Keesokkan harinya, di halaman belakang istana. Walangsungsang tengah berlatih bersama para prajurit untuk mempersiapkan diri dengan mengasah kemampuan masing-masing.
Dengan pedang di genggamannya, Walangsungsang mengayunkan senjata itu ke arah depan. Tepat pada sebuah apel yang melayang ke arahnya.
"Paman, ayo serang aku." Titahnya pada salah satu prajurit disana ketika semua sasarannya sudah habis dia tebas.
Namun prajurit yang dia maksud nampak menggeleng dengan kepala tertunduk,
"Mohon ampun, Raden. Bukannya hamba tidak mau atau membantah perintah dari Raden, tapi hamba merasa tidak pantas jika harus menyerang Raden.""Tidak apa-apa, paman. Seranglah aku, tidak usah memikirkan siapa aku sebenarnya. Anggap saja aku sebagai musuh Pajajaran." Walangsungsang berusaha meyakinkan.
Nampak keraguan di dalam sorot prajurit itu, dia merasa tidak pantas melayangkan senjata pada anak junjungannya. Tapi ketika melihat wajah Walangsungsang yang seolah meyakinkannya, membuat dia tak mampu membantah perintahnya.
Lantas prajurit itu mengangguk pelan,
"Baiklah jika itu mau, Raden."Kemudian latihan itu kembali berlanjut, suara pedang saling beradu. Menghiasi halaman belakang istana. Mereka terus berlatih hingga Walangsungsang sendiri yang memberi titah pada mereka untuk berhenti, karena sebentar lagi waktu sholat dzuhur akan tiba.
..........
"Kenari, kau tau cara membuat penawar untuk membuat seseorang yang dulunya jahat berubah menjadi baik?" Yudakara bertanya pada sepupunya yang berada di sampingnya.
Mereka berdua saat ini sedang berada di lorong istana menuju ke halaman belakang istana, entah apa yang akan keduanya lakukan disana.
Praharsini mendengus geli mendengar pertanyaannya,
"Pertanyaan apa itu? Kau sungguh aneh, Yudakara.""Aku serius bertanya. Seandainya kau bisa, tolong lakukan. Dan berikan itu pada nenek. Aku tak ingin nenek membuat kerusakan dimana-mana." Balas Yudakara menjelaskan alasan dia bertanya seperti itu pada sepupunya.
"Aku juga akan melakukan itu sejak dulu jika saja aku mengetahuinya, Yudakara. Tapi sayangnya, itu tidak mungkin. Karena tak ada yang bisa merubah sifat maupun karakter seseorang selain orang itu sendiri." Praharsini memang pernah berusaha membuat sebuah ramuan untuk merubah sifat seseorang, namun itu di luar kemampuannya.
"Memang mustahil untuk nenek berubah dan menjadi pendekar putih, mengingat dendamnya selama ini pada Prabu Siliwangi beserta keturunannya." Praharsini maupun Yudakara sangat mengetahui bagaimana nenek mereka itu, Nyi Rompang takkan pernah merubah niatnya untuk menghancurkan seluruh keturunan Siliwangi. Seakan dendam dari wanita itu akan abadi sampai akhir hayatnya.
"Tapi meskipun begitu, kita tidak boleh kecil harapan untuk menunggu saat dimana nenek berubah. Seperti kita dulu." Yudakara mengangguk setuju dengan ucapan sepupunya ini.
Tanpa sadar, keduanya telah sampai di halaman belakang istana. Mereka berdua memperhatikan putra sulung Subang Larang yang saat ini tengah sibuk melatih para prajurit sebagai persiapan perang.
..........
Anak dan ibu itu saat ini tengah menghabiskan waktu bersama dengan mengamati lukisan masa kecil mereka yang pernah di lukis oleh suruhan ayahnya.
Rara Santang terkekeh pelan melihat betapa imutnya mereka ketika kecil dulu,
"Raka Walangsungsang, dia terlihat lucu sekali. Lihatlah wajahnya, sangat kusut."Senyum lebar tersungging di wajah putih Rara Santang. Jika ada Rakanya disini, dia akan mengejeknya habis-habisan.
Meskipun tidak ada yang lucu, tapi ini bisa dijadikan bahan ejekan untuk Rakanya itu.
"Ibunda, kenapa disini wajahku terlihat kotor sekali?" Ketika dia mengalihkan pandangan terhadap lukisannya sendiri, dia mengerutkan alisnya bingung.
Subang Larang menatap pada lukisan yang di tunjuk oleh anak keduanya dan berusaha mengingatnya,
"Kau ingin tau, mengapa wajahmu bisa kotor?"Rara Santang jelas mengangguk karena dia sungguh merasa penasaran,
"Tentu, ibunda.""Baiklah." Subang Larang menjeda ucapannya membuat Rara Santang makin di buat penasaran. Sebelum dia kembali melanjutkannya, "Penyebab wajahmu bisa kotor karena saat itu kau sedang memainkan kotoran kuda, nak."
Mendengar penjelasan sang ibunda, entah kenapa Rara Santang mendadak ingin muntah. Yang benar saja. Rara Santang sungguh tak bisa percaya jika dulu dia sempat bermain dengan kotoran hewan.
"Sungguh?" Rara Santang merasa geli dengan dirinya sendiri, apakah dulu tak ada hal lain yang bisa dia lakukan hingga harus memainkan itu?
Memikirkannya membuat Rara Santang geli hingga tanpa dia sadari jika ekspresi wajahnya terlihat konyol, meskipun tetap cantik.
Subang Larang mengangguk membuat Rara Santang merasa malu sendiri.
"Ibunda, lalu bagaimana dengan Rayi Kian Santang? Dia juga sering bermain kotoran kan sama sepertiku?" Rara Santang sengaja mengalihkan pembicaraan mereka dengan beralih pada adik bungsunya itu. Tatapannya juga menatap pada lukisan adiknya yang terlihat wajar-wajar saja.
Tapi ketika melihat senyuman Subang Larang, Rara Santang malah meragu dengan tebakannya sendiri.
"Tidak. Rayimu Kian Santang dulunya sangatlah rajin. Pakaiannya selalu bersih. Bahkan sampai sekarang, dia tidak pernah bermain sesuatu yang kotor."Benar, bukan? Apalagi tadi dia sudah menebak dengan percaya diri. Rasanya, dia ingin sekali menghilang dari hadapan Subang Larang.
Raden Kian Santang -Two Lives-
Senin, 15 Mei 2023Note :
Ada kata-kata buat nyemangatin ane? Klo ga ada yasudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kian Santang -Two Lives-
Ficción históricaDua sudut kehidupan yang berbeda, menunjukkan bagaimana mereka menyikapi masalah yang hadir di kehidupan masing-masing. Terkadang, ada kala dimana pikiran selalu menggiring untuk berhenti. Namun hati kecil dalam diri selalu menolak dan terus meyaki...