6

19.3K 1.5K 55
                                    

"Wahh ... pagi Nek." Vanya baru saja masuk, ia dikejutkan dengan keberadaan Eve, Nenek Saga. Vanya membungkukan sedikit tubuhnya, memberi hormat pada Nenek.

"Pagi ... " sahut Nenek.

Vanya duduk disamping Sean, ia sudah mengenal keluarga Saga dari masa sekolah, jadi wajar jika ia bertingkah akrab.

"Kau berteman juga dengan Sean?" tanya Nenek yang tentu saja diangguki Vanya, membuat Sean muak dibuatnya.

"Sean pria manis dan menyenangkan untuk dijadikan teman," cetus Vanya yang sudah jelas sebuah kebohongan.

Sean mendengus, Vanya simuka dua memang menyebalkan. Walaupun begitu ia tak mungkin mengusir wanita ini sekarang. Ia bagai figuran di antara dua orang yang tengah berbincang ringan itu, ia merasa iri pada Vanya. Selama ini ia tak pernah berbincang ringan dengan nenek, tapi Vanya? Lihatlah dia bahkan bisa membuat nenek tertawa.

"Kuharap kau mendapatkan suami yang baik, kau perempuan berpendidikan dan juga cantik, kau patut mendapatkan yang setara," cetus nenek, ia menggulir matanya menatap Sean yang menunduk, "jangan seperti cucuku Saga, dia harus menikah dengan pria yang sama sekali tak ada kelebihannya," lanjutnya.

Sean meremat celananya, andai ia bisa berteriak mengatakan jika cucunya lah yang dulu sangat mengejarnya, jika Saga lah yang dulu begitu ingin menjadikannya pasangan.

"Maaf, aku harus kebelakang. Lanjutkanlah obrolan kalian, aku ada sesuatu dulu," pamit Sean, ia harus menjauhi sumber sakitnya dikeluarga Saga, agar ia tak tertusuk duri terus-menerus. Sean memilih mengiris sayuran di dapur, ia akan menyiapkan makanan untuk Saga.

Pekerjaan harus tertunda saat ponselnya berdering, dengan terburu-buru Sean mengangkatnya agar tak semakin berbunyi nyaring.

"Hallo," ucapnya.

"Sean, cepat kirimkan aku uang. Aku sudah kelaparan apa kau akan membunuhku?!"

Sean menjauhkan ponsel dari telinganya, ayahnya berteriak dengan keras. Ini sudah hal biasa, setiap bulannya ayahnya itu akan meminta uang bulanan.

"Ayah, aku tak memiliki uang saat ini. Bisakah kau bersabar,"

"Suamimu kaya, apa dia sudah bosan merasakan lubangmu? Sampai kau tak punya uang,"

"Sudah kubilang lebih baik kau menjadi jalang seperti ibumu, maka kau bisa memberiku uang, bocah tak tahu diri. Kau dengar aku tidak?! Sean atau kau datang dan puaskan ak ... "

Sean mematikan sambungan teleponnya, ia tak mau mendengar ucapan ayah tirinya lagi. Ia mengusap peluh dikeningnya, ia selalu merasa gelisah dan takut saat ayahnya membahas hal itu. Bayang masa lalu selalu menghantuinya.

"Kau sedang apa?" Vanya menepuk bahu pria manis itu, membuat Sean tersadar dari lamunannya.

"Ak-aku akan masak untuk Saga, memangnya ada apa kau ke sini?" tanya Sean.

Vanya menaikan sebelah alisnya, entah kenapa jika melihat Sean ia selalu merasa kesal dan juga kasihan sekaligus.

"Tentu saja bertemu Saga, bukankah aku akan menjadi istrinya," Vanya berucap angkuh, ia memainkan jari-jari tangannya seakan memamerkan kuku-kukunya yang di cat.

Sean mendengus, "teruslah bermimpi, Saga sangat mencintaiku. Bahkan kami sudah saling mengenal dari masa kuliah, kau jangan banyak berharap Vanya."

"Ya .. ya, Tuan Sean teruslah bersikap seakan kau Nyonya dirumah ini. Karena nyatanya kau hanya seorang istri figuran." Vanya pergi begitu saja setelah mengatakannya, ia akan menyingkirkan pria itu entah dengan cara bagaimanapun.

Sean tak ambil pusing, ia lebih memilih melanjutkan pekerjaannya, mungkin Saga akan segera pulang. Sean sangat telaten dalam hal memasak, masakannya selalu enak dan juga ia akan membuat berbagai ragam masakan disetiap harinya.

Sean cukup menguras waktu lama saat masak, sampai ia lupa jika nenek masih ada dirumah dan tanpa sadar nenek tengah menatapnya diambang pintu, melihat sang menantu yang tengah fokus masak.

"Apa masak adalah hobimu? Sampai kau lupa jika aku ada di sini?" Nenek berceletuk membuat Sean sedikit terkejut dengan ucapannya yang tiba-tiba.

"Ah, maafkan aku nek. Aku sungguh tak bermaksud, aku buru-buru mungkin Saga akan segera pulang," ucap Sean, ia selalu merasa gugup jika berhadapan dengan orang paling tua dikeluarga ini. Seakan kehidupannya tinggal dirumah Saga tergantung padanya, ia masih ingat nenek orang yang paling menentang keras hubungannya dengan Sean, bukan karena mereka bergender sama, tapi karena levelnya dan keluarga Saga sangat jauh berbeda.

"Terserah. Aku hanya akan mengatakan jika aku akan ikut makan malam di sini." Setelah mengatakan itu nenek kembali ke ruang tengah, ia sebenarnya tak terlalu benci pada Sean, hanya saja Sean itu jenis submisif lemah dan juga tak terpandang, itu sungguh membuatnya dongkol.

"Ada apa nek? Apa Sean masih masak?" Vanya bertanya, saat nenek duduk kembali disampingnya.

"Iya, dia masih masak. Seakan akan ada pertemuan antar keluarga, untung saja masakannya sangat enak jika tidak aku akan memakinya karena telah menghamburkan bahan makanan," tutur Nenek, Vanya terkekeh mendengarnya.

________

Nenek benar-benar tak becanda dengan ucapannya siang tadi. Saat ini ia tengah duduk dihadapannya dan Saga. Nenek menikmati hidangan buatannya.

"Apakah rasanya pas Nek?" tanya Sean berusaha mencairkan suasana yang sedari tadi dingin.

"Tak buruk," sahut Nenek, membuat senyuman Sean terbit diwajahnya.

"Ada apa Nenek datang ke sini? maksudku tak biasanya Nenek datang ke rumahku," ucap Saga.

Nenek menghentikan suapannya, ia menggulir matanya menatap Saga, sang cucu pertama.

"Tentu saja membuktikan ucapan cucuku ini, jika suaminya ini hanya diam dirumah. Ya Tuhan Saga, suruhlah ia bekerja dan mempunyai karir. Lihatlah Vanya, dia wanita muda dan memiliki karir yang bagus dan lihat Loiz yang begitu berkarisma, harusnya suamimu itu mencontoh mereka," tutur Nenek, membuat suapan Sean juga berhenti.

Lagi-lagi ia dibandingkan, sedangkan Vanya yang juga ikut serta makan malam hanya tersenyum tipis, merasa senang seakan mendapat lampu hijau.

"Tidak. Aku mampu membiayainya, dan juga untuk apa ia bekerja. Dia hanya perlu mengurus rumah dan juga menyidangkan makanan saat aku pulang kerja, itu saja sudah cukup," ucap Saga.

Nenek menghela napas, "Nenek tahu, hanya saja, Sean juga pasti ingin berkarir," ucap Nenek, "Hey katakan jika kau ingin setara dengan menantuku yang lain." Nenek menatap Sean.

"Iya, hanya saja Saga tak mengizinkan dan aku tak apa. Lagipula jika dibandingkan dengan Loiz aku memang tak ada apa-apanya," tutur Sean, ia merasa makanannya tersangkut ditenggorokan sehingga saat mengatakannya ia merasa sulit.

"Kau benar Sean. Masakanmu sangat enak, jadi kau tak perlu bekerja," timpal Vanya, "lagipula bukankah kau sudah senang dengan uang yang diberikan Saga?" Vanya memberi percikan api disetiap katanya, agar Nenek semakin kepanasan.

"Beban," cetus Nenek, lalu melanjutkan lagi makanannya.

Sedangkan Sean sudah kehilangan selera makannya, ia memilih meminum airnya lalu pamit pergi dengan dalih sudah kenyang dan akan mencuci barang yang ia gunakan tadi, itu hanya sekedar alasan nyatanya semua panci dan peralatan bekas masak tadi sudah ia cuci, itu semata hanya untuk menyembunyikan wajah menyedihkannya.

____

Thanks yang udah nungguin, gue usahain up tiap hari. Yokk komen banyak-banyak, biar gue ada motivasi buat lanjut terus nih story.

Broken [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang