0.4

301 22 7
                                    

Ini hari ketiga Dilaya berada di rumah pondy, dan bocah itu tak seperti bocah-bocah pada umumnya. Tak se-rewel dan menyusahkan. Dia cukup penurut, seperti sekarang ini.

Saat ini matahari tepat berada di atas kepala, menandakan waktunya jam makan siang. Suasana yang terik ini membuat toko roti Pondy ramai. Sangking ramainya, Pondy sampai kewalahan karena ia sendirian di toko. Ralat, ada Dila, tapi apa sih yang bisa di lakukan bocil?

Yah ada untungnya ada Dila, jadi Pondy tak sendirian berada di toko.

Tak lama terdengar bunyi bel lonceng yang berada di atas pintu, menandakan bahwa pintu tersebut terbuka.

Ternyata itu Gaven dengan Vanka, dan ... Dua sosok lelaki asing di belakang mereka.

Entahlah itu siapa, tapi saat Dila melihat mereka, gadis cilik itu langsung bersemangat dan berlari ke arah mereka.

"Ayah! Papa!" Seru Dila yang berlari memeluk kaki mereka.

Pondy cukup terkejut, lalu menatap Gaven dengan tatapan bertanya, yang di jawab Gaven dengan roll eyes.

"Hei Guen." Sapa salah satu dari keduanya, sesosok pria tampan dengan tubuh tegapnya yang kekar menjulang tinggi.

Pria itu berjongkok di hadapan Dila, untuk menyamakan tingginya agar Dila tak perlu mendongak.

Pria lain yang berada di sampingnya ikut berjongkok, lalu memeluk Dila erat. Pria itu memiliki paras yang terkesan lembut.

Tampan, manis, dan cantik terdapat dalam parasnya, sungguh ciptaan yang indah. Tubuhnya juga tinggi menjulang, namun sedikit lebih kecil dari pria di sampingnya.

"Papa!" Dila ikut membalas pelukan yang di berikan padanya dari pria yang di panggilnya Papa tadi.

Pria lainnya yang ternyata ‘Ayah’ nya Dila juga ikut memeluk, jadinya sekeluarga itu larut dalam kegiatan mereka dan mengabaikan sekitar.

Namun tak apa, karena mereka semua mengerti kok. Tapi lama juga anjir, sekitar duapuluh menitan, baru deh selesai acara peluk-peluknya, itupun juga karena Dila yang merengek.

"Ah, maaf kami terlalu larut. Sehingga mengabaikan kalian semua," ujar Ayah Dila.

"Tak apa kami mengerti," ini Gaven yang ngomong.

Hening

"Pasti tak nyaman kalian berdiri terus, mari kita ke ruang tamu atas." Ini Pondy, dan semua pun mengikutinya ke ruang tamu lantai atas.

Dan sebelum semuanya menuju lantai dua, Pondy sudah meminta Vanka untuk menutup toko.

"Sebelum kita lanjutkan. Perkenalkan, nama saya Wirka Deglan Kaffni, dan ini suami saya, Yudhis Jendar Augell." Ujar ayah Dila memperkenalkan diri sembari mengenalkan papa Dila juga.

Pondy, Gaven, dan Vanka melotot terkejut.

Eh buset! Pasusu Kaffni anjir! Batin ketiganya.

Bukan apa-apa sih, tapi mereka salah satu pasangan konglomerat di kota ini. Dan lagi, pasangan ini mewarisi warisan dua keluarga konglomerat terkenal di negara wakanda. Kaffni dan Augell.

Pasusu itu tersenyum memaklumi, "kalian pasti sudah tau nama Dila, tapi hanya Dilaya saja?" Pertanyaan Wirka di angguki ketiganya.

"Dilaya Eguene Kaffni, Dila adalah anak kandung kami." Mendengar itu mereka bertiga semakin melotot terkejut.

Bukan anak angkat, tapi anak kandung?!

Bukan suatu hal asing lagi, melihat atau mendengar seorang lelaki bisa hamil di negara wakanda. Hanya saja, itu agak cukup langka terjadi di kota mereka.

"Bolehkah saya tau, kejadian saat tuan Pondy dan tuan Gaven menyelamatkan Dila?" Tanya Yudhis.

"T-tentu, tuan," Pondy mulai menceritakan dari awal ia bertemu Dila yang menangis sampai berakhir di rumah sakit.

Yudhis menutup mulut dengan tangannya saat mendengar cerita Pondy, "ya ampun! Tuan Gaven sampai terluka, sebab menyelamatkan anak kami. Terima kasih! Jika bukan karena kalian, kami mungkin sampai saat ini belum bertemu dengan Dila."

"Tak apa tuan ... Itu hanya luka kecil, sekarang luka itu sudah membaik." Gaven menyangkal, lalu mengalihkan topik pembicaraan, "jika kami boleh tau, kenapa anda berdua secara pribadi datang ke sini, selain untuk menjemput Dila?"

Kedua Pasusu itu saling menatap, kemudian mengangguk bersamaan.

"Jadi kami kemari untuk berterima kasih langsung, dan memberikan hadiah kepada kepada tuan Pondy dan yang lain sebagai hadiah ucapan terima kasih." Jawab Wirka sembari menatap ketiga pemuda yang duduk di hadapannya.

"Tidak usah!" Ujar mereka bertiga serempak.

Pasusu itu cukup terkejut dengan penolakan serempak mereka, "lebih baik kalian memikirkannya lagi sebelum menolak penawaran kami."

"Tidak-tidak, bagaimana yah kami mengatakannya. Em, kami hanya kebetulan saja menolong Dila."

"Bukankah lebih baik kalian memikirkannya lagi?" Pernyataan ini di jawab gelengan oleh ketiganya.

Wirka menghela napas, "baiklah jika ini keputusan kalian, kami tidak bisa memaksakan kehendak kami."

Kemudian Wirka merogoh saku dalam jasnya dan mengeluarkan kartu, "jika kalian memerlukan bantuan, jangan sungkan untuk menghubungi kami." dan  menyerahkan kartu yang ternyata adalah kartu nama pribadinya.

Pondy mengambil kartu nama itu dan melihat, Vanka dan Gaven ikut melihat. Tak lama mereka melotot.

Pasusu itu tersenyum simpul, "kalau begitu kami pamit, terima kasih sudah menolong Dila. Dan semisal ada apa-apa, jangan sungkan untuk meminta bantuan kepada kami." Keluarga Pasusu itu bangkit dari duduk, di ikuti ketiga pemuda berbeda usia.

Mereka semua pun turun, Dila sudah tidur dalam gendongan sang ayah. Pondy, Gaven, dan Vanka mengantar pasangan suami-suami itu sampai keluar pekarangan rumah.

Beberapa saat setelah Pasusu tersebut sudah pergi, ketiga pemuda itu bernapas lega.

"Nggak nyangka Dila anak Pasusu itu, anjir!" Heboh Vanka.

Mereka bertiga masih sangat shock dan bingung dengan kejadian tadi, bahkan Pondy sampai mondar-mandir tak percaya.

Sudah sekitar lima menit mereka masih dalam keadaan bingung, Gaven tiba-tiba menginterupsi.

"Btw, keluarga sehebat mereka kok bisa cari satu bocah sampe berhari-hari? Bukannya bisa dalam satu hari ketemu?" Ujar Gaven yang sedari tadi diam termenung.

Penyataan Gaven membuat aktivitas mereka terhenti, dan menatap Gaven.

"Iya juga yah?"

"Mungkin mereka kesulitan cari ta–"

Your my oxygen~

Your my oxygen~

Bunyi nada dering telepon dari ponsel Pondy, yang segera di angkat si pemilik.

"Ya?"

"..."

"Kenapa mendadak sekali?"

"..."

Pondy melotot, "jangan bercanda kamu!"

"..."

"Oke, kamu atur saja besok," ujarnya sambil memegangi dahi.

"Kenapa bang?" Tanya Vanka setelah panggilan itu selesai.

"Mereka tiba-tiba mau kerja sama, sama perusahaan kita."

"Mereka siapa?" Vanka menaikkan sebelah alisnya.

"Masing-masing perusahaan milik tuan Wirka dan tuan Yudhis."

"ANJIR!"

"BUSET!"

✧✧✧✧✧

Gajelas_-

Kalo ada typo atau ada kata yang kurang cocok, tandai yah!

080723

Hello Bastard! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang