"Diam atau saya tembak!"
Suara itu seketika membuat tubuh Jantra membeku ditempatnya. Ia melihat melalui ekor matanya. Sosok yang memegang senjata itu adalah orang dengan seragam loreng cokelat dan hijau. Jantra paham jika orang itu bukanlah kawan melainkan lawan.
Jantra membulatkan matanya saat mendengar derap langkah kaki yang berjalan semakin dekat ke arahnya. Seketika ia memejamkan matanya.
Saya pasrahkan hidup saya hanya kepadaMu, batin Jantra.
"Bagaimana, apa ada titik terang tentsng pilot yang jatuh di sekitar tebing?"
Suara itu terdengar dari kejauhan. Jantra hanya bisa diam. Tidak melakukan pergerakan sama sekali. Kini ia hanya menatap tentara musuh yang sedang menodongkan senjata ke arahnya.
Mata tajam tentara itu seolah menghujam menatap Jantra dengan saksama. Ia tersenyum miring sebelum membuka dan mengaktifkan pelatuk senjatanya.
"Sersan, saya menunggu jawabanmu!" teriak orang itu lagi.
Tentara yang kini sedang bersama Jantra itu masih terus menatap Jantra dengan saksama.
"Tidak ada!" jawabnya singkat.
"Apa maksudmu tidak ada? Berikan jawaban yang benar!"
"Siap, tidak ada tanda-tanda pilot itu di sini, Letnan!" jawab tentara itu lantang.
Jantra hanya bisa diam sekaligus menatap heran. Tentara itu bisa saja menembak Jantra, ia juga bisa saja menangkap Jantra, tapi tentara itu lebih memilih melepaskan Jantra.
"Baik. Kita lanjutkan pencarian! Parasutnya ditemukan di atas pohon. Seharusnya dia tidak jauh dari sini!" ucap orang yang disapa letnan itu.
"Siap!"
Orang itu kembali mengunci pelatuk senjatanya sebelum akhirnya beradu pandang dengan Jantra.
"Kenapa kamu tidak bunuh saja saya sekarang?Saya sudah tertangkap basah," ucap Jantra tegas.
Tentara yang ternyata wanita itu pun mendengus, lalu tertawa.
"Saya bukan pengecut yang menghabisi lawan saat ia tidak berdaya. Lihat kondisimu!" Tentara wanita itu diam sejenak dan memindai keadaan Jantra dari ujung rambut hingga ujung kakinya.
"Kamu bahkan tidak bisa mengangkat tubuhmu sendiri. Jika saya tinggalkan, kamu juga akan mati dengan sendirinya. Yang penting saya tidak melanggar prinsip saya! Tidak membunuh musuh yang tidak berdaya."Tentara wanita itu menyimpan kembali senjatanya dan bersiap untuk pergi.
"Kamu tidak takut jika saya menembakmu?"
"Untuk apa takut? Untuk mengangkat senjata saja kamu tidak mampu."
Tentara wanita itu berbalik arah. Ia berjalan meninggalkan Jantra sendirian di tengah hutan belantara itu. Namun, tak lama, langkah tentara wanita itu terhenti.
"Terima kasih."
Suara Jantra terdengar lirih.
Tentara wanita itu mendengus, lalu tertawa.
"Kau berterimakasih pada musuhmu? Apa saya tidak salah dengar?" cibirnya meremehkan.
"Paling tidak, kamu sudah memperpanjang umur saya walau hanya beberapa menit."
Tentara wanita itu membalikkan tubuhnya ia menatap Jantra sekali lagi. Ia tahu, kondisi Jantra tidak sedang baik-baik saja. Wajahnya mulai pucat dan bibirnya membiru. Sepertinya, kondisi Jantra mulai menurun karena banyaknya darah yang keluar dari lukanya. Tubuh Jantra kian melemah. Napasnya pun mulai terasa berat dan perlahan kedua mata Jantra pun terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAYAP GARUDA
General FictionDeclaimer : Cerita ini hanya fiktif belaka, nama tokoh, tempat, karakter tokoh, latar, serta alur dalam cerita ini dibuat berdasarkan imajinasi penulis. Mohon maaf jika terjadi ketidakcocokan dan ketidaksesuaian di dunia nyata. Pulau Andaan adalah...