hiraeth ; prolog

408 11 3
                                    

Aku salah besar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku salah besar.

Enggak. Ini bukan salahku, aku bukan penyebab kita berdua berakhir. Ini semua karena kamu yang ga mau menahan hubungan kita.

Tapi, aku salah. Aku yang salah karena ga bisa memahami kamu. Aku ga tau apa isi kepalamu itu. Sampai-sampai kita hampir usai disini.

"Kenapa kamu gabisa ngerti kondisi kita sih, Wa? Aku juga capek kalo kamu bersikap kayak gini terus. Kamu bilang kamu capek dan pusing, kamu bilang kamu pengen sendiri. Aku kasih kamu waktu tapi kamu ga ngerti kalo aku juga gabisa sendiri lama-lama. Kamu seolah ada niatan mau ninggalin aku! Kalo cara kamu gini, sama aja kamu nyakitin aku perlahan-lahan, Sadewa!"

Dia diam. Wajahnya yang begitu-begitu saja membuat emosiku kian lama memuncak. Kenapa reaksinya begitu? Kenapa dia tak panik dan biasa saja? Aku kesal. Aku tak suka raut wajahnya yang sama sekali tak khawatir kalau hubungan kita berujung berakhir.

Terpaksa aku menahan diri, mencoba memahaminya meski aku tak bisa mengerti apa mau laki-laki ini. Aku ingin menangis kencang karena tak tahu apa yang sebenarnya ada dipikiran Dewa.

"Dewa, please. Kita omongin baik-baik. Kalo kamu capek kamu bilang ke aku. Kamu ceritain semua masalah kamu itu sampai kamu lega. Aku bisa dengerin semua, aku bisa jadi pendengar yang baik buat kamu."

Entah dia mati membisu atau bagaimana, aku ingin sekali meneriakinya hingga ia buta.

"Kamu ga akan ngerti, Shan."

"Aku bakal coba mengerti apapun yang terjadi dan aku bakal terus ada di sebelah kamu meskipun kamu suruh aku buat pergi! Ngerti gak!"

"Shan, plis aku mohon ke kamu kasih aku waktu sendiri."

Aku menatap nanar ke matanya, kedua mata yang selalu membuatku tenggelam itu kini menatapku dengan tatapan terluka. Di balik rasa terluka kami yang sama besarnya, aku mencoba meyakinkan diriku untuk membuat dirinya terbuka padaku, meskipun aku tahu ia sedang tak ingin bicara.

Lidahku yang awalnya kelu terpaksa bicara saat aku menyadari aku harus bertindak agar Dewa tidak pergi, agar Dewa tetap bersamaku, agar kita baik-baik saja.

"Kenapa sih, Wa? Kenapa aku gabisa nemenin kamu? Kenapa kamu selalu mau aku pergi dan ga ikut campur? Buat kamu aku apasih? Buat kamu aku sepenting apa sih? Kalo kamu tiap ada masalah diem aja, tiap ada apa-apa diem aja, kamu kira aku tuh jadi pacar kamu buat apa? Hubungan kita tuh ga sehat, aku selalu nungguin kamu, kamu gatau kemana dan aku selalu ngerasa sendiri. kamu-"

"SHAN!" Laki-laki itu mengacak rambutnya frustasi. Aku melihat wajah marah disana. Dan kembali kebingungan. Aku tersentak kaget, ini kali pertama baginya membentakku dengan suara sekeras itu.

"Apa? Ngomong." Aku berujar dengan suara bergetar.

Egoku terlukai, namun perasaanku seratus kali jauh lebih perih dari yang terlihat. Mataku sudah berkaca-kaca, tapi tetap ku tahan mati-matian.

Dewa melempar pandangan ke arah lain, ia juga begitu tertekan. Rambutnya berantakan sudah. Matanya menahan amarah yang begitu besar, ia terus menunduk dan gelisah. Sedangkan tanganku terkepal kuat dan mataku yang hampir menjatuhkan air mata ku tahan sekuat tenaga.

"Kita putus aja."

Langit runtuh di atas kepalaku. Dia bicara begitu seolah menarik tisu dari tempatnya. Lancar sekali. Aku sendiri masih merasa mimpi mendengarnya. Tubuhku lemas, jantungku mencelos begitu saja.

"Kamu bilang hubungan kita ga sehat kan? Kita udahin aja." ujarnya lagi.

Aku ingin bicara, tapi kepalaku berputar mendengarkan hal buruk yang sudah aku duga sebelumnya. Aku tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutku sendiri, tak bisa meneriakinya atau bahkan menahan lengannya sebelum lelaki itu pergi menjauh. Meski tak bersuara, butiran berlian bening dari ujung mataku mulai meluncur dengan sendirinya tanpa ku minta.

Lambat laut aku menyadari jika ternyata kita sudah usai.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
HiraethTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang