama kamu. Kalau saya mau saya bisa sama yang lain, tapi saya gak mau. Kamu sebenernya serius gak cinta sama saya? "

Tatapannya tampak menajam, penuh keraguan di dalamnya. Nadine merapatkan bibirnya. Sangkara menghela nafas kasar. Ia berbalik dan pergi dari kamar, tangannya sudah memegang knop pintu.

" Yakini lagi kalau memang kamu sudah cinta sama saya, setelahnya saya yang coba untuk percaya. Kalau memang gak yakin, saya yang pertama untuk hapus semua rasa saya ini. " decitan pintu tertutup menyelesaikan kalimat Sangkara dan memulai air mata yang turun tanpa aba-aba.

Bukan ini yang dimaksud. Nadine hanya takut jika ia jatuh cinta sendiri. Yang padahal Nadine sudah merasakan cinta Sangkara penuh kesadaran.

Tak.ada yang kurang. Semua terasa manis. Lalu apalagi yang masih harus diragukan? Cintanya terasa, sentuhannya dan rasa hangat itu yang meyakinkan kalau Sangkara memang cinta padanya.

Ia juga sama. Cinta ini tumbuh begitu saja dari rasa bersalah dan rasa ingin memiliki. Nadine menjambak rambutnya, bodoh.


Update lagi. Kalau ada yang typo mohon dimaafkan. Bahagia selalu.

Maaf, Saya Lumpuh [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang