TL : 21. Joined

421 71 36
                                    

Sejak tadi, mereka terus berusaha mengeluarkan siluman rubah itu dari dalam tubuh Kian Santang. Dan selama itu pula, saudara mereka tak sadarkan diri.

Hal itu tentu membuat mereka tak tenang. Terlebih lagi, wajah Kian Santang juga terlihat semakin pucat.

"Ayo, kita harus lebih cepat sebelum siluman rubah itu semakin merambat ke seluruh tubuh Rayi Kian Santang!" Gagak Ngampar berusaha mengendalikan dirinya yang di selimuti perasaan takut, dirinya tak bisa melihat Kian Santang dalam kondisi seperti ini.

Semuanya mengangguk, tapi beberapa waktu ke depan mereka tak juga mendapatkan hasil apapun.

"Praharsini, apakah tidak ada cara lain untuk mengeluarkan rubah itu? Aku mohon, cari cara untuk mengeluarkannya. Aku tidak mau adikku kenapa-napa." Walangsungsang berharap sangat besar pada Praharsini untuk mencari cara menyelamatkan Kian Santang, dia tak mau sampai harus kehilangan adiknya itu.

Praharsini mengerutkan alisnya dan mencoba berpikir keras mencari cara menyelesaikan masalah ini,
"Gusti Prabu, Raden, Nyimas, kalian ingat bukan ketika Mahesa mengatakan jika rubah itu merupakan siluman pemakan daging manusia dan sudah tidak di beri makan selama beberapa hari?"

Seluruh anak-anak Siliwangi itu mengangguk karena sampai saat ini, ucapan Mahesa masih terngiang-ngiang di kepala mereka.

"Tentu saja kami masih ingat, Praharsini. Bahkan ketika Raka Kian Santang mengerang sakit pun masih terekam jelas di otak kami." Surawisesa menatap Kian Santang dengan sendu. Dia tak tahan menyaksikan seseorang yang begitu penting dalam hidupnya terbaring lemah seperti ini.

Praharsini mengangguk, "Bagus."

Semuanya mengerutkan alis mendengar ucapan yang tak dapat mereka pahami,
"Bagus seperti apa maksudmu, Praharsini?"

"Ya, bagus. Karena dengan ini-- kita juga memiliki cara untuk memancing rubah itu untuk keluar dari tubuh Raden Kian Santang, Nyimas." Praharsini menjawab pertanyaan Rara Santang.

"Bagaimana caranya?" Apapun penawar maupun rintangan yang akan hadir di perjalanannya untuk mencari obat itu, Gagak Ngampar akan hadapi demi menyelamatkan nyawa adiknya.

"Dengan cara menggunakan daging manusia, Raden."

Gagak Ngampar maupun lainnya melotot tak percaya dengan saran yang Praharsini ajukan. Mereka memang meminta Praharsini mencari jalan keluar, tapi sama sekali tak pernah terpikirkan untuk menumbalkan nyawa seseorang.

"Apakah itu cara satu-satunya?" Membayangkannya membuat Walangsungsang tak tega. Karena seumur hidupnya, Walangsungsang serta seluruh saudara-saudarinya selalu di ajarkan untuk tidak membunuh sesama manusia hanya demi kepentingan mereka. Apalagi sampai mengambil dagingnya.

Dan ketika mendapatkan anggukan dari Praharsini semakin membuat mereka tercengang, "Tapi bagaimana kita bisa mengorbankan nyawa seseorang demi menyelamatkan Rayiku Kian Santang, Praharsini? Kita tidak mungkin melakukan itu. Dan aku yakin, Rayi Kian Santang juga tidak akan suka dengan cara ini."

Praharsini menggeleng membantah pikiran Walangsungsang, "Bukan seperti itu, Raden. Tanpa mengorbankan nyawa seseorang untuk mengambil dagingnya, kita akan tetap mendapatkan daging manusia."

"Lantas, bagaimana?"

Praharsini tersenyum manis kemudian mulutnya bergerak tanpa suara dan tiba-tiba segumpal tanah liat tiba-tiba muncul di genggamannya.

Mereka memperhatikannya dengan seksama, hingga kemudian tanah itu berubah menjadi sesuatu yang terlihat mirip seperti potongan daging.

"Itu-- daging?" Surawisesa bingung dengan benda yang di tangan Praharsini.

Raden Kian Santang -Two Lives-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang