19

1.1K 41 4
                                        

Sangkara memulai aktivitas saat Aru datang ke rumah. Nadine sedang berada di taman belakang; menyiram tanaman.

Sangkara menghampiri Aru yang masih berkutik dengan segala peralatan dapur. Sangkara memilih untuk menunggu di meja makan, ia belum meminum obat.

Aru yang menyadari ada Sangkara pun mempercepat proses masaknya agar Sangkara dapat pula meminum obat.

" Hari ini ada jadwal check-up, kan, mas? " Tanya Aru. Sangkara menganggk sambil menyeruput tehnya.

Dalam keheningan, Nadine masuk ke dalam dengan selang di tangannya, " Aku aja yang antar, Mbak. " Aru menoleh tatkala mendengar penuturan dari Nadine.

" Mas, mandi dulu. Setelah ini sarapan, " Sangkara nurut saja pada sang istri, lagipun ia juga harus bersih-bersih.

Nadine mendorong kursi rodanya menuju ke kamar mandi. Ia bawakan Sangkara perlengkapannya. Selepas mandi, Sangkara– dibantu Nadine– memakai bajunya.

" Gak usah disisir. " Sangkara menahan tangan Nadine yang hendak menyisirnya. " Berantakan. " ucapnya. Nadine menggunakan jari-jemarinya merapihkan rambut Sangkara.

Nadine juga memberikan polesan bibir pada bibir Sangkara. Sangkara hanya memperhatikan setiap inci wajah dari Nadine.

" Kita belum sarapan. " Nadine melihat jam yang bertengger di lengannya, " Kita bawa aja. " Sangkara mengangguk setuju. Tak ada waktu jika harus sarapan.

" Aru, tolong dibawa aja, ya, makanannya. " Aru mengangguk dan mulai menyiapkan bekalnya. Aru kembali dengan satu box di tangannya.

" Sudah dipesan, Mbak? " Nadine mengangguk.

Tak lama driver tiba. Nadine dibantu dengan sang sopir, membawa Sangkara masuk ke dalam. Nadine melipat kursi roda tersebut dan menaruhnya di bagasi.

Nadine membuka kotak bekal berisi nasi dan lauk pauk. Nadine mulai menyantap makanannya bergantian sambil menyuapi Sangkara.

" Kalau memang gak ada kemajuan, gimana? " Nadine lantas berhenti mengunyah, " Pasti ada. "

Tak lama mereka sampai di rumah sakit. Nadine mendorong kursi rodanya untuk masuk ke dalam rumah sakit.

" Jangan terlalu difikirin, semua itu proses. " Nadine mengusap dahi Sangkara dan mengelap keringat dinginnya itu.

Selama pengecekan, Nadine selalu berada di samping Sangkara. Selama terapi pun Nadine tetap mendampingi Sangkara.

" Sudah ada peningkatan, walaupun belum terlalu terlihat. Tapi kalau sering periksa, bisa dipastikan ini berjalan dengan cepat. Hanya perlu sabar dan usaha, datang lagi minggu depan. " Nadine mengangguk mendengar penuturan sang dokter.

Sangkara dan Nadine pun keluar dari ruangan, " Aku bilang apa, pasti ada. " Sangkara tersenyum mendengarnya.

Nadine pun membawa Sangkara berjalan-jalan menyusuri ramainya kota dan berhenti di salah satu kafe terdekat.

" Aku pesan dulu, ya. " Sangkara mengangguk.

Tak lama Nadine kembali dengan satu kertas di tangannya. Nadine mengeluarkan satu tisu basah dari tasnya dan mengelap tisu itu ke tangan Sangkara.

" Hubungan kamu sama pacar kamu gimana? " Nadine terdiam sejenak. Selanjutnya ia berdehem dan melirik ke arah Sangkara.

" Udah lama renggang, dia terlalu serius untuk aku yang masih mau bercanda. " Sangkara mengangguk paham. Selesai mengelap tangan Sangkara, pelayan datang membawa pesanan Nadine.

" Kamu gak benci sama aku? " Tanya Nadine terbata-bata. Sangkara hanya tersenyum setelah menyeruput segelas kopi yang ada di tangannya.

" Udah gak bisa, " ucapnya.

Sangkara mengelap sisa kopi yang berada di sudut bibirnya dengan punggung tangannya. Nadine terlihat sibuk dengan ponselnya.

Cukup lama berada di dalam kafe sampai akhirnya Nadine dan Sangkara memilih untuk keluar dan kembali berjalan-jalan.

...

Sore harinya, Sangkara dan Nadine baru menginjakkan kaki ke rumah. Melihat Aru yang sudah siap dengan tasnya hendak pulang.

" Saya pamit mas, mbak. " Nadine mengangguk. Aru melempar senyum ke arah mereka.

Nadine membantu Sangkara untuk duduk di atas kasur. Ia membantu Sangkara membuka sepatunya dan jaketnya.

" Mandi, mas. " Sangkara menggeleng.

" Saya masih malas, " Nadine berdecak kesal. Setelahnya Nadine keluar dan kembali dengan handuk kecil berwarna hijau di tangannya.

Nadine mendorong kursi roda Sangkara sedikit menjauh. Nadine membawa satu balkon berisi air hangat. Ia duduk di samping Sangkara yang sudah menggunakan celana sependek lutut.

Nadine membasahi handuk itu dan memerasnya, ia mengelap tubuh Sangkara perlahan-lahan. Wangi tubuh Sangkara membuat Nadine merasa terhipnotis. Bak aroma terapi yang membuat siapapun yang mencium pasti betah itulah wangi Sangkara.

" Saya ngantuk. " Nadine cepat menyelesaikan pekerjaannya. Tak lama selesai, Sangkara juga sudah mengganti bajunya.

Sangkara mengambil posisi tiduran dan menarik tangan Nadine untuk ikut tidur bersamanya. " Dingin, " Nadine menyelimuti tubuh Sangkara.

" Selamat tidur, mas. "





Huhu. Sorry guys baru bisa update. Kalau ada typo mohon dimaafkan. Bahagia selalu.

Maaf, Saya Lumpuh [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang