Keesokan harinya, Aru kembali datang ke rumah Sangkara. Baru menginjakkan kakinya ke teras rumah, Aru sudah merasa kesunyian. Seperti tak ada orang di dalam.
Aru membuka pintu yang terkunci dan melihat ruang tamu begitu sepi. Aru kembali masuk ke dalam, perlahan Aru buka pintu kamar Sangkara.
Aru melihat Sangkara yang masih tertidur lelap dengan selimut yang masih melekat di tubuhnya. Aru memutuskan untuk ke dapur membuat sarapan.
Aru mengambil satu lembar roti dan ia panggang di pemanggang roti. Sambil menunggu roti itu siap, Aru cari bahan makanan lain yang ada di kulkas.
Namun hasilnya nihil. Tak ada yang bisa Aru masak hari ini. Ia juga tidak tahu keberadaan Nadine di mana, yang Aru lihat hanya ada Sangkara di rumah ini.
Setelah roti matang, Aru meneruskan kegiatannya dengan mengoleskan selai pada roti tersebut. Aru terkejut ketika ada seseorang memanggil namanya.
Aru menoleh ke belakang dan melihat Sangkara di atas kursi roda yang sedang mengucek matanya pertanda dirinya baru bangun dari tidur lelapnya.
Sangkara mendekat ke arah Aru. " Saya kesepian, " adunya. Aru hanya tersenyum sambil membasahi handuk kecil untuk Sangkara.
Aru peras handuk itu dan ia usapkan ke wajah Sangkara. Ay juga mengelap tangan Sangkara. " Sekarang ada saya, jadi mas gak kesepian lagi. " Sangkara mengangguk dan memperlihatkan senyumnya.
Aru menyuruh Sangkara untuk memakan sarapannya. Aru beri satu piring berisi roti yang tadi ia panggang ke Sangkara.
Sangkara memilih untuk makan di ruang tengah sambil menonton televisi. Aru ikut duduk di atas sofa sambil menonton tayangan yang sedang tayang di televisi.
" Nanti saya mau belanja ke supermarket. Mas mau ikut atau di rumah aja? " Sangkara mengangguk setuju.
Saat sedang asik menonton film, pintu di buka dan memperlihatkan Bunda dan Nadine yang masuk ke dalam. Aru pun berdiri dan mengambil alih plastik yang dibawa Bunda dan menaruhnya di belakang.
" Gimana? Tidurnya nyenyak? " tanya Bunda. Sangkara tak menjawab dan ia juga tak menolak ketika Bunda mengelus rambutnya.
Sangkara taruh piring bekas makanannya di atas meja. Ia ambil air putih yang sudah disajikan oleh Aru tadi.
" Bahan makanan habis ya? " tanya Nadine pada Aru.
" Iya mbak, nanti saya mau belanja. "
" Gak usah. Saya aja, " Aru hanya bisa mengangguk tak protes.
Aru kembali pada pekerjaannya yang sedang mencuci piring bekas kemarin.
" Bun, aku mau belanja bahan makanan ke supermarket depan. Mas mau ikut gak? " Sangkara menoleh sejenak, bukankah Aru yang akan belanja?
" Mbak Aru harus beresin dapur, mas mau ikut apa nggak? " tawar Nadine yang terdengar terakhir. Sangkara akhirnya setuju. Lagipun ke supermarket tidak begitu jauh dari rumahnya. Sekarang juga masih pagi, jalanan masih sepi.
Nadine pun mendorong kursi roda Sangkara setelah pamit pada Bunda untuk ke supermarket. Mereka sedang menikmati sejuknya angin pagi ini.
Tak lama berjalan mereka sampai di supermarket tersebut. Nadine masih mendorong kursi roda Sangkara pun memilih bahan makanan yang hendak ia beli.
Seperti biasa paha Sangkara akan ditaruh keranjang. Sangkara juga tak keberatan akan hal itu. Nadine pun selesai berbelanja dan mereka menuju ke kasir.
" Totalnya jadi 220 ribu, mau cash atau debit? "
" Cash "
" Debit "
Sangkara mengeluarkan kartu debitnya sedangkan Nadine mengeluarkan uangnya.
" Pakai debit aja. " Kasir itu pun mengambil kartu debit Sangkara. Nadine hanya pasrah dan memasukkan kembali uangnya ke dalam dompet.
Mereka pun keluar dari supermarket dan menuju ke taman sejenak. Nadine ingin menikmati angin bercampur bau rumput di sini.
" Mas mau eskrim gak? " tawar Nadine ketika melihat tukang eskrim lewat. Sangkara mengangguk.
Sangkara menerima eskrim rasa vanilla itu. Sangkara mulai menikmatinya.
" Mas, kapan mulai terapi lagi? " tanya Nadine.
" Besok. " Nadine mengangguk. " Aku mau temenin, kamu mau gak? "
" Gak nolak. "
Mereka pun duduk di kursi taman di bawah pohon besar yang menutupi sinar matahari yang mulai naik. Taman sangat sepi bahkan hanya ada mereka berdua di sini.
Nadine mengambil satu cemilan yang ia beli tadi. Nadine mulai menyantapnya.
" Mau gak? " Sangkara mengambil satu cemilan singkong itu dan memakannya.
" Itu bibir kamu, " ucap Sangkara.
" Kenapa? "
" Kotor. " Nadine pun mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Eskrim vanilla nya berantakan ke mana-mana.
Sangkara pun mengelap sudut bibir Nadine dengan tangannya. Nadine diam tak berkutik, ia merasakan hal yang seperti sudah asing.
" Nadine. "
Nadine membuyarkan lamunannya. " Kenapa mas? " tanya Nadine.
" Saya— " Sangkara memutus ucapannya.
" Iya mas, aku izinkan. "
Perlahan bibir mereka bertemu. Hal yang sudah lama tak mereka rasakan kembali terjadi di bawah pohon besar dengan suasana sepi di taman.
Nadine membalas pangutan itu. Rasa vanilla begitu dominan.
" Saya cinta sama kamu, Nadine. " ucap Sangkara setelah melepas ciuman singkat itu.
" Mas, aku— "
" Saya paham. Gak usah sekarang, saya masih tunggu kamu sampai kamu mau. "
Hai update lagi. Ini kan yang kalian mau? Haha. Sori kalau ada yang typo. Bahagia selalu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf, Saya Lumpuh [ ON GOING ]
Novela Juvenil" Kamu kenapa sih! Kamu marah karena perkataan aku? Bukannya itu semua fakta? Terus kenapa kamu harus marah? " " Iya Nadine, iya! " " Kalau kamu tau itu fakta, kenapa masih maksa saya untuk kerumah sakit untuk hal yang sia sia, saya gak akan pernah...