hiraeth ; 1O-misi siaga satu

83 6 0
                                    

Kabar putusnya Shani dan Sadewa menyebar cepat mengalahkan penyebaran wabah virus. Sadewa yang sedang sibuk mencari buku humaniora di perpustakaan mendengar bisik-bisik siswa siswi yang melihatnya. Sebagian membicarakan soal hubungannya yang sudah berakhir. Seperti alaminya sifat laki-laki yang tak begitu peduli dengan kondisi sekitarnya, Sadewa juga memilih untuk diam daripada menanggapi sesuatu yang sudah bukan urusannya. Sebagai makhluk sosial, mereka memiliki hak untuk berkomentar secukupnya. Sedangkan yang dikomentari memiliki tiga pilihan. Membantah komentar itu karena komentarnya salah, membenarkannya, atau diam saja. Opsi ketiga menjadi langkah yang Sadewa pilih.

Beberapa kakak kelas, adik kelas, dan teman seangkatannya mulai berani mendekati Sadewa secara terang-terangan. Berbeda saat masih bersama Shani. Memanggil namanya saat berpapasan saja tak pernah, saking galaknya Shani jika ada yang mencoba mendekati Sadewa.

Mejanya mulai dipadati titipan-titipan berupa coklat, bingkisan, atau surat. Akun Instagram Sadewa yang awalnya ramai jadi semakin ramai karena banyak yang ingin berkenalan dengannya. Sadewa gak bisa berbuat apa-apa, menghentikan mereka dengan kata 'tolong' atau memblokir satu persatu. Ia hanya akan diam saja, memberikan ekspresi cuek tak peduli agar semuanya mereda. Ekspresi wajahnya yang bisa dibilang menyebalkan ini cukup membuat orang lain berhenti menyukainya perlahan-lahan.

Kini, Sadewa berniat kembali ke kelas usai meminjam buku dengan kartu perpustakaan. Ia melangkah keluar perpustakaan dengan santai, sambil mengabaikan kakak kelas yang memanggil-manggil namanya.

"Sadewa! Dicariin Naura nih!"

"Sadewaaa!"

Tanpa menoleh, ia mendapati Adit berlari kearahnya. Sahabatnya itu berhenti di hadapan Sadewa yang juga menghentikan langkah kakinya.

"WOY!" Adit membentak. "Kenapa orang-orang... astaga capek gue... kenapa orang-orang tau kalo lo sama Shani putus?"

Dahi Sadewa berkerut. "Lo ngos-ngosan cuma buat nanyain ginian doang?"

Kepala Adit mengangguk. Sedangkan Sadewa terkekeh. "Beli es kopi gih."

"Kagak. Makasih. Kalo menurut lo putus sama Shani harus pake selebrasi pake beliin gue es kopi, mending lo raup, cuci muka!"

Sadewa makin bingung dengan ucapan Adit yang tak bisa ia pahami maksudnya.

"Gue gak niat beliin lo es kopi? Maksud gue lo bayar sendiri."

"Terserah dah. Terus gimana nih? Lo ngomong ke semua orang kalo lo sama Shani udah putus?" tanya Adit lagi.

Sadewa melangkah pergi usai menggelengkan kepala merasa jengah, malas menanggapi Adit. Adit malah mengikuti langkah Sadewa di sebelahnya dengan sejuta pertanyaan di kepala.

"Woy? Idup kagak?"

"Apaan." Sadewa melangkah lebih cepat.

"Kalo semua orang tau ntar gue sibuk. Sibuk bantuin orang-orang buat deket sama lo. Ngerti gak sih?" gerutu Adit.

"Ya bagus, freelancer."

"Lo kira gue digaji?"

"Ya tolak aja kalo ga mau, make it simple, bro."

"HAHAHAHAH. Make it simple moyang lo kiper." Adit tertawa. "Lo beneran ngomongin ke orang-orang?"

"Enggalah, Dit. Buat apa?" Sadewa menggeleng tak percaya. Ia tak bisa memahami kenapa Adit se obsesi ini dengan hubungannya dengan Shani.

"Terus kenapa bisa pada tau?"

"Mana gue tau."

"Bukannya lo rahasiain? Bukannya harusnya ga ada yang tau? Bukannya lo gabisa bilang ke siapa-siapa?"

HiraethTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang