Perang

247 36 12
                                    

Sora bersama dengan beberapa orang lainnya turun dari helikopter yang baru saja mendarat di Pulau Bintang. Satu-satunya pangkalan militer terdekat dari Pulau Rinai Natanua.

Sora menatap sekelilingnya, ingatannya pun serasa kembali ke beberapa waktu yang lalu saat ia melarikan diri dan tiba di Pulau Bintang itu. Sora dan beberapa orang lainnya di sambut oleh komandan pangkalan militer dan dipersilakan menempati camp-camp pengungsian yang telah di sediakan.

Sora menatap sekelilingnya, ada wanita yang sedang mencoba menenangkan ketiga anaknya karena menangis terus memanggil nama ayah mereka, ada wanita yang mendekap bayi kecilnya sembari beberapa kali mengecup wajah bayi mungilnya itu, dan ada seorang wanita yang sedang hamil tua mengusap-usap perut besarnya sembari menangis.

Sora menarik napas dalam-dalam. Rasa sesak kembali menyeruak dalam rongga dadanya. Ia memejamkan mata dan seketika teringat akan tatapan terakhir Jantra saat mengantarnya pergi beberapa saat yang lalu.

"Ini nggak bisa! Aku nggak bisa hanya berdiam diri saja di sini!" ucap Sora seraya beranjak dari tempat duduknya.

Ia keluar dari camp pengungsiannya, memeluk tas ransel yang hanya berisi beberapa potong pakaian, surat berharga, dan ponsel. Sora berjalan menatap sekeliling pangkalan militer itu. Ia pun melihat tenda kesehatan tak jauh dari sana. Ada beberapa prajurit yang terluka juga yang diturunkan di tenda kesehatan itu. Sora berlari dan ia terkejut saat melihat Heny, istri dari Mayor Trisna, komandan Jantra di Rinai Natanua.

"Izin, Mbak, apa saya boleh membantu?" ucap Sora seraya memberi hormat.

Heny mendongak dan membuang napas lega.

"Sora, untung kamu segera ke mari. Mari, bantu saya. Ada banyak prajurit yang butuh perawatan di sini tidak ada tenaga medis kecuali saya dan Kapten Handi."

Sora mengangguk dan segera mengambil kotak kesehatan. Ia pun memandu prajurit yang baru saja datang dengan luka di lehernya.

"Ada pecahan besi di lehernya," ucap salah seorang petugas yang meletakkan prajurit itu di atas brankar.

Sora menatap luka dan besi yang menancap itu.

"Jika besi ini di cabut, pasien akan mengalami pendarahan hebat, Dek," ucap Heny usai melihat kondisi pasien tersebut.

"Jika dibiarkan saja, dia akan tersiksa, Mbak."

"Saya tidak bisa menjamin dia akan selamat jika kita cabut besinya, Dek."

Sora diam  sejenak. Ia menatap prajurit yang masih melihat kearahnya. Dari tatapannya, Sora dapat menangkap jika prajurit itu ingin memohon pertolongan pada Sora.

"Siapkan saja operasinya. Saya akan mencabut besi ini, Mbak."

"Tapi ...."

"Kita tidak akan tahu jika tidak mencoba, Mbak. Meskipun hanya ada 1% harapan dia dapat hidup, tetap saja harapan itu harus kita perjuangkan, Mbak."

Heny menatap Sora dengan saksama sebelum akhirnya mengangguk.

"Kita lakukan operasi darurat!"ucap Heny.

Operasi darurat pun dilakukan. Tempat yang tidak memadai dan peralatan seadanya menjadi tantangan tersendiri bagi Sora. Namun, wanita itu tidak menyerah, sedapat mungkin ia menolong prajurit itu hingga operasi pun dapat berjalan dengan lancar.

"Kerja bagus, Sora," ucap Heny usai mendampingi Sora melakukan operasinya.

"Terima kasih, Mbak. Saya sudah meminta rekomendasi Kapten Handi untuk mengirimkan pasien ini ke rumah sakit pusat secepatnya."

Heny tersenyum. "Dia akan sangat berterimakasih padamu, Sora. Kamu dokter yang baik. Saya salut kamu tidak menyerah begitu saja."

Sora tersenyum. Ia melepaskan atribut operasinya dan menengadah ke angkasa. Langit mulai menggelap, malam mulai bertambah pekat. Hanya satu yang ada dalam pikiran Sora saat ini, suaminya, Jantra.

SAYAP GARUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang