06

1.2K 53 7
                                    

Semenjak kejadian seminggu lalu, hubungan Sangkara dan Nadine makin merenggang. Nadind sering pulang malam dari kantor.

Sedangkan Sangkara hanya begitu-begitu saja dirumah, ditemani Mbak Aru. Bahkan mereka bertemu ketika pagi saat sarapan dan malam saat hendak tidur.

Inikah rumah tangga sebenarnya?

Bahkan di hari minggu seperti ini Nadine masih sibuk dengan laptopnya. Sangkara berada di taman dengan mbak Aru sedang menikmati angin pagi yang berhembus.

Mereka sesekali berbincang, entah apa yang di perbincangkan. Nadine melihat itu dari kaca jendela kamarnya.

Entah mengapa rasa sesak datang dari dadanya. Satu notifikasi membuyarkan lamunan Nadine.

Mas Putra

| Hari ini jadi kan?
| Saya tunggu kamu di Cafe ya

Baiklah, Nadine beranjak dari kasur lalu mulai menyiapkan diri untuk bertemu dengan Putra yang berada di notifikasi handphonenya.

Selesai bersiap Nadine pamit dengan mbak Aru karena Sangkara sedang berada di kamar mandi.

Nadine membawa motor kesayangannya untuk sampai ke cafe. Namun sial kembali terjadi di hari minggu ini.

Nadine mengalami kecelakaan karena ingin menghindar dari kucing yang menyebrang. Nadine terjatuh, tangan dan kakinya lecet.

Ia sudah di bawa kerumah sakit. Tahu kabar Nadine tidak baik, Sangkara dan Mbak Aru bergegas kerumah sakit.

Sampai disana ia melihat keadaan Nadine yang cukup memprihatinkan. Tangan dan kakinya penuh balutan kain putih sedangkan wajahnya yang ada plaster di tulang pipinya.

Sangkara menghampiri Nadine namun bersamaan dengan satu laki-laki yang baru saja datang. Laki-laki itu tinggi dan terlihat begitu berwibawa.

" Nadine, gimana bisa kamu kayak gini? " tanya laki-laki bernama Putra.

" Ada kucing nyebrang dan aku berusaha menghindar tapi sial aku malah jatuh, " jelasnya. Sangkara memperhatikan dari jauh

Sadar ada satu manusia lagi di dalam ruangan itu. Putra berbalik menatap Sangkara.

" Ini siapa kamu? "

" Say- "

" Temennya temen aku, " elak Nadine.

Seperti di hantam ribuan batu, dada Sangkara terasa sakit sekali mendengar pernyataan dari Nadine. Dengan rasa sesak di dadanya, Sangkara keluar dari ruangan tanpa mengucapkan apapun.

Ia menghampiri mbak Aru yang sedang bermain handphone.

" Aru, saya mau pulang saja, " pinta Sangkara.

Mbak Aru menatap bingung lalu melirik ke ruangan Nadine dan menemui laki-laki disana. Memang Mbak Aru sudah melihat laki-laki yang tanpa babibu langsung masuk kedalam ruangan Nadine.

Mbak Aru mendorong kursi roda Sangkara menuju pintu keluar rumah sakit ini. Mbak Aru tidak langsung membawa pulang Sangkara.

Ia membawa Sangkara ke taman sejenak.

" Saya gak tau apa-apa tentang pernikahan mas Sangkara dan Mbak Nadine, dan saya gak akan pernah mau ikut campur. " Mbak Aru menghela nafas sejenak.

" Tapi mas, jangan pernah melampiaskan amarah dengannya menyakiti diri sendiri. Saya khawatir terapi yang mas jalani akan jadi terlambat akibat stress yang berkelanjutan, "

" Mas sudah janji kan untuk terus berjuang? dan setelah sembuh mau bawa mbak Nadine jalan-jalan menggunakan sepeda? "

" Tolong jangan pernah sakitin diri sendiri. Nangis kalau mau menangis, jangan pernah takut untuk terlihat lemah. Menangis itu salah satu cara meluapkan emosi paling mudah, tapi maaf saya gak bisa jadikan pundak saya sebagai sandaran mas sangkara saat mas Sangkara menangis, "

Maaf, Saya Lumpuh [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang