hiraeth ; 12-luka kelam

75 6 0
                                    

"Anak Papa!"

Sadewa langsung menoleh ke arah belakang kala melihat ayahnya datang dengan langkah sempoyongan. Pak Aji—supir pribadi ayahnya—menopang tubuh Danuar di pundak. Pakaian dan dasi Danuar terlihat berantakan, rambutnya acak-acakan dan wajahnya memerah. Sadewa yakin ayahnya mabuk berat. Ia segera menghampiri ayahnya yang entah kenapa mabuk lagi setelah sekian lama tak melakukan hal buruk itu. Sadewa gelisah, takut hal buruk menimpa Danuar.

"Makasih Pak Aji, saya aja yang bawa Papa kedalem." ujar Sadewa giliran memapah Danuar ke dalam.

"Iya, Mas. Saya permisi."

Sadewa menganggukan kepala sambil tersenyum tipis, kemudian berjalan lebih pelan sambil menopang Danuar di pundak.

"Eh, anak Papa?"

Sadewa diam saja, tak membalas ucapan Danuar.

"Kamu anak papa, iya?"

"Iya." jawab Sadewa.

"Kenapa?" tanya Danuar. Nada bicaranya yang tadi bersemangat menyapa Sadewa anaknya berubah sendu.

Sadewa membawa Danuar masuk ke dalam rumah besar yang mereka tinggali berdua. Menyandarkan kepala Danuar pada sofa saat sampai di living room. Sadewa menghela napas sejenak sambil ikut duduk di samping ayahnya. Ia menatap artis senior sekaligus direktur perusahaan properti itu dengan mata terluka. Danuar jarang minum-minum begini. Seberat apa harinya?

"Pa, istirahat disini dulu. Sadewa bikinin teh panas."

"Sadewa anakku?" tanya Danuar sambil memegangi lengan Sadewa.

Rapuh, Sadewa selalu rapuh kalau setiap mabuk Danuar selalu menanyakan hal yang sama. Seolah Sadewa bukan darah dagingnya.

"Iya."

"Kenapa?" tanya Danuar lagi.

"Karena emang anaknya Papa."

"Kenapa harus jadi anak Papa? Papamu ini orang jahat. Kamu lahir dari orang tua yang jahat kenapa harus jadi anak Papa?"

Ia berusaha menguatkan hatinya yang bergetar karena ucapan ayahnya. Sadewa tak tahu harus bereaksi bagaimana.

"Enggak. Papa gak jahat." kata Sadewa. Meskipun nada bicaranya datar, ia hanya sedang menguatkan dirinya sendiri.

Danuar tertawa sambil meraih tas nya. Mengambil secarik kertas yang telihat indah. Dipinggirnya terdapat glitter berwarna emas, seperti undangan pernikahan. Sadewa menerimanya, apa yang ia takutkan membuat tangannya sempat bergetar kala menerimanya.

Ini surat undangan pernikahan ibunya.

Athena & Harris

Mata Sadewa memanas. Tak heran ayahnya pergi mabuk-mabukan karena hatinya begitu terluka melihat wanita yang ia cintai menikah dengan orang lain. Perasaan Sadewa terasa seperti disayat pisau tajam. Sudah 6 tahun Sadewa tak pernah bertemu ibunya lagi, dan kini ia mendapatkan kabar yang tak menyenangkan baginya.

"Papa minta maaf karena Mama kamu ga bisa jadi Mama yang baik. Papa minta maaf karena Papa bukan ayah yang sempurna. Jangan benci sama Papa ya? Jangan dateng juga ke acara pernikahan Mama kamu." Danuar yang mulai sadar dari mabuknya hanya bisa mengedipkan mata berkali-kali. Air mata yang tak sadar mengalir begitu saja membuat Sadewa makin kecewa dengan sosok wanita yang ia anggap sebagai ibunya.

Ia tak tahu kenapa kekacauan ini terjadi. Yang jelas, Sadewa tak pernah menganggap Athena sebagai ibunya. Rasa sakit yang ia terima jauh lebih besar.

"Papa minta maaf karena selalu bohong kalau Mama sibuk kerja sampai gak pulang. Papa tahu kamu udah dewasa dan selalu tahu Papa bohong. Jangan benci Papa ya, Sadewa."

Mata Sadewa berkaca-kaca. Ia yang jarang berekspresi hanya bisa menganggukan kepala, sambil pergi meninggalkan ayahnya yang kembali tergeletak tak sadarkan diri di sofa. Tak sanggup dengan kabar yang ia dengan soal ibunya, Sadewa memilih untuk pergi ke kamarnya setelah meminta seorang ART di rumahnya untuk membuatkan teh hangat untuk Danuar.

🌷🌷🌷

    "Athena! Dengerin dulu!" Danuar menarik pergelangan Athena cukup kuat, hingga wanita berusia 32 tahun itu berhenti melangkahkan kakinya.

     "Lepas, Mas!"

      "Dengerin aku dan liat mata aku setiap aku bicara." tekan Danuar. "Aku gak peduli siapa laki-laki yang ada dibelakang aku selama ini. Tapi liat ke Sadewa, anak kamu. Bukan demi aku, demi Sadewa, Na. Pikirin Sadewa, darah daging kita. Lepasin pacar kamu itu, fokus ke Sadewa dia masih belum dewasa. Aku gak mau perasaannya terluka karena keegoisan kamu ini."

     "Mas! Lepasin!" Athena menghempaskan tangannya dari genggaman tangan Danuar.

      Mendengar keributan dari kamar orang tuanya, Sadewa yang saat itu masih kelas 4 SD terdiam di dekat pintu kamar. Tubuhnya bergetar menyaksikan pertengkaran hebat kedua orang tuanya. Hal buruk yang tak pernah Sadewa lihat selama ia hidup. Ketakutan terbesarnya. Ia yang masih kecil, yang tak bisa berpikir siapa yang salah atau siapa yang benar hanya ingin suara saling menggertak itu berhenti.

     "Mama sama Papa jangan berantem..." kata Sadewa lirih. Bahkan hanya ia sendiri yang mendengarnya.

      "Aku bahkan ga bisa ada di satu ruangan yang sama, sama kamu! Aku selalu ngerasa tercekik! Aku gak betah dan aku cintanya sama Harris, Mas! Aku gak pernah sedikitpun punya rasa sayang atau cinta ke kamu! Aku gak pernah mengharapkan Sadewa lahir di dunia dan dia ada karena kamu yang salah. Aku bahkan gak pernah menganggap Sadewa anak aku karena dia anak dari kamu!"

"Athena! Jaga mulut kamu! Gimana kalo Sadewa denger? Seenggaknya pikirin apa yang keluar dari mulut kamu itu. Aku tau kita berdua ada karena perjodohan tapi harus sebenci itukah kamu ke aku?"

"Aku gak peduli, Mas. Silahkan urus surat cerai kita, kamu bawa hak asuh anak. Aku ga mau Sadewa hadir mengganggu kehidupan aku."

Saat Athena terlihat hendak keluar dari kamar, Sadewa lantas berlari bersembunyi dibalik lemari. Ia menutup mulutnya rapat-rapat. Takut Mama marah karena mendengar suara napasnya atau bahkan suara tangisannya. Karena saat itu Sadewa mengerti kalau Mama tak pernah mengharapkan Sadewa ada. Sadewa tahu, Mama membenci Sadewa. Sadewa tahu, Mama tak menyukainya.



HiraethTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang