° 01. PROLOG °

435 37 22
                                    

"Kamu masih berhubungan dengan pria itu hah?!"

Suara teriakan terus menggema di indra pendengaran Amayra. Gadis berusia lima tahun itu menutup kuat-kuat telinganya, berharap suara isak tangis dan pertengkaran antara kedua orang tuanya hilang tak terdengar. Dengan tubuh yang bergetar, Amayra memojoki tubuhnya di balik lemari miliknya. Pupil matanya bergerak kesana-kemari mencari sosok yang dapat ia jadikan pelindung. Isak tangisnya tiba-tiba semakin menjadi-jadi, Amayra merasa takut sekarang. Baru kali pertamanya ia mendengar keributan yang membuat dirinya jadi takut begini.

Tubuh Amayra tiba-tiba terangkat, sang pemilik tubuh mendongakkan kepalanya menatap wajah Kakaknya yang terlihat merah. Amayra memeluk erat tubuh Aldo, sosok yang sendari tadi ia cari akhirnya datang juga. Aldo mengelus punggung adiknya dengan lembut, berharap ia tenang dan tak lagi merasa ketakutan.

Aldo yang masih berusia sepuluh tahun itu menggendong adiknya, ia pun bergerak ke luar untuk memastikan pertengkaran kedua orang tua mereka. Kaki Aldo terasa berat, akhir-akhir ini keluarga mereka memang tak harmonis. Kedua insan yang sedang adu teriak itu, selalu bertengkar di kamarnya, mereka seakan-akan tak peduli akan keberadaan Aldo dan Amayra.

Hal-hal kecil yang seharusnya tak mereka ributkan kerap selalu menjadi sasaran empuk bagi keduanya untuk menimbulkan keributan. Aldo tak habis pikir, setelah sama-sama sibuk bekerja mereka menyempatkan waktu untuk selalu adu benar. Itu membuat Aldo benar-benar muak.

"Kamu keterlaluan Mariyyah" teriak Abian dengan sorot mata yang tajam. Seakan-akan ia memperlihatkan sosok iblis yang berada dalam tubuhnya. Tangannya mencekal erat si pemilik gaun merah itu. Mariyyah meringis kesakitan, ia mencoba melepaskan genggaman lengan suaminya itu.

"Jangan pernah menyalahkan aku Abian! Ini semua terjadi karena ulah mu sendiri. Kamu yang memaksa aku menikahimu, sedangkan aku tak punya perasaan sedikit pun padamu. Wajar jika aku selingkuh dan tetap memperjuangkan cintaku. Kamu yang seharusnya di salahkan Abian! Karena mu aku hampir kehilangan kebahagiaanku" sorot mata keduanya terlihat sendu. Deru napas keduanya terdengar berat di telinga Aldo. Ada masalah apa sebenarnya.

Di balik pintu yang sedikit terbuka itu, Aldo mematung dan melihat semuanya dengan jelas. Ada rasa sakit di benaknya mendengar sang ibu memiliki keluarga lain selain keluarga kecilnya ini.

"Cukup Mariy--"

"Tapi tidak untuk sekarang. Sekuat apapun kamu memisahkan aku dengan Mas Rian aku nggak akan pernah meninggalkannya." sambung Mariyyah yang tak ingin suaminya berbicara.

Abian menatap lekat-lekat istrinya itu. Sepuluh tahun ia membangun rumah tangga dengan Mariyyah, namun semua terbukti sia-sia. Apalagi di bumbui dengan sebuah pengkhianatan yang membuat Abian tak habis pikir dengan istrinya. Abian menggeleng frustasi, ia hanya tersenyum renyah, begitu bodohnya dirinya ini.

"Memang, wanita seperti mu tak seharusnya aku cintai." jawab Abian yang sepertinya kehabisan kata-kata.

Amayra yang mendengar teriakan lebih jelas dan keras itu mengeratkan pelukannya. Aldo yang merasa sesak karena pelukan sang adik akhirnya mundur perlahan, berniat untuk menghilang dari balik pintu kamar.

"May takut hiks ..." Aldo mengusap-usap punggung Adiknya itu "sttt jangan nangis, ada Kaka"

Baru beberapa langkah berjalan, kaki Aldo tiba-tiba berhenti, ia mendengar panggilan dari arah belakang. Aldo menoleh dan menangkap lelaki yang sudah abadi berdiri di depan pintu. Sorot mata yang terlihat menyayat hati lagi-lagi membuat hati Aldo sesak.

"Ayah" lirih Aldo yang tak tahu harus berbuat apa.

Abian berlari kearah keduanya, tangan kekar miliknya berniat untuk mengambil alih gendongan Amayra dari Aldo. Namun, tangan seseorang menahannya.

"Amayra ikut denganku" ucap Mariyyah tak tahu malu. Abian menatap lekat-lekat istrinya dengan tatapan jijik.

"Amayra dan Aldo adalah anak-anakku. Aku bisa mengurusnya, lagian mereka tak perlu ibu seperti kamu" jawab Abian dengan berat "bukannya kamu sudah punya anak dari hasil selingkuhan mu itu! Aku nggak sudi anakku di urus olehmu" lanjut Abian yang sengaja membuat amarah Mariyyah menaik.

"Aku ibu kandung mereka!!! Aku lebih berhak atas mereka!" teriak Mariyyah yang sudah sangat emosi. Ia mengambil alih Amayra dari pelukan Aldo. Gadis kecil itu menolak namun karena di paksa, akhirnya tubuhnya sudah berada di pelukan sang ibu.

"Tutup mulut kamu Mariyyah. Kamu mambuat anakku ketakutan" jawab Abian yang melihat Amayra gemetar.

"Kak ... Kak ... Hiks" suara tangis Amayra membuat dada Aldo terasa sesak.

"Berhenti hiks biar Aldo saja yang mengurus Amayra, biar Aldo yang menggendong Amayra!" Aldo sudah tak bisa menahannya lagi. Ia mengambil alih Amayra dengan paksa lalu berlari pergi untuk menjauhkan tubuhnya dari kedua orang tuanya itu.

"Aldo kembalikan Amayra! Dia butuh ibu, Aldo!!!"

"Cukup Marriyah! Jika kamu ingin bahagia dengan keluargamu itu, silakan. Biarkan aku dan anak-anak ku bahagia juga! Jangan pernah kembali lagi ke rumah ini. Kamu yang ingin keluar dari hidup Aku dan anak-anak. Maka saat ini juga kamu nggak berhak lagi atas mereka! "

"Aku berhak atas mereka! Aku adalah ibu yang sembilan bulan mengandung mereka! Aku yang merawat mereka selama ini! Kalo kamu ingin tau, tanpa adanya kamu atau nggak, Amayra dan Aldo bisa hidup bahagia!"

"Bahagia dengan siapa hah? Dengan selingkuhanmu itu?!, jangan mimpi, aku nggak akan pernah mengizinkan kamu bertemu dengan anak-anakku" sarkas Abian dengan sorot mata yang tajam.

"Aku ... thalaq kamu Mariyyah!"

Suara petir tiba-tiba terdengar keras dari arah luar. Derasnya hujan menjadi saksi bahwa semestapun ikut sedih dengan apa yang terjadi sekarang. Ikatan pernikahan yang sudah sepuluh tahun orang tuanya jalani akhirnya harus berakhir. Amayra dan Aldo sudah tak punya keluarga lengkap lagi seperti dulu. Dari dulu mereka memang tak pernah mendapatkan kebahagiaan dari sosok-sosok yang berada di hadapannya itu.

Aldo menatap sang ibu yang keluar dari rumah. Mariyyah pun sempat menatap kedua putra-putrinya itu dengan tatapan sayu. Mungkin, ini terakhir kalinya mereka akan berjumpa. Aldo melihat sang Bunda menyeka buliran air matanya, ada rasa iba dan benci yang menyatu. Bocah sepuluh tahun ini membenarkan akan penghianatan yang ibunya lakukan, mengingat jika ia jarang ada di rumah membuat Aldo cukup yakin dengan ucapan yang ia dengar beberapa menit lalu.

Aldo menyenderkan kepalanya, isak tangisnya dan Amayra sekarang saling sahut menyahut.

"Kenapa harus kita ya Allah" lirih Aldo.

Sepi, sunyi, tak ada lagi suara keributan membuat Amayra berhenti menangis. Aldo mengadarkan pandangannya ke segala sudut ruangan, tak hanya ibunya yang pergi. Ternyata ayahnya juga tak ada, mereka berdua sama-sama meninggalkan tanggung jawab yang seharusnya mereka tanggung.

Aldo menggelengkan kepalanya lemah, baru saja mereka memperebutkan Aldo dan Amayra, sekarang dengan mudahnya mereka meninggalkan juga.

Sebenarnya rencana apa yang Tuhan rancang? Kenapa terasa begitu menyakitkan.

°°°

Anak-anak pergi ke taman
Pulangnya beli stabilo
Kenalin teman-teman
Yang baca masih jomblo


Adik Kakak Penuh Luka { SUDAH TERBIT }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang