Ragu

268 43 5
                                    

Hana menyeret tubuh Jantra. Walaupun terlihat sedikit keberatan, tapi gadis itu berhasil membawa Jantra semakin dekat dengan pangkalan militer yang menjadi markas Republik Vessel di Pulau Andaan.

Hana bersembunyi sejenak. Ia menatap Jantra yang tampak semakin lemah. Wajahnya terlihat sangat pucat. Untuk membuka matanya saja, pria itu tampak kesulitan. Sayup-sayup Hana mendengat Jantra mengigau. Menyebut nama seseorang dengan suara yang sangat lirih.

Hana kembali menatap sekelilingnya. Namun, langkahnya terhenti saat melihat seluruh pasukan di Markas militer itu berbaris rapi di lapangan seperti sedang menyambut seseorang yang penting.

Panglima! Batin Hana.

Panglima militer Republik Vessel terkenal dengan kekejamannya. Ia tidak segan membunuh orang-orang yang dirasa akan menghalangi dirinya dan negaranya. Hana segera menatap Jantra yang kini sudah tidak sadarkan diri itu.

Panglima bisa saja membunuhnya, batin Hana.

Langkah gila pun diambil oleh gadis itu. Dia meletakkan Jantra ke atas punggungnya. Ia membawa Jantra di punggungnya dan berlari menjauhi markas militer itu. Ia menembus ilalang-ilalang di malam hari yang mulai pekat karena kabut itu.

Tidak akan aku biarkan orang lain membunuhnya. Harus aku, orang yang membalaskan dendam Kak Desta, batin Hana.

Ia terus berlari, sedikit terseok-seok saat jalan yang ditapakinya mulai terjal. Rupanya Hana memilih tempat di atas Gunung Andaan untuk bersembunyi. Ia tahu, dia bisa mengawasi seluruh markas militer Republik Vessel dari atas gunung itu.

Hana membuat kemah sederhana dengan menggunakan ranting pohon dan  jaket militernya sebelum meletakkan Jantra di bawah tenda sederhana itu. Ia memasang senjata laras panjang khas penembak runduk di salah satu tempat yang dirasa sesuai baginya untuk mengintai.

Hana kembali menatap Jantra saat melihat pria itu merintih kesakitan dan kembali mulai mengigau.

"Sora ... Sora .... "

Hana mengernyit, lalu meraba dahi Jantra yang teraba panas. Ia melihat Jantra juga tampak menggigil kedinginan. Hana segera melepas seragam lorengnya dan hanya menyisakan kaos putih di tubuhnya. Ia menyerahkan seragam itu untuk menutupi tubuh Jantra agar lebih hangat.

Hana bisa saja membuat api unggun untuk menghangatkan tubuh Jantra, tapi ia tidak mau membuat rekan-rekannya, termasuk Panglima Militer Republik Vessel mengetahui posisi persembunyiannya.

Hana mengambil beberapa obat-obatan dan peralatan medis yang sempat ia ambil tadi. Ia segera memberikan pertolongan pada luka Jantra, menjahitnya meski tanpa morfin dan membuat Jantra meraung kesakitan. Hana sengaja menyumpal mulut Jantra dengan kain agar suaranya tidak menggema di tengah hutan belantara itu.

Malam pun berlalu, Hana sama sekali tidak tidur malam ini. Ia menjaga Jantra dan terus memantau keadaan pria itu. Pagi menyapa, Hana pun kini mempersiapkan makanan seadanya untuk dirinya dan Jantra.

Hana menggali tanah sedikit lebih dalam dan memasukkan sebuah kompor lipat kedalamnya. Ia sengaja membuat lubang agar asap dan aroma dari masakan yang ia buat tidak terlalu mencolok.

"Ini gila! Seharusnya aku tidak perlu sembunyi-sembunyi begini. Semua ini gara-gara kau, Pilot Setan!" ucap Hana seraya memasak makanan ala militer Republik Vessel.

"Makan!" ucap Hana seraya menyodorkan satu wadah makan berisi nasi dan ikan kepada Jantra.

Jantra menatap tempat makan itu, lalu mendongak menatap Hana.

"Saya tidak mau," jawab Jantra tegas.

Hana menggedikkan bahunya. "Terserah saja jika memilih untuk kelaparan."

SAYAP GARUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang