22 : Patah Hati

39 10 118
                                    

"Aku menyukaimu!"

Agra termangu beberapa saat, setelah tersadar akan semuanya––pria itu sedikit memberikan jarak pada dirinya dengan Luna yang baru mengungkapkan perasaannya.

"Kenapa?" Luna bertanya dengan nada kebingungan––Agra seperti takut padanya? Atau justru ada hal lain?

"Maaf, aku tidak bisa," lirih Agra sebelum pergi meninggalkan Luna seorang diri.

Luna terdiam beberapa saat sebelum akhirnya air matanya mengalir begitu saja. Ia baru saja di tolak? Oleh seseorang yang selama ini dia sukai? Ditolak begitu saja?

Luna menghapus air matanya dan segera pergi gedung perusahaan ini sendirian menuju jalan raya––untuk pulang ke rumahnya.

Sedangkan disisi lain––Junior berusahalah mencari keberadaan Luna. Orang-orang mungkin lupa akan Luna yang tak hadir sekarang, tapi Junior selalu ingat. "Apa dia pulang?" gumam Junior lantas segera berlari ke jalan raya. Rupanya gadis itu tengah terduduk di halte bus sambil bersandar pada tembok dan menangis.

"Kau kenapa disini? Acaranya belum selesai!" ujar Junior dengan nada yang dibuat-buat.

Luna menoleh sekilas lalu berlari menghampiri Junior dan memeluknya erat––seolah olah hanya Juniorlah yang akan mengerti penderitaannya sekarang. "AAAAA HIKS..."

"Eh kenapa?"

"Agra menolakku, huaaa aaaa hiks hiks hiks..." Luna menangis histeris.

Junior terdiam sejenak. Dia sampai berani mengungkapkan perasaan? Dia sampai melakukan itu? Saking cintanya dia pada Agra? batin Junior sedikit kecewa.

"Sudahlah, masih banyak pria di bumi ini. Jangan menangisi orang yang tak mau padamu!" timpal Junior.

Luna menghentakkan kakinya kesal. "Arghhhhh... Mau pindah aja! Aaa mau nangis!"

Junior menatap Luna heran. "Kan sudah menangis, tinggal lanjutkan saja..."

"Mau pulang!" rengek Luna.

"Ayo..."

---

Akira terdiam di lantai kedua seorang diri––diruangan yang memang tidak ada orang. Gadis itu merokok sambil sesekali menatap ke luar. "Menyebalkan... Kenapa harus seperti ini? Mengapa harus begini? Mengapa harus dia? Mengapa..."

"Kenapa kau disini? Dan kau merokok?" celetuk Rayan yang baru saja tiba––wajahnnya terlihat kelelahan dengan nafas yang beraturan, seperti habis berlarian.

"Ingin saja. Lalu kenapa kau disini?" balas Akira acuh.

"Aku mencari mu dari tadi," terang Rayan sungguh-sungguh.

Akira tertawa singkat. "Untuk apa mencariku? Seperti tidak ada kerjaan saja!"

"Ya aku khawatir padamu," jelas Rayan.

"Apanya yang harus di khawatirkan? Memangnya aku pacarmu apa? Sampai kau khawatir seperti itu?" tanya Akira seraya melirik Rayan sebentar lalu mengalihkan pandanganya ke luar lagi.

"Ya seharusnya kau datang lebih awal agar kau menjadi pacarku," timpal Rayan seraya berdiri di samping Akira lalu merebut rokoknya dan membuangnya keluar. "Rokok tak baik, baik semua manusia..."

Akira menatap Rayan dengan tatapan jengkel. "Seharusnya kau tidak terobsesi pada Ayra, agar kau menjadi pacarku..."

"Aku tidak terobsesi padanya," terang Rayan.

Akira yang memberikan senyuman mengejeknya. "Sudah pergi saja sana! Aku ingin sendirian..." usirnya.

"Kenapa pula ingin sendirian? Apa bedanya dengan adanya diriku?"

STAY HERE [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang