Bab 1

72 9 1
                                    

"cinta itu tidak pernah menyakiti, jika ia menyakiti berarti ia bukan cinta, melainkan sekedar suka."

Suasana pagi di kelas XA sudah ramai dipenuhi siswa-siswi yang mulai berkenalan, tidak seperti saat pertama ajaran semester baru dimulai, canggung, diam-diam, sok jaim dsb.

Pekan ini adalah pekan ke-2 bersekolah di SMAN 12 Cakrawala saat setelah melalui masa SMP. Nabastala Kirana, duduk dibangku paling depan, berdampingan dengan Zee Indurasmi, sahabatnya.

Kebetulan sekali ia berkesempatan lagi untuk sekelas dengan sahabatnya dari kecil.

"Eh Na, lu tadi berangkat bareng Sekala kan?"

"Nggak. Emang kenapa?'

"Lah? Terus tadi dia bareng siapa? Cewe loh, gua kira itu lu Na."

"Siapa? Lu liat mukanya?."

"Ngga sempet sih, tapi gua yakin dia Sekala, Na." Zee mempertegas pertanyaannya.

"Ah mungkin lu halu aja kali Zee, gua yakin Sekala pasti gabakal gitu." Ucap Kirana

"Seyakin itu? Gua takut Na, takut cinta murni dan tulus lu ini dikecewain sama tu anak satu."

"Percaya aja, cinta ga pernah salah, yang salah itu insan yang menggunakannya."

"Cieh so iye lu."

"Nyenyenye." Balas Kirana mengejek Zee.

Zee tidak melanjutkan perdebatan akan apa yang telah ia lihat pagi tadi, percaya pada sahabatnya sudah menjadi pelengkap rasa persahabatannya dengan Kirana.

Kirana tidak ingin terlalu memikirkannya, ia memilih untuk mengalihkan perhatiannya pada buku catatan kecil bergambar senja, yang Sekala berikan padanya saat pertama kali Sekala menyatakan cintanya 3 tahun lalu.

Saat Sekala mengajaknya pergi untuk melihat matahari terbenam diujung pantai.

"Na, liat deh senjanya. Cantikya Na, Kayak lu." Ucap Sekala saat matanya menilik damai warna senja dari matahari yang mulai terbenam kebawah lautan.

"Iyah, lautnya juga bagus, luas, dan damai. Kayak lu." Ucap Kirana, menatap penuh damai wajah Sekala yang terlihat lebih manis ketika dilihat dari pinggir.

"Na, gua pengen jadi laut yang selalu nunggu senja datang untuk pulang."

"Maksudnya?" Kirana masih belum mengerti makna dari kata yang Sekala sampaikan.

Tatapan Sekala menghilang meninggalkan senja yang mulai gulita. Pandangannya beralih pada sepasang mata indah nan sejuk, Kirana.

"Gua pengen lu jadi senja Na. Yang selalu gua sebagai lautan - tungguin untuk pulang."

Kirana menarik bibir merahnya, senyuman manis berpadu dengan indahnya senja sore ini melengkapi perjalanan mereka. Tak lama saat setelah tersenyum, Kirana berkata..

"Gua setuju lu jadi lautan, tempat gua sebagai senja - untuk pulang. Sekala Bimantara."

Ucapan itu diakhiri dengan senyuman dari kedua insan.

"Ini Notebook hadiah sebagai tanda bahwa lu sama gua udh jadi kita, Na."

"Ini lucu bangett la, terimakasih."

Keduanya terlelap dalam tatapan penuh rasa yang membuat candu. Bagi Kirana, Sekala itu yang terbaik, Sekala adalah insan yang mampu memberikannya kebahagiaan tanpa rasa sakit.

Sampai...

"Na! Na!! Woi! Astaghfirullah! Woii Nabastala Kiranaaaaa!!"

"Aduhh sakit Zee telinga gua! Ngapain si teriak-teriak, malu tau tuh diliatin."

 Senja Untuk KiranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang