Nadine berjalan cepat ke arah pintu rumah saat mendengar suara ketukan dari luar. Saat dibuka terlihat laki-laki, berdiri tegak dengan baju kantornya.
" Mas Putra? Kamu mau apa ke sini? " Nadine menoleh ke kanan dan kiri melihat situasi.
" Saya mau minta maaf, saya mau kembali sama kamu. " senyum sinis terlukis di bibir Nadine.Tanganya ia silangkan di depan dada.
" Semua terlambat, " ujarnya.
Putra memegang tangan Nadine. Pergelangannya dipegang kuat. Nadine mencoba untuk melepasnya namun apa daya tenaganya jauh di bawah rata-rata.
" Mau kamu apa, sih?! "
" Siapa? " Sangkara datang dan melihat Nadine yang sedang berseteru dengan ' mantan pacar ' sang istri.
Putra mengerutkan dahinya, tak paham akan situasi yang berada di depannya. Laki-laki yang pernah ia lihat sebelumnya berada di depannya dengan kursi roda.
" Dia siapa? Ini rumah kamu, kan? " Nadine terdiam. Dalam situasi seperti ini Nadine susah untuk menjelaskan semuanya dalam satu waktu. Lidahnya keluh.
" Saya suaminya. " sela Sangkara. Ia menarik tangan Nadine agar menjauh.
Putra yang tak percaya hanya bisa diam tanpa berkutik, " Ini apa maksudnya? Waktu itu kamu bilang- "
" Itu dulu, saya suami sahnya. " potong Sangkara.
Putra menampilkan senyum remehnya. Dengan jari telunjuknya ia menunjuk Sangkara setelahnya ke arah Nadine.
" Laki-laki cacat kayak gini, kamu jadikan suami? Kamu buta, Nadine? Saya yang lebih pantas, kamu berhak mendapat yang lebih baik dari dia. Apa kamu bahagia? Apa kamu cinta? "
Satu tamparan menyapa pipi Putra. Nafasnya tersengal, darahnya mendesir, emosinya memuncak. Nadine menarik kerah kemeja Putra.
" IYA! DIA CACAT TAPI MULUTNYA GAK CACAT KAYAK MULUT KAMU, MAS! " Air matanya lolos begitu saja.
Putra menyeka darah yang berada di ujung bibirnya. Senyum remehnya tak pudar, " Kamu cinta sama dia? " hening.
" Kamu bahkan gak bisa jawab, "
" Aku cinta sama dia. " selanya dengan cepat.
Tangan lembut Sangkara menarik Nadine untuk masuk.
" Kita udah selesai, mas! " Dengan cepat Nadine banting pintu kayu itu. Tangisnya tak berhenti.
Dadanya sesak, hinaan Putra pada Sangkara begitu membekas di hatinya.
" Kamu kenapa, sih, gak bela aku? Kamu gak menyangkal semuanya? " Sangkara tersenyum lembut. Mampu membuat Nadine menghentikan tangisnya.
" Menyangkal, ya? Buat apa? Nyata memang gini. " ujarnya.
Nadine menyeka air mata yang tersisa di pipinya. Tangannya terulur menarik tangan Sangkara dan menggenggamnya.
" Tanya sama hati kamu, sudah belum meyakinkan kalau kamu memang cinta sama saya? Sudah belum melepas ragunya? " Sangkara berucap sebelum Nadine membuka pembicaraan.
Nadine berlutut di hadapan Sangkara. Semuanya kacau, siapa yang salah entahlah.
" Harus aku buktikan dengan cara apa lagi kalau aku emang cinta sama kamu? Harus aku pakai cara apa lagi, mas? Harus selama apa lagi aku harus membuktikan? Aku minta maaf. " suaranya lirih.
" Cinta kamu gak terasa. " bak di tusuk belati yang begitu tajam, hati Nadine terasa begitu sakit. Tersadar dan menyesal, hanya itu yang ia rasakan.
Nadine berdiri dan membetulkan posisi rambutnya. Mengatur nafasnya yang tak stabil.
" Iya, memang belum. Aku harap kamu mau berjuang lagi buat pernikahan ini, maaf atas keraguan aku yang kurang ajar. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, aku udah gak ada hubungan apapun sama Putra. Aku mau pergi sebentar, mas. " Nadine membuka knop pintu, keluar dari rumah.
Ia hanya perlu udara segar. Matanya lelah menangis.
...
Nadine kembali saat sore sudah tiba. Saat sampai rumah ia nemuin Sangkara tertidur di atas kasur. Badannya hangat; sakit.
Nadine mengkompresnya dengan handuk hangat. Tangannya dingin, Nadine menyelimuti Sangkara sampai atas dada. Tangan mulusnya menyapa leher Sangkara, beralih pada pipinya.
" Mas, kalau gak sama kamu, aku gak tahu sejahat apa diri aku selama ini. " monolognya.
Nadine berjalan menjauh dari kasur. Ia hendak menyiapkan obat dan makan malam. Untuk Sangkara akan ia buatkan sup, sebisa mungkin Nadine belajar memasak.
Baru memotong wortel, ibu jarinya sudah berdarah akibat cara memotongnya yang salah. Nadine melanjutkan memasaknya sampai semua makanan tersaji.
Ditepuknya bahu Sangkara. Matanya terbuka dan Nadine membantu Sangkara untuk duduk. Nadine keluar sejenak dengan baskom bekas kompres tadi dan kembali dengan sepiring nasi dan semangkuk sup hangat.
Nadine menggeser bantal yang berada di depannya.
" Kamu demam. " ucapnya. Nadine mulai menyendokkan sesuap nasi ke arah Sangkara.
Selagi Sangkara mengunyah, Nadine meraba kening Sangkara dan merasakan bahwa suhu badannya sudah turun.
" Kenapa? " Sangkara salah fokus pada jempol Nadine yang terperban.
" Luka kecil, " jawabnya.
Selepas makan, Nadine membersihkan semua bekas piring makan. Suasana hatinya belum sepenuhnya sembuh, namun kewajiban harus tetap berjalan.
" Nadine. " Nadine menoleh tatkala Sangkara memanggilnya, " Kenapa, mas? " Nadine mendekat padanya.
Sangkara menyuruhnya untuk duduk di sampingnya. Nadine duduk di samping Sangkara, menunggu Sangkara berbicara.
Namun tak ada tanda-tanda hendak bersuara, Nadine akhirnya menengadah dan melihat mata Sangkara yang memperhatikan dirinya.
" Saya minta maaf, " ucapnya. Nadine mengerutkan dahinya, merasa heran dengan Sangkara, " Kenapa? " tanyanya.
" Ucapan saya buat kamu sakit hati dan gak seharusnya saya bicara seperti itu. Saya percaya kalau kamu sudah mau membangun cinta dengan saya. " Nadine menghela nafas.
" Mas, kamu rumah aku sekarang, kalau gak ke kamu, aku harus ke siapa? Lagipun aku maklum kalau kamu masih ragu karena sikap aku yang jahat sama kamu, gak perlu minta maaf, aku yang harusnya minta maaf. " Tangan Nadine digenggam.
" Tolong terus berada di samping saya, bantu saya untuk sembuh, bantu saya kalau saya kesusahan— " perlahan mendekat.
Nadine menahan tubuh Sangkara yang hendak menindih tubuhnya, " Bantu saya untuk mengatasi nafsu ini, " ujarnya.
Nadine mendorong tubuh Sangkara, " Kamu lagi sakit. " Ia menggeleng.
" Aku gak mau. " Sangkara menghela nafas pasrah, dengan nafas yang tak teratur ia mengangguk dan menidurkan tubuhnya membelakangi Nadine.
" Aku gak mau kalau kamu yang mimpin, aku ya? " Nadine menyeringai dan membelai lengan Sangkara.
Sangkara tersenyum kemenangan. Sore itu kembali terdengar suara cinta yang menyelimuti keduanya.
Hai, maaf baru bisa update. Jangan lupa votenya ya!!
Oh iya, kalian lebih suka banyak adegan romantis atau konflik?
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf, Saya Lumpuh [ ON GOING ]
Teen Fiction" Kamu kenapa sih! Kamu marah karena perkataan aku? Bukannya itu semua fakta? Terus kenapa kamu harus marah? " " Iya Nadine, iya! " " Kalau kamu tau itu fakta, kenapa masih maksa saya untuk kerumah sakit untuk hal yang sia sia, saya gak akan pernah...