Keesokan harinya, seluruh keluarga istana beserta punggawa kerajaan Pajajaran telah berkumpul di Balairung tentunya atas perintah dari Prabu Anom Surawisesa.
Pertanyaan dengan satu arah yang sama hinggap di benak mereka, tentang alasan kenapa sang Prabu Anom mengumpulkan semuanya di ruang pertemuan ini. Terkecuali Kian Santang yang sudah tau alasan dibalik berkumpulnya mereka.
Semuanya lantas berdiri ketika netra berbeda mereka menangkap sosok sang Raja telah memasuki ruang Balairung dengan langkah tegap.
Mereka menunduk hormat ketika Surawisesa berjalan melewati dan berhenti tepat pada singgasananya.
Kemudian Surawisesa mempersilahkan seluruhnya untuk duduk di kursi masing-masing. Dia melirik ke samping kanannya dimana Kian Santang duduk berdampingan dengan Gagak Ngampar.
"Kalian pasti bertanya-tanya bukan, alasan kenapa kalian semua dikumpulkan disini?" Suara tegas Surawisesa membuka sesi pertemuan itu.
"Aku akan langsung pada intinya. Aku mengutus Raka Kian santang untuk pergi ke kerajaan Kandang Wesi. Raka Kian Santang akan berangkat siang ini juga." Respon yang Surawisesa dapatkan sama seperti dirinya ketika dia mendengar sendiri jika Rakanya menawarkan diri untuk pergi ke kerajaan Kandang Wesi.
"Kandang Wesi? Tapi untuk apa Rayi Kian Santang pergi ke sana, Rayi Prabu?" Gagak Ngampar bertanya mewakili semuanya.
"Untuk berbicara langsung pada Raden Wistapati dan Ratu Parwati perihal surat yang mereka kirim lewat utusannya." Jawab Surawisesa dengan mata yang menatap Kian Santang dengan lekat.
"Surat? Surat apa yang kau maksud Rayi Prabu?" Rara Santang yang ikut andil dalam pertemuan itu, ikut bersuara.
"Surat pernyataan perang. Di dalam surat itu, mereka menyatakan perang pada kerajaan Pajajaran. Dan Raden Wistapati kembali menjadi pemimpin di dalam perang ini." Kian Santang menatap seluruh saudaranya. Dia kemudian menghela nafas samar.
"Kapan mereka mengirimkan surat itu padamu, Rayi Prabu?" Pertanyaan itu tiba-tiba terbesit di benak Walangsungsang, karena dia sama sekali tak mendapatkan laporan dari para prajurit yang berjaga jika ada utusan kerajaan datang kesana.
"Sehari sebelum Raka Kian Santang kembali." Hening menyergap ruang Balairung itu. Tiba-tiba suasana disana terasa agak tegang.
"Tapi, kenapa harus Rayi Kian santang? Dia baru saja kembali dari pengembaraannya. Bukankah seharusnya, Rayi Prabu mengutus aku atau Rayi Walangsungsang dan Rayi Rara Santang saja?" Surawisesa menatap Gagak Ngampar dengan sendu.
"Aku juga mau seperti itu, Raka. Kemarin, aku berniat mengirim Syekh Nurjati dan salah satu di antara kalian bertiga tapi Raka Kian Santang justru menawarkan diri dan melarangku untuk mengirim kalian." Jawab Surawisesa yang kini kembali menatap Kian santang.
"Aku sudah menolaknya, tapi kalian semua pasti tau bagaimana watak Raka Kian Santang, bukan? Dia pasti akan berbuat sesuatu jika ini menyangkut tentang kita serta rakyat Pajajaran."
Hening kembali menerpa. Semuanya sibuk bergelut dengan pikiran mereka masing-masing.
"Apa yang dikatakan oleh Rayi Prabu Surawisesa benar. Aku akan pergi ke kerajaan Kandang Wesi untuk berbicara baik-baik pada mereka agar menarik kembali niatnya." Suara Kian Santang menarik perhatian semuanya.
"Namun, bagaimana jika usahamu untuk berbicara baik-baik dengan mereka tak berhasil membuat Kandang Wesi merubah keputusannya, Rayi?" Sahut Gagak Ngampar mengutarakan opininya.
Kian Santang membalas tatapan sang kakak tertua dengan lembut,
"Aku akan berusaha, Raka. Bila kedatanganku kesana tidak berdampak apapun dan Raden Wistapati tetap pada keputusannya, maka kita juga tidak bisa tinggal diam jika tidak ingin Pajajaran jatuh ke tangan orang tidak bertanggung jawab."
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kian Santang -Two Lives-
Historical FictionDua sudut kehidupan yang berbeda, menunjukkan bagaimana mereka menyikapi masalah yang hadir di kehidupan masing-masing. Terkadang, ada kala dimana pikiran selalu menggiring untuk berhenti. Namun hati kecil dalam diri selalu menolak dan terus meyaki...