Malam merayap lembut di kota yang sepertinya tidak pernah tidur. Leon, Varo, dan Vincent mempersiapkan diri untuk pelarian yang akan mengubah segalanya. Mereka mengemas barang-barang yang bisa dibawa, mengingat segala sesuatu yang berharga namun menyadari bahwa ini adalah langkah menuju sesuatu yang tidak pasti.
“Apakah kamu sudah mengambil semua yang kamu butuhkan?” tanya Varo, matanya menyapu ruangan kecil di mana mereka bersembunyi. Leon mengangguk, namun hatinya bergetar saat dia melihat barang-barang familiar yang kini harus ditinggalkan. Foto-foto keluarga, kenangan indah yang akan menjadi beban jika terus dibawa.
“Ya, kita sudah siap,” jawab Leon, berusaha menenangkan dirinya sendiri dan Vincent. Dia bisa merasakan ketegangan di udara, setiap detik seakan membebani bahunya.
Sebelum berangkat, Leon memberi pandangan terakhir pada tempat yang telah menjadi rumahnya. Sebuah rumah yang sekarang terasa seperti penjara, di mana harapan dan kebebasan telah dijual demi utang yang tidak pernah mereka pilih. “Mari kita pergi,” ucapnya dengan tekad.
Di luar, malam terasa gelap, namun langkah mereka sudah mantap. Varo memimpin jalan, membawa Leon dan Rian melalui gang-gang sempit yang akrab baginya. Mereka harus cepat, karena setiap detik berharga, dan Leon tahu betul bahwa keluarganya tidak akan tinggal diam.
“Malam ini, kita akan menuju ke tempat yang aman,” kata Varo sambil terus melangkah. “Ada sebuah mobil menunggu di ujung jalan. Kita harus mencapai sana tanpa menarik perhatian.”
Leon meneguk ludah, mencuri pandang ke arah Vincent yang berjalan di sampingnya. Adiknya tampak cemas, wajahnya sedikit pucat. “Kak, apa kita benar-benar akan aman?” Vincent bertanya, suaranya bergetar.
Leon meraih tangan Vincent, menggenggamnya erat. “Kita akan baik-baik saja. Varo akan melindungi kita,” jawabnya, meski hatinya sendiri bergetar dengan keraguan.
Ketika mereka berbelok di sudut jalan, Leon merasakan perubahannya. Udara semakin berat dan ketegangan meningkat saat mereka mendengar suara sirene di kejauhan. Leon berhenti sejenak, melihat ke arah suara tersebut, dan merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. “Kita harus pergi lebih cepat!” serunya.
Varo mempercepat langkahnya, menarik Leon dan Vincent untuk terus bergerak. Mereka tiba di ujung jalan, dan Leon melihat sebuah mobil hitam menunggu. Namun, saat mereka mendekat, satu hal yang paling ditakuti Leon terjadi—sekelompok orang mendatangi mereka dari arah yang berlawanan.
“Leon!” teriak seorang pria dari kerumunan. Leon mengenali suara itu—itu adalah salah satu orang yang bekerja untuk keluarganya. Wajahnya dipenuhi amarah dan kebencian. “Kau tidak bisa pergi! Keluarga kita butuhmu!”
Leon merasakan jantungnya terhenti. Dia tidak ingin terjebak dalam pertarungan ini, tetapi dia tahu bahwa mereka tidak punya pilihan. “Vincent, tetap di belakangku!” perintahnya, menahan ketakutan yang menggerogoti dirinya.
Varo berdiri di depan Leon dan Vincent, siap menghadapi ancaman yang ada. “Kami tidak akan kembali. Keluargamu terlibat dalam hal yang salah,” katanya, suaranya tenang namun tegas.
“Ini bukan urusanmu, Varo!” teriak pria itu. “Leon, mereka membutuhkanmu! Kau harus kembali!”
Dalam sekejap, Leon merasakan kemarahan membara di dalam dirinya. “Aku bukan barang!” teriaknya, suaranya menggema di malam yang sunyi. “Aku manusia! Aku berhak memilih hidupku sendiri!”
Sepertinya kalimat itu melukai pihak lawan. Mereka terdiam, terkejut dengan pernyataan Leon. Namun, Leon tahu bahwa ini tidak akan bertahan lama. Varo melihat sekeliling, menyadari bahwa waktu mereka semakin menipis.
“Leon, kita harus pergi sekarang!” Varo mendesak. Dengan satu dorongan, dia memaksa Leon dan Vincent masuk ke dalam mobil. Leon tidak sempat melihat ke belakang, meskipun dia bisa merasakan tatapan marah dan penuh pengkhianatan itu menusuk punggungnya.
Mobil melaju cepat, meninggalkan kerumunan dan malam yang kelam. Leon berusaha menenangkan dirinya, meski hatinya berdegup kencang. Dalam pelarian ini, dia harus berjuang melawan keluarganya, melawan segala sesuatu yang pernah dikenalnya.
Di dalam mobil, suasana di antara mereka hening. Vincent tampak bingung, menatap Leon dengan mata penuh tanya. “Kak, apa kita tidak seharusnya membantu keluarga kita?” tanya Vincent akhirnya, suaranya lirih.
Leon menarik napas dalam-dalam, merasakan beban berat di bahunya. “Vincent, kadang kita harus membuat keputusan sulit. Aku tidak bisa membiarkan diriku terjebak dalam kegelapan yang mereka ciptakan,” jawabnya, berusaha meyakinkan dirinya dan adiknya.
Setelah beberapa menit dalam keheningan, Varo menoleh ke arah mereka. “Kita akan mencari tempat aman. Setelah itu, kita perlu memikirkan langkah selanjutnya. Kau sudah menjadi bagian dari dunia ini, Leon. Pilihanmu tidak akan mudah, tetapi aku akan membantumu.”
Leon menatap Varo, melihat keyakinan dalam mata pria itu. Dalam perjalanan ini, dia merasa semakin terikat dengan Varo. Meski masa depan mereka masih kabur, Leon tahu bahwa dia tidak sendirian.
Dalam pelarian ini, Leon harus berjuang dengan keputusan yang harus diambilnya. Apakah dia akan terus melindungi keluarganya ataukah memilih jalan baru yang penuh ketidakpastian? Dengan Varo di sampingnya, Leon merasakan harapan baru tumbuh, meski langkahnya masih diliputi keraguan.
Namun, satu hal pasti—perjalanan ini baru saja dimulai.
---
.
.
.To be continued.... ♡
Bagaimana pendapatmu tentang bab ini? Apakah semakin seru? Jangan ragu untuk berbagi pemikiranmu di kolom komentar dan beri bintang! ⭐️💬
Warning : Cerita ini sudah aku rombak total dari alur sebelumnya! Yang sudah baca silahkan dibaca ulang
KAMU SEDANG MEMBACA
[𝐁𝐋] Kiss Me, Bicth!! [END✓ | New Version]
Teen FictionDalam dunia yang penuh intrik dan keputusasaan, Leon-seorang pemuda yang terjebak dalam utang keluarganya kepada seorang mafia yang ditakuti bernama Varo. Ketika ayahnya tidak mampu membayar hutang tersebut, Leon terpaksa dijual kepada Varo sebagai...